Senin, 25 Agustus 2014

Pascaputusan MK Kita Bersyukur

                            Pascaputusan MK Kita Bersyukur

Radhar Panca Dahana  ;   Budayawan
MEDIA INDONESIA, 22 Agustus 2014
                                                


BAGI hati yang jernih dan pikiran bersih, keputusan final yang ditunggu dari Mahkamah Konstitusi (MK) sebenarnya sudah dapat diterka. Bahkan lebih jauh lagi, hasil akhir dari pemilihan umum presiden (pilpres) pun sesungguhnya mudah diperkirakan.

Hambatan dari hati dan pikiran jernih biasanya adalah penyelenggara atau pengambil keputusan yang bias atau terinduksi kepentingan partisan hingga keuntungan pribadi.

Kita pun bersyukur, juga berbahagia, kali ini kita mendapatkan para pemimpin, baik dalam lembaga penyelenggara maupun pengadilan yang memproses semua keluhan, protes, dan dakwaan ternyata dapat menjaga dengan teguh kebersihan pikiran dan kejernihan hatinya, sehingga semua yang mereka putuskan tidak keluar dari nilai-nilai mulia dan luhur, dari emosi dan imajinasi publik yang murni.

Artinya, semua hasil dan keputusan selama proses pilpres bukanlah hal yang mengejutkan bagi semua niat baik, yang kita bersyukurnya, masih menjadi mayoritas rakyat.

Apa yang mengejutkan ada lah proses yang berlangsung ketat, mengharu-biru, bahkan menciptakan kecemasan di sebagian kalangan ini telah memunculkan figur-figur atau tokoh--bahkan tergolong muda--yang tidak hanya memiliki kecerdasan, kapabilitas menguasai persoalan, kapasitas manajerial dan organisasional yang baik, dan lebih dari itu semacam kearifan yang menempatkan mereka sebagai pemimpin dengan integritas kepribadian di level tinggi.

Dalam penglihatan lain, integritas tinggi yang ditunjukkan para pemimpin itu membuat kita bersyukur bahwa ternyata kita tidak kekurangan (calon) pemimpin masa depan, bahkan dengan kualitas seorang negarawan.

Pemimpin yang tidak hanya selesai dengan masalah individualnya, tapi juga mampu menjadi trouble shooter bagi persoalan-persoalan kompleks di negeri multietnik, multikultural, multiagama, dan segala keragaman lainnya.

Kita bisa menjadi saksi bersama bagaimana Hamdan Zoelva, dengan ketenangan, ketegasan, dan kecermatannya, mampu memimpin delapan hakim senior lainnya untuk menghasilkan produk-produk konstitusional yang historis dalam lembaganya.

KITA mengapresiasi para pemimpin seperti Husni Kamil Manik, dengan sedikit cacat yang tak berarti, gemilang memuluskan semua proses pemilihan demokratis yang berlangsung selama ini. Tanpa harus menafikan juga peran lugas dan padat moral dari Hadar N Gumay serta pemimpin KPU lainnya.

Di bagian lain, kita juga bersyukur melihat, memeriksa, dan mengapresiasi hasil kerja dari pemimpin Bawaslu, seperti ketuanya, Muhammad, yang teduh, kuat, religius dan sangat menghargai perbedaan hingga mampu menyelesaikan berbagai masalah rumit yang di waktu lalu tampak begitu sukar dituntaskan.

Semua prestasi kemanusiaan, lebih dari sekadar prestasi politik di atas, memberi kita lagi alasan paling dalam untuk bersyukur saat menyadari prestasi tersebut tidak lain ialah prestasi kita, prestasi sebuah bangsa.

Satu capaian yang membuktikan bagaimana bangsa ini sesungguhnya bukan hanya telah mencapai kematangan atau kedewasaan (per)adab(an)nya, tapi juga memang memberi bukti tingkat keadaban tinggi itu sebenarnya sudah sejak lama ada. Satu keadaban yang tidak mungkin memberi kita kematangan sebagai bangsa bila ia tidak tertanam sejak kita dilahirkan, bahkan sejak nenek moyang kita dulu muncul di bumi ini.

Rasa syukur itulah yang sejak awal memberi saya keyakinan kuat, proses sosialpolitik-ekonomi-kultural, apa pun yang terjadi, tidak akan menciptakan chaos apalagi perang terbuka atau perpecahan. Karena perhatikanlah bagaimana suara-suara kecil bermunculan di pelbagai penjuru negeri, bahkan hingga penjuru dunia, dari individu-individu, komunitas hingga satuan-satuan kebangsaan lain yang secara masif bahkan seperti sebuah choir menyerukan, mengimbau, dan mencegah secara moral kemungkinan-kemungkinan terjadinya tindakan yang mendestruksi diri kita sendiri, dari tingkat personal hingga nasional.

Semua itu tidak mungkin muncul dari sebuah adab dan budaya satu bangsa yang rendahan, murahan dan `kemarin sore'. Akhirnya, adab bangsa itu pula yang memberi kita rasa syukur tersendiri melihat dan mendengar beberapa pemimpin dari kubu capres pemohon yang menyuarakan rasa legawanya, kecerdasan batin dalam menerima hasil perjuangan-sepahit apa pun--bahkan sebelum keputusan MK dibacakan.

Semoga suara-suara kubu pemohon itu, betapa pun masih sporadis, dapat menciptakan atmosfer yang membuka ruang-ruang jernih dan bersih dari para pemimpin sekubunya sehingga kita semua akan sama bersyukur, sama berbangga, betapa bangsa kita, bangsa Indonesia, ialah bangsa terdepan dalam adab dan budayanya di dunia. Dengan tantangan apa pun yang harus dihadapinya. Saya percaya, kita semua bisa, tanpa kecuali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar