Mendambakan
Hati yang Murni
L Murbandono Hs ; Peminat Peradaban,
Tinggal di Ambarawa Kabupaten Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 20 Agustus 2014
"Sengketa hasil pilpres
memang ruwet dan rumit, namun sejatinya tetap bisa dinalar dengan hati yang
murni"
BECIK ketitik ala ketara,
baik dan buruk akhirnya akan tersingkap. Petuah kebijakan peradaban Jawa itu
‘sakti’, dalam arti selalu terbukti terjadi, menyangkut segala pertikaian.
Ini juga akan menjadi kenyataan berkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
(PHPU) Presiden 2014 hari-hari ini, asal sang penentu baik atau buruk adalah
hati yang murni. Lengkapnya, hati insani paling fitri yang suci murni. Apa
atau siapa dia?
Hati
yang murni adalah bagian akal budi, perasaan yang berpikir, merdeka dari
akal-akalan manusia berdasar kehendak jahat ’’akal budi iblis’’. Dia jujur dalam dirinya sendiri maka lebih
sakral ketimbang semua produk peradaban, semisal politik, yang menghasilkan
tata negara, demokrasi, konstitusi, tentara, demonstran, KPU, partai,
organisasi, panitia khusus, dewan kehormatan, segala jenis penasihat, DPRD,
DPD, DPR, MPR, calon presiden dan pendukungnya. Semuanya masih ditambah
seluruh ikutannya.
Hati
yang murni juga lebih bisa dipercaya ketimbang seluruh gerak mekanisme hukum
yang melibatkan seluruh unsur, semisal undang-undang, peraturan, segala jenis
bukti, ilmu pengetahuan, lembaga riset, pakar, segala jenis saksi. Termasuk saksi ahli,
jaksa, advokat, pengacara, hakim, polisi, dan masih banyak lagi yang lain,
bersama seluruh ikutannya.
Sebagai
penentu benar-salah dan baik-buruk maka hati yang murni bertahta di tempat
paling tinggi di depan semua bentuk mahkamah pengadilan bikinan manusia.
Memang, seluruh uraian tersebut mengesankan utopis, das sollen radikal, yang keberadaannya mungkin hanya ada di
surgaloka. Pasalnya, sengketa hasil
pilpres yang saat ini bergulir adalah gonjang-ganjing di dunia nyata sebagai
bagian wujud korelasi antarmanusia
total dengan titik berat sebagai makhluk bermain dalam sebuah
permainan politik. Kata-kata kuncinya adalah bermain, permainan, dan aturan
main.
Selaras
Pilpres
sebagai permainan politik mempersilakan semua bermain selaras aturan main.
Maksudnya, semua aktor harus bermain bersungguh-sungguh (serius dan taat asas
aturan main), dilarang bermain-main (meremehkan aturan main), dan jangan
sekali-kali mempersungguh permainan (menang sebagai tujuan permainan dianggap
segalanya sehingga melakukan segala cara).
Agaknya
kata-kata kunci itu dilupakan oleh sebagian besar pemain dalam permainan
tersebut. Akibatnya, proses penyelesaian sengketa hasil pilpres menjadi
melelahkan dan tiap nalar sehat menjadi amat sedih oleh kegilaan cara bermain
para aktor dalam permainan itu. Lepas dari kebelumsempurnaan berdemokrasi di
negara kita sekarang ini, sejak era reformasi kita sudah mulai kembali
belajar berdemokrasi.
Pada
zaman Orde Baru, demokrasi praktis mati sebab dimanipulasi secara masif,
struktural, dan sistematis oleh diktator dan kliknya. Sebagian anggota klik
diktator tersebut saat ini pun masih ikut aktif bermain dalam permainan
politik. Bahkan memberi warna sesuai kepentingannya, termasuk berkait
keterlahiran sengketa itu yang umpak-umpakan dan amat memalukan Republik
Indonesia yang beradab ini. Artinya, sengketa hasil pilpres, sebagai fakta
sosial berbangsa dan bernegara memang ruwet dan rumit, tapi sejatinya tetap
bisa dinalar dengan hati yang murni.
Maksudnya,
penalaran ini bukan berlandaskan kepala panas yang menghasilkan akal-akalan
atau nalar-nalaran, melainkan bersumber pada kesadaran hati nurani. Bersumber penalaran dengan hati
atau dengan perasaan yang berpikir.
Akal-akalan
Sayang,
agaknya hati yang murni itu nyaris tidak hadir, atau amat sayup-sayup. Yang
paling mengemuka justru akal-akalan atau nalar-nalaran, bahkan tidak jarang
disertai okol-okolan alias adu kekerasan yang vulgar dan kasar. Kenyataan ini
sungguh-sungguh merusak proses pembelajaran demokrasi yang telah dirintis
sejak Mei 1998. Para perusak ini, dari kubu mana pun, kelak harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum.
Jadi,
masalah gugatan hasil pilpres yang tergawat adalah ketidakhadiran atau
minimal kelangkaan hati yang murni mengingat didominasi oleh akal-akalan dari
kepala yang sedang panas terkait dengan perselisihan tersebut. Itu terjadi, sebagaimana telah disebutkan
karena para pemain meremehkan aturan main sehingga menang sebagai tujuan
dianggap segalanya sehingga segala cara pun dilakukan.
Untunglah,
ada becik ketitik ala ketara.
Sekalipun segala cara dilakukan, dengan berdasarkan hati yang
murni, semua orang yang bernalar sehat
berkat restu kefitrian alam dan petunjuk Tuhan, dengan sendirinya akan mengenal
siapa baik dan siapa buruk. Minimal mereka bisa ”merasa” siapa yang lebih
baik, dan lebih tidak berbahaya.
Banyak
teman yang saya kenal dengan baik, selama hidup menjadi golput, dan baru
dalam Pilpres 2014 ikut mencoblos. Bukan karena hendak memilih si Anu
melainkan sekadar menghalangi agar si Anu yang lain tidak terpilih. Catatan
kecil ini saya akhiri dengan doa. Semoga semua pihak sadar diri dan bisa
kembali ke hati yang murni sehingga secara otomatis taat asas secara pantas
dan beradab pada aturan main. Semoga siapa pun terpilih sesuai aturan main
menjadi Presiden RI 2014-2019 diterima dengan ikhlas oleh siapa pun. Tak ada
lagi pertikaian, semua damai, dan Republik Indonesia bahagia. Merdeka! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar