Minggu, 24 Agustus 2014

Mengapa (Masih) Pungli?

                                         Mengapa (Masih) Pungli?

Herie Purwanto  ;   Kasat Binmas Polres Pekalongan Kota,
Aktif dalam kajian masalah hukum
SUARA MERDEKA, 23 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

JUDUL berita utama Suara Merdeka, edisi Senin, 18 Agustus 2014 ’’Polda Ancam Polisi Pungli.” Diberitakan, Polda Jateng mengeluarkan ultimatum kepada jajaran Satuan Lalu Lintas di wilayah kerjanya supaya tidak lagi melakukan praktik pungutan liar (pungli) di jalan ataupun di tempat-tempat pelayanan kepada masyarakat.

Berita utama tersebut tentunya terkait dengan rangkaian kejadian pungli yang dilakukan oleh segelintir polisi sebelumnya, yaitu pungli di jembatan Comal Kabupaten Pemalang dan diperhangat oleh pungli di Pos Polisi Kalibanteng Semarang. Keterungkapan dua praktik tercela berkat operasi tangkap tangan alias menangkap basah para pelaku.

Pungli sepertinya tengah menjadi bidikan utama Kapolda Jateng, Irjen Pol Drs Nur Ali. Sejak menjabat Kapolda Jateng, pada awal kepemimpinannya, sewaktu rapat dinas atau berkunjung kedinasan ke jajarannya, salah satu hal yang selalu diingatkan kepada anggotanya adalah agar ia didoakan menjadikan pimpinan yang baik, pemimpin yang amanah. Adakah keterkaitan antara penanganan kasus pungli oleh Bidang Propam Polda dengan harapan Kapolda?

Dalam konsep religi, menjadi pemimpin yang baik dan amanah membawa konsekuensi bahwa apa yang menjadi kebijakannya senantiasa on the track atau berada dalam bingkai rule of law. Adapun pungli atau praktik tak terpuji lainnya, jelas-jelas berada di luar ranah tersebut. Jadi sangat logis, bila masalah pungli ini tidak bisa terlepas dari kebijakan Kapolda yang harus dilaksanakan oleh semua jajarannya.

Sepertinya bukan rahasia lagi, masalah pungli di jalan raya ataupun di tempat-tempat pelayanan kepada masyarakat, masih ada dan masih dirasakan oleh publik. Apa yang muncul yang diawali dari jembatan Comal kemudian berlanjut di Pos Kalibanteng, menjadi fenomena yang bisa digambarkan seperti gunung es. Yang tampak ke permukaan merupakan kerucut kecil, dan bagian yang tidak terlihat justru lebih besar.

Inikah potret dari pungli tersebut? Bukti bahwa masyarakat sangat antusias dan berharap Kapolda Jateng lebih intens lagi memberantas pungli tampak dari SMS warga yang dimuat di kolom ’’Kepriben’’, pada Suara Merdeka edisi komunitas, edisi Senin, 18 Agustus 2014. Bahkan dalam kolom tersebut, ada tiga ungkapan perasaan warga yang ditujukan kepada Kapolda Jateng, yang intinya mengucapkan terima kasih atas tertangkapnya oknum pelaku pungli.

Realitas itu juga memberi pe­san, masyarakat sangat mengharapkan polisi di Jateng benar-benar menjadi pengayom, pelindung, dan pelayan mereka. Bukan sebagai pemeras di jalan atau di tempat-tempat layanan kepolisian. Praktik tidak terpuji tentu sangat berlawanan dari semangat terciptanya clean government. Pelayanan prima didengang-dengungkan, dengan harapan layanan kepolisian akan menyentuh substansi sebagai pelayanan publik atau public service.

Tetap ’’Menguntungkan’’

Mengutip sejumlah uang di luar ketentuan dan masuk ke kantong pribadi, merupakan unsur pokok adanya pungli. Ironisnya, meski terbebani, masyarakat menganggap hal itu tetap ’’menguntungkan’’ ketimbang ia harus menjalani apa yang menjadi ketentuan. Misalnya, minta dispensasi melewati jalan yang bukan peruntukannya, menempati areal parkir yang tidak semestinya, sebab bila harus bongkar muat tidak di tempat tersebut, ia harus menanggung biaya lebih tinggi.

Ataupun dengan memberikan sejumlah uang, ia akan memperoleh kemudahan dan percepatan pengurusan surat-surat tertentu. Jadi, meski sebenarnya tahu apa yang dilakukan masuk dalam ranah pungli, masyarakat diam dan tidak menggubris. Kondisi seperti ini, terus terjadi dan kedua pihak seperti berada dalam sebuah pusaran aktivitas timbal-balik, simbiosis mutualisme yang keliru.

Mindset petugas yang nakal pun lama-lama terbentuk dan menganggap apa yang dilakukan sebagai kebiasaan dan tidak perlu dirisaukan. Inilah yang diingatkan para pakar bahwa upaya pemberantasan korupsi, harus masuk ke dalam ranah atau tataran filosofis pelaksana di la­pangan. Jangan sampai semangat memberangus pungli, muncul dan bergelora pada tataran teoretis dan konseptual belaka.

Bukan hanya terhadap polisi, masyarakat tentunya juga berharap layanan publik lain juga terbebas dari pungli, sebagaimana digelorakan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang rajin sidak ke berbagai layanan publik untuk menindaklanjuti laporan masyarakat tentang dugaan pungli.

Selayaknya, kita dukung, dan tentu seluruh komponen masyarakat harus berani berkata tidak andai ada petugas layanan meminta uang di luar ketentuan. Baliho, spanduk atau banner di setiap sudut kantor pelayanan masyarakat, mengajak kita untuk tidak terlibat melakukan pungli. Mari kita buktikan, supaya tidak hanya terpampang untuk sekadar dibaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar