Rabu, 20 Agustus 2014

Memahami Noken

                                                    Memahami Noken

L Wilardjo  ;   Fisikawan, Guru Besar Fakultas Teknik Elektronika dan Komputer (FTEK)  UKSW Salatiga
SUARA MERDEKA, 20 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

DALAM diskusi di ruang kuliah, ada seorang mahasiswi asal Timor bertanya, apakah “pemungutan suara” (voting) dengan sistem noken seperti yang terjadi di beberapa daerah di Papua sah atau tidak. Pertanyaan itu tidak mudah dijawab.

Kalau yang dimaksudkan dengan “sah” itu adalah “dapat dibenarkan secara hukum” maka jawaban atas pertanyaan tadi tergantung pada apakah ada ketentuan hukum tentang sistem noken tersebut. Kalau ada, dan ketentuan itu membenarkan sistem tersebut maka voting dengan cara noken itu sah. Kalau ketentuannya melarang cara tersebut maka pemungutan suara dengan cara  noken itu menjadi tidak sah.

Kalau tidak ada ketentuan hukum yang eksplisit dan telah dikodifikasikan maka perlu ditelaah apakah sistem noken itu konstitusional atau tidak mengingat aras konstitusi lebih tinggi daripada undang-undang hukum. Bahkan dapat dirunut lebih ke hulu lagi, ke Pembukaan UUD.

Di dalam Pembukaan UUD-45 ada Pancasila, dan sila keempatnya adalah demokrasi (kerakyatan yang dipimpin hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan).

Secara etimologis, demokrasi berasal dari kata-kata Gerika demos (rakyat) dan kratein (memerintah). Demokrasi ialah pemerintahan oleh rakyat, atau pemerintahan dengan mufakat yang diperintah (government with the consent of the governed).

’’Diikat’’ Mufakat

Dalam sistem ketatanegaraan kita, kedaulatan rakyat diwujudkan melalui pemusyawaratan wakil-wakil rakyat dalam DPD/DPR. Suara (kehendak) rakyat disalurkan melalui wakilnya. Dalam rapat-rapat di negara Barat, voting untuk membuat keputusan ada yang dibenarkan dengan proxy, artinya pemilik suara boleh mendelegasikan keputusannya melalui peserta rapat lainnya yang dia tunjuk secara resmi/formal. Ini pun sistem perwakilan.

Sistem noken atau sistem ikat di Papua pada dasarnya adalah juga demokrasi dengan perwakilan. Dalam hal ini rakyat ’’diikat’’ oleh mufakat yang dicapai dengan musyawarat dan diwakili oleh kepala adat/sukunya. Dengan kata lain, rakyat menunjuk kepala suku/adat sebagai ’’proxy’’ mereka. Apakah ada ketentuan yang mengatur bagaimana tindakan yang setara dengan, dan menyulihi, pencoblosan surat suara, dan siapa yang berhak melakukan tindakan itu, ini persoalan yang menyangkut teknis.

Demikian pula, tata cara bermusyawarah itu sesuai dengan adat-budaya masyarakat setempat. Andaikata ketentuan itu ada, ya harus dipenuhi. Misalnya di mana noken sebagai sulih kotak suara harus digantungkan, dan apa, bagaimana, serta oleh siapa “suara” pemilih harus dimasukkan ke dalam noken itu, dan seterusnya, harus dijalankan sesuai dengan kebiasaan tradisional yang berlaku.

Noken adalah tas atau semacam pundi-pundi khas Papua yang dibuat dari rajutan pintalan bahan sejenis goni (jute). Sebagaimana lazimnya tas, noken dapat dipakai untuk membawa barang-barang, seperti sembako bila orang berbelanja di warung atau di pasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar