Mengapa
(Masih) Pungli?
Herie Purwanto ;
Kasat Binmas Polres Pekalongan Kota,
Aktif dalam kajian masalah hukum
|
SUARA
MERDEKA, 23 Agustus 2014
JUDUL berita utama Suara Merdeka, edisi Senin, 18 Agustus 2014 ’’Polda Ancam Polisi Pungli.”
Diberitakan, Polda Jateng mengeluarkan ultimatum kepada jajaran Satuan Lalu
Lintas di wilayah kerjanya supaya tidak lagi melakukan praktik pungutan liar
(pungli) di jalan ataupun di tempat-tempat pelayanan kepada masyarakat.
Berita utama tersebut tentunya terkait dengan rangkaian kejadian
pungli yang dilakukan oleh segelintir polisi sebelumnya, yaitu pungli di
jembatan Comal Kabupaten Pemalang dan diperhangat oleh pungli di Pos Polisi
Kalibanteng Semarang. Keterungkapan dua praktik tercela berkat operasi
tangkap tangan alias menangkap basah para pelaku.
Pungli sepertinya tengah menjadi bidikan utama Kapolda Jateng,
Irjen Pol Drs Nur Ali. Sejak menjabat Kapolda Jateng, pada awal
kepemimpinannya, sewaktu rapat dinas atau berkunjung kedinasan ke jajarannya,
salah satu hal yang selalu diingatkan kepada anggotanya adalah agar ia didoakan
menjadikan pimpinan yang baik, pemimpin yang amanah. Adakah keterkaitan antara
penanganan kasus pungli oleh Bidang Propam Polda dengan harapan Kapolda?
Dalam konsep religi, menjadi pemimpin yang baik dan amanah
membawa konsekuensi bahwa apa yang menjadi kebijakannya senantiasa on the track atau berada dalam bingkai
rule of law. Adapun pungli atau
praktik tak terpuji lainnya, jelas-jelas berada di luar ranah tersebut. Jadi
sangat logis, bila masalah pungli ini tidak bisa terlepas dari kebijakan
Kapolda yang harus dilaksanakan oleh semua jajarannya.
Sepertinya bukan rahasia lagi, masalah pungli di jalan raya
ataupun di tempat-tempat pelayanan kepada masyarakat, masih ada dan masih
dirasakan oleh publik. Apa yang muncul yang diawali dari jembatan Comal
kemudian berlanjut di Pos Kalibanteng, menjadi fenomena yang bisa digambarkan
seperti gunung es. Yang tampak ke permukaan merupakan kerucut kecil, dan
bagian yang tidak terlihat justru lebih besar.
Inikah potret dari pungli tersebut? Bukti bahwa masyarakat
sangat antusias dan berharap Kapolda Jateng lebih intens lagi memberantas
pungli tampak dari SMS warga yang dimuat di kolom ’’Kepriben’’, pada Suara Merdeka edisi komunitas, edisi Senin, 18
Agustus 2014. Bahkan dalam kolom tersebut, ada tiga ungkapan perasaan warga
yang ditujukan kepada Kapolda Jateng, yang intinya mengucapkan terima kasih
atas tertangkapnya oknum pelaku pungli.
Realitas itu juga memberi pesan, masyarakat sangat mengharapkan
polisi di Jateng benar-benar menjadi pengayom, pelindung, dan pelayan mereka.
Bukan sebagai pemeras di jalan atau di tempat-tempat layanan kepolisian.
Praktik tidak terpuji tentu sangat berlawanan dari semangat terciptanya clean government. Pelayanan prima
didengang-dengungkan, dengan harapan layanan kepolisian akan menyentuh
substansi sebagai pelayanan publik atau public
service.
Tetap ’’Menguntungkan’’
Mengutip sejumlah uang di luar ketentuan dan masuk ke kantong
pribadi, merupakan unsur pokok adanya pungli. Ironisnya, meski terbebani,
masyarakat menganggap hal itu tetap ’’menguntungkan’’ ketimbang ia harus
menjalani apa yang menjadi ketentuan. Misalnya, minta dispensasi melewati jalan
yang bukan peruntukannya, menempati areal parkir yang tidak semestinya, sebab
bila harus bongkar muat tidak di tempat tersebut, ia harus menanggung biaya
lebih tinggi.
Ataupun dengan memberikan sejumlah uang, ia akan memperoleh
kemudahan dan percepatan pengurusan surat-surat tertentu. Jadi, meski
sebenarnya tahu apa yang dilakukan masuk dalam ranah pungli, masyarakat diam
dan tidak menggubris. Kondisi seperti ini, terus terjadi dan kedua pihak
seperti berada dalam sebuah pusaran aktivitas timbal-balik, simbiosis
mutualisme yang keliru.
Mindset petugas yang nakal pun lama-lama terbentuk dan
menganggap apa yang dilakukan sebagai kebiasaan dan tidak perlu dirisaukan.
Inilah yang diingatkan para pakar bahwa upaya pemberantasan korupsi, harus
masuk ke dalam ranah atau tataran filosofis pelaksana di lapangan. Jangan
sampai semangat memberangus pungli, muncul dan bergelora pada tataran
teoretis dan konseptual belaka.
Bukan hanya terhadap polisi, masyarakat tentunya juga berharap
layanan publik lain juga terbebas dari pungli, sebagaimana digelorakan oleh
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang rajin sidak ke berbagai layanan
publik untuk menindaklanjuti laporan masyarakat tentang dugaan pungli.
Selayaknya, kita dukung, dan tentu seluruh komponen masyarakat
harus berani berkata tidak andai ada petugas layanan meminta uang di luar
ketentuan. Baliho, spanduk atau banner
di setiap sudut kantor pelayanan masyarakat, mengajak kita untuk tidak
terlibat melakukan pungli. Mari kita buktikan, supaya tidak hanya terpampang
untuk sekadar dibaca. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar