Minggu, 24 Agustus 2014

“Legawa”

                                                                “Legawa”

Arswendo Atmowiloto  ;   Budayawan
KORAN JAKARTA, 23 Agustus 2014

                                                                                                                                   

Dalam pemilu, terutama Pilpres kali ini, ada kata yang menjadi popular. Bunyinya legawa, dituliskan sebagai legowo. Mungkin karena berasal dari bahasa Jawa, dituliskan memakai o. Padahal dalam tata cara penulisan Jawa, penulisan yang benar adalah legawa. Artinya ikhlas. Atau dalam gaya Maduraan, ikhlas klas-klas. Dengan kata lain, legawa atau ikhlas adalah tulus hati, dengan hati yang bersih, jujur. Dalam bahasa Jawa, kata legawa digandengkan dengan lila, menjadi lila-legawa, atau rela dan ikhlas, terkait pada penyerahan, pemberian kepada orang lain.

Mestinya Menteri Luar Negeri kita, Marty Natalegawa, mempunyai orang tua yang mengenal makna kata itu, dan atau nama keluarga dan mengetahui makna di balik kata itu. Tapi kali ini, saya bukan membicarakan menlu, atau sejenis itu, yang bisa baru bisa perpanjangan setelah Oktober nanti.

Melainkan popularnya penggunaan kata legawa yang dikaitkan dengan pilpres. Dikaitkan dengan capres nomor urut satu, Prabowo. Ini diakui sendiri oleh yang bersangkutan dengan, kurang lebih mengatakan, “Saya disebut tidak legawa tidak masalah, tapi bagaimana tanggung jawab saya....” Prabowo Subianto sedikit banyak mengetahui makna kata legawa dalam komentar ketika berada di Bandung, Selasa kemarin (19/8). Hal senada dilakukan tim koalisi merah-putih yang bisa menerima hasil keputusan Mahkamah Konstitusi, namun akan melanjutkan upaya hukum ke PTUN, dan atau membuat Pansus Pilpres di Senayan.

Legawa adalah kerelaan tanpa embel-embel, tanpa reserve, tanpa transaksi. Barangkali bisa diartikan demikian, dan karenanya dianggap sikap yang baik, ksatria. Misalnya, kalau saja Prabowo-Hatta segera memberi ucapan selamat kepada Jokowi-Kalla, dan atau mengakui kemenangan lawan. Karena biasanya itu yang terjadi, dan sering dicontohkan bagaimana John McCain yang dikalahkan Barrack Obama dalam Pilpres Amerika, tahun 2008 lalu.

Sikap McCain yang legawa – padahal bukan orang Jawa, dianggap hebat dan bagus. Terutama karena dengan demikian ketegangan yang ada, permusuhan yang terjadi, perbedaan yang tercipta selama kampanye, terjembatani oleh saling pengertian. Legawa adalah jembatan bagi perbedaan, bridge our differences, yang terjadi karena satu dan lain hal. Itu yang segera terasakan di pilpres kita kali ini. Bukan hanya media mana memihak siapa, melainkan juga masyarakat yang tadinya menjagoi Prabowo dan atau Jokowi.

Perbedaan yang terjadi perlu dijembatani sehingga komunikasi lancar, tercipta dialog — bukan monolog. Jembatan itu bisa tercipta kalau ada sikap legawa, dari kedua pihak. Kalau tidak, perbedaan makin melebar dan membuat jarak. Yang pada gilirannya hanya akan merugikan dan memperlemah ke-Indonesia-an kita secara keseluruhan.

Kalau tercipta dua kekuatan yang saling berlawanan, betapa sia-sia pesta demokrasi yang kita lakukan dengan susah payah. Kalau perbedaan itu masih terus dikibarkan, pada akhirnya lebih menakutkan. Selalu dalam pengertian, menang-kalah, selalu menganggap yang lain jahat. Demikian juga ketika masalah besar negeri ini, semisal kasus korupsi, pun akan dianggap bagian dari kalah-menang. Kok koruptor yang ditangkap dan dibuktikan dari kelompok itu, bukan ini. Permusuhan makin menebal, dan sungguh ngeri kalau akhirnya ada perpecahan permanen.

Saya kira ketika kata legawa diciptakan, justru untuk memberi wadah, memberi ruang, memaknai suatu kerelaan, kejujuran, pengakuan. Dan kata itu menjadi pengingat manakala kita melupakan sementara. Tak mungkin selamanya. Kata itu tercipta tidak untuk menjadi sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar