“Legawa”
Arswendo Atmowiloto ;
Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 23 Agustus 2014
Dalam pemilu, terutama Pilpres kali ini, ada kata yang menjadi
popular. Bunyinya legawa, dituliskan sebagai legowo. Mungkin karena berasal dari
bahasa Jawa, dituliskan memakai o.
Padahal dalam tata cara penulisan Jawa, penulisan yang benar adalah legawa.
Artinya ikhlas. Atau dalam gaya Maduraan, ikhlas klas-klas. Dengan kata lain,
legawa atau ikhlas adalah tulus hati, dengan hati yang bersih, jujur. Dalam
bahasa Jawa, kata legawa digandengkan dengan lila, menjadi lila-legawa,
atau rela dan ikhlas, terkait pada penyerahan, pemberian kepada orang lain.
Mestinya Menteri Luar Negeri kita, Marty Natalegawa, mempunyai
orang tua yang mengenal makna kata itu, dan atau nama keluarga dan mengetahui
makna di balik kata itu. Tapi kali ini, saya bukan membicarakan menlu, atau
sejenis itu, yang bisa baru bisa perpanjangan setelah Oktober nanti.
Melainkan popularnya penggunaan kata legawa yang dikaitkan
dengan pilpres. Dikaitkan dengan capres nomor urut satu, Prabowo. Ini diakui
sendiri oleh yang bersangkutan dengan, kurang lebih mengatakan, “Saya disebut tidak legawa tidak masalah, tapi bagaimana
tanggung jawab saya....” Prabowo Subianto sedikit banyak mengetahui makna kata
legawa dalam komentar ketika berada di Bandung, Selasa kemarin (19/8). Hal
senada dilakukan tim koalisi merah-putih yang bisa menerima hasil keputusan
Mahkamah Konstitusi, namun akan melanjutkan upaya hukum ke PTUN, dan atau
membuat Pansus Pilpres di Senayan.
Legawa adalah
kerelaan tanpa embel-embel, tanpa reserve, tanpa transaksi. Barangkali bisa diartikan demikian, dan karenanya dianggap
sikap yang baik, ksatria. Misalnya, kalau saja Prabowo-Hatta segera memberi
ucapan selamat kepada Jokowi-Kalla, dan atau mengakui kemenangan lawan.
Karena biasanya itu yang terjadi, dan sering dicontohkan bagaimana John
McCain yang dikalahkan Barrack Obama dalam Pilpres Amerika, tahun 2008 lalu.
Sikap McCain yang
legawa – padahal bukan orang Jawa, dianggap hebat dan bagus. Terutama karena
dengan demikian ketegangan yang ada, permusuhan yang terjadi, perbedaan yang
tercipta selama kampanye, terjembatani oleh saling pengertian. Legawa adalah jembatan bagi perbedaan, bridge our differences, yang terjadi karena satu dan lain hal.
Itu yang segera terasakan di pilpres kita kali ini. Bukan hanya media mana
memihak siapa, melainkan juga masyarakat yang tadinya menjagoi Prabowo dan
atau Jokowi.
Perbedaan yang terjadi perlu dijembatani sehingga komunikasi
lancar, tercipta dialog — bukan monolog. Jembatan itu bisa tercipta kalau ada
sikap legawa, dari kedua pihak. Kalau tidak, perbedaan makin melebar dan
membuat jarak. Yang pada gilirannya hanya akan merugikan dan memperlemah
ke-Indonesia-an kita secara keseluruhan.
Kalau tercipta dua kekuatan yang saling berlawanan, betapa
sia-sia pesta demokrasi yang kita lakukan dengan susah payah. Kalau perbedaan
itu masih terus dikibarkan, pada akhirnya lebih menakutkan. Selalu dalam
pengertian, menang-kalah, selalu menganggap yang lain jahat. Demikian juga
ketika masalah besar negeri ini, semisal kasus korupsi, pun akan dianggap
bagian dari kalah-menang. Kok koruptor yang ditangkap dan dibuktikan dari
kelompok itu, bukan ini. Permusuhan makin menebal, dan sungguh ngeri kalau
akhirnya ada perpecahan permanen.
Saya kira ketika kata legawa diciptakan, justru untuk memberi
wadah, memberi ruang, memaknai suatu kerelaan, kejujuran, pengakuan. Dan kata
itu menjadi pengingat manakala kita melupakan sementara. Tak mungkin
selamanya. Kata itu tercipta tidak untuk menjadi sia-sia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar