Agenda
Reforma Agraria
Khudori ;
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
(2010-sekarang)
|
HALUAN,
23 Agustus 2014
Artikel ini telah dimuat di REPUBLIKA 18 Agustus 2014
Beberapa waktu yang lalu, sambil menunggu proses akhir pemilihan presiden
di Mahkamah Konstitusi, presiden terpilih Joko Widodo langsung tancap gas:
membentuk Tim Transisi. Tim untuk memuluskan proses transisi dari presiden
lama ke presiden baru.
Tim yang dikomandani eks
menperindag Rini Soemarno itu punya tiga tugas. Pertama, menuntaskan
pembahasan RAPBN 2015. Kedua, mengkaji kelembagaan presiden, arsitektur
kabinet dan kelompok kerja untuk mempercepat visi dan misi. Ketiga, menyusun
konsep skala prioritas jangka pendek dan menengah berdasarkan visi, misi,
dan janji-janji kampanye Jokowi-JK. Tim transisi hanya membuat rekomendasi,
keputusan akhir sepenuhnya di tangan Jokowi-JK.
Dalam visi, misi, dan janji
kampanye Jokowi-JK bertekad membawa Indonesia berdaulat di bidang pangan.
Tampak dalam visi, misi, dan program kerja Jokowi-JK memprioritaskan soal
tanah/lahan. Tanah merupakan harta tak ternilai. Bagi petani, bukan hanya
bagian hidup, tanah adalah sumber kehidupan, simbol martabat dan identitas.
Di kalangan masyarakat Jawa terdapat prinsip sadumuk bathuk sanyari bumi ditohing pati (meskipun sejengkal, tanah bagian kehormatan yang dibela hingga mati).
Artinya, tanah memiliki kedudukan penting.
Tanah hanya salah satu jenis
modal. Selain tanah, ada modal manusia dan modal uang. Tapi bagi petani,
modal tanah amat menentukan akses terhadap modal lainnya. Itu karenanya,
redistribusi tanah (landreform)
jadi agenda hampir semua negara di dunia. Semua negara yang struktur politik,
ekonomi, dan sosialnya kukuh dan baik, seperti AS, Tiongkok, Jepang, atau
Korea memulai pembangunan ekonominya lewat landreform. Landreform jadi bagian penting
menata struktur politik-ekonomi-sosial yang feodalistik.
Indonesia memulai landreform
tahun 1961, bersamaan dengan Taiwan. Cita-cita pendiri bangsa saat
itu adalah menata ulang struktur agraria nasional yang feodalistik dan
kolonialistik serta terkonsentrasi pada segelintir kelompok menjadi
struktur agraria yang berkeadilan sosial. Landreform
dilakukan setelah UU Pokok Agraria No 5/1960 disahkan bersamaan lahirnya UU
Nomor 56 Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Sayang, landreform yang menurut Bung Karno “bagian mutlak revolusi” ternoda konflik vertikal dan horizontal
yang dipicu polarisasi ideologi massa-rakyat. Kelompok kiri pendukung
landreform bersitegang dengan kelompok kanan penolak landreform. Stabilitas
politik terguncang. Landreform era
Bung Karno terhenti seiring pergantian rezim.
Berbeda dengan Bung Karno,
Soeharto tak menjadikan landreform sebagai agenda penting. Soeharto menempuh
jalan pintas dengan mengadopsi Revolusi Hijau. Sepanjang 30 tahun landreform
dimusuhi dan diberangus. Bahkan, para penganjurnya dicap “kiri”.
Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) amat tepat menggambarkan
kondisi agraria hasil 30 tahun Orde Baru. Pertama, kepemilikan dan penguasaan
tanah dan kekayaan alam kian timpang. Kedua, konflik penguasaan dan
pengelolaan atas tanah dan kekayaan alam makin masif.
Ketiga, peraturan yang terkait
agraria/sumber daya alam bersifat eksploratif, sektoral, sentralistis, lebih
berpihak pada pemodal besar dan pemegang kuasa, dan tidak ada pengaturan
memadai guna melindungi HAM dan hak-hak masyarakat adat/lokal.
Keempat, peraturan yang
terkait dengan konservasi SDA tidak memberi jalan keluar yang diharapkan
untuk pemulihan fungsi SDA sebagai landasan pengembangan ekonomi jangka
panjang.
Dampaknya, tumpang-tindih peraturan
membuat tak jelasnya otoritas atas SDA dan salah urus pengelolaan
SDA. Akibatnya, terjadi pengurasan dan pengerukan SDA tanpa batas.
Hasilnya adalah kemiskinan mayoritas rakyat.
Pada 2006 Presiden SBY
pernah berjanji membagikan 8,15 juta hektare lahan untuk rakyat. Secara
ekonomi, landreform yang ditopang program penunjang, seperti fasilitas
kredit, penyuluhan, latihan, pendidikan, teknologi, pemasaran, manajemen,
dan infra struktur—yang dikenal reforma agraria—akan membuat rakyat lebih
berdaya, seperti terbukti di Jepang (Hayami, 1997), dan Zimbabwe (Waeterloos dan Rutherford, 2004).
Reforma agraria bisa jadi
solusi soal-soal struktural, seperti pengangguran, kemiskinan, konsentrasi
aset agraria di segelintir orang, tingginya sengketa/konflik agraria,
rentannya ketahanan pangan dan energi, dan sebagainya
Delapan tahun berlalu janji
tinggal janji. Struktur sosial-ekonomi yang timpang tidak dikoreksi, bahkan
kian akut. Ini tampak dari kepemilikan lahan. Hanya 0,2 persen penduduk yang
menguasai 56 persen aset nasional dengan konsentrasi aset 87 persen dalam
bentuk tanah. Ini berarti aset nasional hanya dikuasai 440 ribu orang. Bahkan
koefesien gini lahan sebagai alat ukur ketimpangan dalam penguasaan lahan
sudah mencapai 0,536 (Winoto, 2010), melampaui batas psikologis “titik ledak”
gejolak sosial di perdesaan.
Sebaliknya, 49,5 persen petani
di Jawa dan 18,7 persen petani luar Jawa tuan tanah. Di sisi lain, 7,3 juta
hektare tanah atau 133 kali luas negara Singapura yang dikuasai swasta dan
BUMN ditelantarkan. Sekitar 1,935 juta hektare tanah yang telantar merupakan
tanah hak guna usaha (Winoto, 2010).
Menurut kalkulasi Perkumpulan Prakarsa (2011), situasi ini jauh lebih buruk
ketimbang kondisi menjelang kejatuhan Orde Baru (1997). Konsentrasi kekayaan
Indonesia kini lebih parah dibandingkan negara tetangga: 3 kali lebih tinggi
dari Thailand, 4 kali ketimbang Malaysia, dan 25 kali dari Singapura (Winters, 2011).
Tampaklah salah satu persoalan
mendasar negeri ini sesungguhnya ketimpangan kepemilikan sumber daya lahan.
Ketimpangan itu membuat kesenjangan kaya-miskin kian melebar, seperti
terlihat dari meroketnya Gini Rasio: dari 0,32 pada 2004 jadi 0,41 pada 2013
(kian tinggi kian timpang). Ini pertama kalinya Gini Rasio masuk ketimpangan
menengah. Tanpa menyentuh masalah struktural ini, akan sulit untuk melepaskan
warga dari jerat kemiskinan dan pengangguran, termasuk bisa berdaulat di
bidang pangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar