Melegalkan
Aborsi secara Terbatas
Eko Pujiono ;
Dosen FH Universitas Hang Tuah Surabaya, Kandidat Doktor
Ilmu Hukum Unair bidang Penelitian Hukum Kedokteran dan Hukum Rumah Sakit
|
JAWA
POS, 22 Agustus 2014
PENGATURAN hak atas aborsi selalu mengundang perdebatan. Segala
bentuk diskursus pengaturan aborsi selalu menciptakan dikotomi pandangan
ekstrem. Bentuk pembolehan atau pelarangan aborsi selalu terkonfirmasi dalam
pesan moral agama. Hal itu mengakibatkan sikap pribadi atas isu aborsi
menjadi cermin sikap keyakinan agama yang dianutnya. Karena itu, pengaturan
aborsi menjadi berita sensitif lantaran berpotensi melukai keyakinan
masyarakat atas keyakinan agamanya.
Kebijakan pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
61 Tahun 2014 telah menuai reaksi beraneka ragam. Ada beberapa kalangan yang
menganggap PP tersebut melegalkan praktik aborsi. Kalangan yang lain
menganggap PP itu masih wajar.
Perdebatan pengaturan aborsi seharusnya berawal dari tujuan
pengaturan tersebut. Ada dua subjek yang menjadi sasaran pengaturan aborsi.
Yaitu, janin/bayi dan perempuan yang mengandung janin/bayi. Kepentingan dua
subjek tersebut harus dipandang secara bersama-sama saat menentukan kaidah
norma pengaturan aborsi. Kepentingan keduanya harus dijamin secara
proporsional.
Hak hidup bayi dan kehendak si ibu merupakan kepentingan hukum
yang harus terjelaskan secara bertanggung jawab dan rasional-beralasan.
Pengaturan aborsi tidak semata tunduk pada prinsip life-prolonging,tetapi
juga tunduk pada prinsip pro-choice.
Pendekatan Pemidanaan pada Aborsi
Pengakuan aborsi sebagai hak seyogianya berawal dari
identifikasi aspek kebutuhan. Hak aborsi timbul sebagai bentuk kebutuhan
medis ataukah kebutuhan atas hak privasi. Sebagai perbandingan, di AS,
perkembangan kebutuhan aborsi sebagai hak atas privasi terinspirasi kasus Roe
v Wade pada era 1973. Pada kasus Roe v Wade, putusan Supreme Court AS telah
mengoreksi larangan aborsi yang dianut hukum Texas. Hukum Texas mengatur,
aborsi hanya dilakukan dalam rangka penyelamatan ibu untuk kebutuhan medis.
Akhirnya, hakim Supreme Court berkesimpulan, pengadilan yang memutus bersalah
(perempuan pelaku aborsi) telah mengurangi hak privasi perempuan (J. Shoshanna
Ehrlich, 2006).
Tindakan melarang perempuan melakukan aborsi terhadap bayi yang
tidak dikehendaki merupakan bentuk psychological harm kepada perempuan. Kasus
yang sama terjadi pada Planned Parenthood of Southeastern Pennsylvania v
Casey ( J. Shoshanna Ehrlich, 2006). Hal itu menegaskan bahwa pelarangan
aborsi sesungguhnya tidak berlaku mutlak. Hakim Supreme Court membedakan hak
hidup manusia pada bayi di kandungan dengan hak hidup manusia pada bayi yang
telah lahir.
Karena itu, perlindungan hukum antara manusia di dalam kandungan
dan manusia yang telah lahir tidak bisa disamakan. Supreme Court
mendefinisikan, orang sebagaimana dimaksud dalam konstitusi adalah manusia
yang telah dalam kondisi lahir. Karena itu, perlindungan penuh diberikan
kepada mereka yang telah lahir.
Pada peristiwa korban pemerkosaan, pemidanaan bagi pelaku aborsi
secara mutlak akan menimbulkan kerancuan hukum. Pada satu sisi, pemerkosaan
merupakan perbuatan kriminal dan perbuatan yang tidak dikehendaki korban
pemerkosaan.
Pada sisi lain, hak korban pemerkosaan untuk melakukan aborsi
dilarang. Akibatnya, korban pemerkosaan harus menerima bayi hasil pemerkosaan
yang tidak diinginkan tersebut. Karena itu, penerapan hukum pidana pada kasus
aborsi seyogianya diawali dari penegasan kedudukan hukum dari fetus saat
aborsi dilakukan. Pembedaan konsepsi manusia di dalam kandungan dengan
manusia yang telah lahir akan berpengaruh pada pengaturan aborsi sebagai
masalah moral privat ataukah moral publik.
Perlindungan Kepentingan Perempuan
Hukum kesehatan Indonesia telah mengambil sikap bahwa pengaturan
kesehatan reproduksi tunduk pada prinsip agama dan peraturan
perundang-undangan (pasal 74 ayat 2 UU No 36/2009). Itu berarti konstruksi
norma hak aborsi menggunakan standar nilai-nilai agama dan hukum positif.
Landasan tersebut ternyata memengaruhi pengaturan aborsi pada pasal 31 ayat 2
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 dan pasal 76 Undang-Undang
Kesehatan. Keduanya membatasi jangka waktu diperbolehkannya aborsi. UU
Kesehatan dan PP No 61/2014 hanya memperbolehkan aborsi pada dua alasan.
Yaitu, kedaruratan medis dan korban pemerkosaan.
Peraturan hukum Indonesia pada hakikatnya menggunakan prinsip
larangan aborsi. Hal itu ditegaskan dalam pasal 75 ayat 1 UU Kesehatan yang
melarang orang melakukan aborsi. Alasan korban pemerkosaan dan kedaruratan
medis digunakan sebagai alasan perkecualian untuk menembus larangan aborsi
oleh negara. Pelanggaran larangan aborsi akan membawa akibat ancaman pidana
bagi pelakunya paling lama 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1
miliar (pasal 194 UU Kesehatan). Selain itu, hak melakukan aborsi hanya
dibatasi maksimal dalam jangka waktu enam minggu sejak hari terakhir haid
pertama (pasal 76 UU Kesehatan). Pada korban pemerkosaan, aborsi dibatasi
maksimal 40 hari sejak hari pertama haid terakhir (pasal 31 ayat 2 PP No
61/2014).
Pengaturan hak aborsi di Indonesia belum sepenuhnya memberikan
perlindungan kepentingan hukum bagi perempuan yang tidak menghendaki
kelahiran bayi yang dikandungnya. Hal itu setidaknya ditinjau dari
terbatasnya jangka waktu melakukan aborsi dan prosedur tambahan bagi aborsi
karena korban pemerkosaan. Pada korban pemerkosaan, dibutuhkan adanya surat
keterangan dari dokter dan keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain
mengenai adanya dugaan pemerkosaan. Selain itu, aborsi harus dilalui tindakan
konseling kepada pelaku aborsi, baik atas dasar kedaruratan medis maupun
korban pemerkosaan. Pelaksanaan aborsi juga wajib dilaporkan kepada kepala
dinas kesehatan.
Konstitusi menjamin para perempuan atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat atas
sesuatu yang menjadi hak asasinya (pasal 28 G ayat 1 UUD 1945). Hak aborsi
merupakan hak privasi yang layak dipertimbangkan. Profesor RA Markus menyatakan,
demokrasi sebagai bentuk pemerintahan menghendaki kewajiban menolak segala
bentuk pemutlakan nilai ( Mark R. MacGuigan, 1994 ). Segala konstruksi norma
dalam sistem demokrasi terwujud dalam klaim yang serbarelatif. Hal itu juga
berlaku penentuan norma pengaturan aborsi. Upaya mengakomodasi kesadaran
larangan aborsi juga harus mempertimbangkan secara sama dengan kesadaran
mengakomodasi pembolehan aborsi. Pengaturan aborsi membutuhkan keseimbangan
antara konsep demokrasi, konsep hukum masyarakat, dan konsep keyakinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar