Jumat, 22 Agustus 2014

Derita Negeri 1001 Malam

                                        Derita Negeri 1001 Malam

Ismatillah A Nu’ad  ;   Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta
REPUBLIKA, 21 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Situasi sosial dan politik di Irak yang dijuluki negeri 1001 malam saat ini semakin lepas dari kendalinya. Negeri yang dulu banyak memproduksi ulama-filosof kenamaan, seperti Imam al-Ghazali (1058-1111 M) hanya tinggal kenangan. Bagai negeri barbar, itulah mungkin yang pas untuk menggambarkan kondisi Irak saat ini. 

Bagaimana tidak, masyarakat Irak sekarang terpecah-pecah dalam sektarianisme politik, tribe, dan golongan keagamaan. Negara dan pemerintahan hilang kewibawaan dan integritasnya. Pemberontakan terjadi di mana-mana, hampir tiap hari masyarakat tak berdosa menjadi tumbal para martir.

Mengapa situasi Irak belum stabil? Padahal, pemerintahan Obama telah menarik pasukan keamanan internasionalnya. Paling tidak ada dua alasan penting untuk menjawab hal tersebut. Pertama, instabilitas keamanan terjadi karena masih banyak loyalis Partai Baath yang jelas beroposisi dengan pemerintahan "boneka AS" di Irak. Para loyalis Partai Baath sengaja membuat instabilitas keamanan, di satu sisi selain karena mereka ingin menunjukkan taringnya pada AS juga ingin mendelegitimasi pemerintahan Irak saat ini. 

Kedua, munculnya jaringan pemberontak, seperti ISIS, menyusul semakin gencarnya pemerintah AS dalam agenda counterterrorism. Jaringan ISIS menganggap bahwa pemerintahan Irak saat ini adalah kaki tangan AS, yang ikut menyokong pembumihangusan jaringan ISIS. 

Hal ini sejalan dengan analisis Salah Hemeid dalam opininya berjudul "Message of fear in Irak" di harian al-Ahram, Harian Timur Tengah yang terbit di London, Inggris. Menurutnya, instabilitas keamanan di Irak akhir-akhir ini terjadi karena adanya dua kekuatan oposisi besar yang menentang pemerintah boneka AS, yakni loyalis Partai Baath yang terlarang di satu sisi, dan jaringan ISIS yang virusnya semakin menyebar di kalangan anak muda Irak.  Perdana Menteri Irak, menurut Hemeid, menyadari adanya dua kekuatan itu, karenanya memerintahkan Mayor Jenderal Qassim Atta sebagai Komando Operasi Keamanan di Irak supaya bisa meminimalisir kekuatan martir yang sering terjadi belakangan ini. 

Terlepas dari analisis tersebut, sebenarnya pemerintah AS harus bertanggung jawab atas terjadinya situasi yang tidak kondusif di Irak saat ini, terutama mantan presiden Bush harus bertanggung jawab atas semuanya. Mestinya Bush dibawa ke pengadilan internasional atas derita rakyat Irak yang terjadi sekarang. Bush telah melakukan sebuah kejahatan perang yang telah menewaskan jutaan warga sipil Irak.

Seperti kita tahu, semenjak invasi AS di Irak kali pertama pada tahun 2003, negara itu berubah total menjadi negara terburuk di dunia Islam setelah Palestina. Bush saat itu sangat ambisius ingin menumbangkan Saddam Hussein dengan alasan kepemilikan senjata pemusnah massal dan ingin membumikan demokrasi di Irak. Bush bercita-cita menciptakan sejarah masa depan ekonomi yang gemilang bagi AS melalui pembangunan industrial kekayaan minyak di kawasan Teluk. Meskipun akhirnya yang terjadi sebaliknya, kini ekonomi AS terperosok karena perang, dan Obama mengemban warisan berat untuk memulihkan ekonomi AS dari keterpurukannya. 

Menurut peraih Nobel Ekonomi tahun 2001 Joseph Stiglitz, Perang Irak telah memberi kontribusi kepada melambatnya ekonomi AS dan sekaligus menghalangi pemulihannya. Sewaktu Bush masih berkuasa, pemerintah AS sangat menganggap enteng biaya perang tersebut. Perang AS di Irak telah menelan dana langsung dari Departemen Keuangan AS sebesar 845 miliar dolar AS, jumlah yang sangat fantastik. Dulu orang berpikiran bahwa perang adalah bagus untuk ekonomi AS, tapi kenyataannya malah sebaliknya, membuat ekonomi AS kini mengalami masa yang paling buruk.

Begitu pula, ideolog Necons AS yang masih keturunan Jepang seperti Francis Fukuyama (1999), saat itu berargumen tentang kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal yang diterapkan secara mentah-mentah oleh Bush. Ditopang dengan penguasaan teknologi militer yang canggih, semua itu ternyata belum tentu bisa merealisasikan masa depan AS yang gemilang. Malah sebaliknya, AS mengalami kebangkrutan akibat ulah mantan presiden Bush. Kebangkrutan setidaknya dapat dilihat dalam beberapa pandangan. 

Pertama, dari segi penerapan demokrasi yang selama ini dibangga-banggakan AS. Misalnya, ternyata negara "bapak demokrasi dunia" itu malah menggerogoti nilai-nilai demokrasinya sendiri yang digambarkan melalui kedigdayaan serta otoritarianisme militernya. Sebab, menurut Samuel Huntington (1997), dalam The Third Wave Democratization, sebuah negara belumlah dikatakan demokratis selagi militer masih mendominasi tatanan kebangsaannya.

Kebangkrutan kedua AS ditunjukkan dengan standar ganda politik luar negerinya. Seperti diketahui umumnya, politik luar negeri AS selalu bersayap. Jika pemerintahan Gedung Putih menyerukan counterterrorism itu berarti sama halnya dengan war against terrorism. Dengan politik standar ganda itu pulalah, AS mengebiri negara-negara dunia dengan jargon demokrasi. Satu sisi AS mengaku sebagai negara penjaga demokrasi, namun di sisi lain juga melestarikan atau mendukung sistem politik monarki Arab Saudi. 

Begitu pula yang terjadi di Irak, AS selalu mendengungkan telah berhasil membawa rakyat Irak dari kegelapan kediktatoran menuju alam demokratis. Namun, yang sebenarnya terjadi justru sebaliknya, rakyat Irak tidak bergerak ke arah yang lebih baik, melainkan menuju keterpurukan, kegelapan, dan diaspora.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar