Minggu, 24 Agustus 2014

Agenda Reforma Agraria

                                          Agenda Reforma Agraria

Khudori  ;   Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang)
HALUAN, 23 Agustus 2014

Artikel ini telah dimuat di REPUBLIKA 18 Agustus 2014
                         http://budisansblog.blogspot.com/2014/08/agenda-reforma-agraria.html                       
                                                                                                                                   

Beberapa waktu yang lalu, sambil menunggu proses akhir pemilihan pre­siden di Mahkamah Konstitusi, presiden terpilih Joko Widodo langsung tancap gas: mem­bentuk Tim Transisi. Tim untuk memuluskan proses transisi dari presiden lama ke presiden baru.

Tim yang dikomandani eks menperindag Rini Soemarno itu punya tiga tugas. Pertama, menuntaskan pembahasan RAPBN 2015. Kedua, mengkaji kelembagaan presiden, arsitek­tur kabinet dan kelompok kerja un­tuk mempercepat visi dan misi. Ketiga, menyusun konsep ska­la prioritas jangka pendek dan menengah berdasarkan visi, misi, dan janji-janji kam­panye Jokowi-JK.  Tim tran­sisi hanya mem­buat re­komendasi, keputusan akhir se­penuhnya di tangan Jokowi-JK.

Dalam visi, misi, dan janji kampanye Jokowi-JK bertekad membawa Indonesia berdaulat di bidang pangan. Tampak dalam visi, misi, dan program kerja Jokowi-JK mem­prio­ritaskan soal tanah/lahan. Tanah merupakan harta tak ternilai. Bagi petani, bukan hanya bagian hidup, tanah adalah sumber kehidupan, simbol martabat dan identitas. Di kalangan masyarakat Jawa terdapat prinsip sadumuk bathuk sanyari bumi ditohing pati (meskipun sejengkal, tanah bagian kehormatan yang dibela hingga mati). Artinya, tanah memiliki kedudukan penting.

Tanah hanya salah satu jenis modal. Selain tanah, ada modal manusia dan modal uang. Tapi bagi petani, modal tanah amat menentukan akses terhadap modal lainnya. Itu karenanya, redistribusi tanah (landreform) jadi agenda hampir semua negara di dunia. Semua negara yang struktur politik, ekonomi, dan sosialnya kukuh dan baik, seperti AS, Tiong­kok, Jepang, atau Korea memulai pem­ba­ngunan eko­no­mi­nya lewat lan­dre­form. Landre­form jadi ba­gian penting menata stru­k­tur po­litik-eko­­no­mi-so­sial yang feo­­dalistik.

In­do­ne­sia me­mu­­­lai lan­­d­re­fo­rm ta­hun 19­61, bersa­ma­an de­ngan Tai­­­wan. Ci­ta-cita pen­diri bangsa saat itu ada­lah menata u­lang struk­tur agraria nasional yang feo­­da­lis­tik dan ko­lo­nialistik serta ter­konsentrasi pada segelintir kelompok menjadi struktur agraria yang berkeadilan sosial. Landreform dilakukan setelah UU Pokok Agraria No 5/1960 disahkan bersamaan lahirnya UU Nomor 56 Prp/1960 ten­tang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Sayang, landreform yang menurut Bung Karno “bagian mutlak revolusi” ternoda konflik vertikal dan horizontal yang dipicu polarisasi ideologi massa-rakyat. Kelompok kiri pendu­kung landreform bersitegang dengan kelompok kanan pe­nolak landreform. Stabilitas politik terguncang. Landreform era Bung Karno terhenti seiring pergantian rezim.

B­erbeda dengan Bung Kar­no, Soeharto tak menjadikan landreform sebagai agenda penting. Soeharto menempuh jalan pintas dengan mengadopsi Revolusi Hijau. Sepanjang 30 tahun landreform dimusuhi dan diberangus. Bahkan, para penganjurnya dicap “kiri”.

Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Penge­lolaan Sumber Daya Alam (SDA) amat tepat meng­gam­barkan kondisi agraria hasil 30 tahun Orde Baru. Pertama, kepemilikan dan penguasaan tanah dan kekayaan alam kian timpang. Kedua, konflik pe­ngua­saan dan pengelolaan atas tanah dan kekayaan alam makin masif.

Ketiga, peraturan yang terkait agraria/sumber daya alam bersifat eksploratif, sektoral, sentralistis, lebih berpihak pada pemodal besar dan pemegang kuasa, dan tidak ada pengaturan memadai guna melindungi HAM dan hak-hak masyarakat adat/lokal.

Keempat, pera­turan yang terkait dengan konservasi SDA tidak mem­beri jalan keluar yang diha­rap­kan untuk pe­mul­ihan fungsi SDA sebagai lan­dasan pengembangan eko­nomi jang­ka panjang.

Dam­pak­­nya, tumpang-tindih pe­ra­turan mem­­­buat tak je­las­nya oto­ri­tas atas SDA dan sa­lah urus pe­­nge­­lolaan SDA. Aki­b­at­nya, terjadi pe­ngurasan dan pengerukan S­DA tanpa ba­tas. Hasil­nya adalah kemis­kinan mayoritas rakyat.

Pada 2006 Pre­­­siden SBY pernah berjanji membagikan 8,15 juta hek­tare lahan untuk rakyat. Secara ekonomi, lan­dreform yang ditopang program penunjang, seperti fasilitas kredit, penyuluhan, latihan, pendidikan, teknologi, pema­saran, manajemen, dan infra­ struktur—yang dikenal reforma agraria—akan mem­buat rakyat lebih berdaya, seperti terbukti di Jepang (Hayami, 1997), dan Zimbabwe (Waeterloos dan Rutherford, 2004).

Reforma agraria bisa jadi solusi soal-soal struktural, seperti pengangguran, kemis­kinan, konsentrasi aset agraria di segelintir orang, tingginya sengketa/konflik agraria, rentannya ketahanan pangan dan energi, dan sebagainya

Delapan tahun berlalu janji tinggal janji. Struktur sosial-ekonomi yang timpang tidak dikoreksi, bahkan kian akut. Ini tampak dari kepemilikan lahan. Hanya 0,2 persen pen­duduk yang menguasai 56 persen aset nasional dengan konsentrasi aset 87 persen dalam bentuk tanah. Ini berarti aset nasional hanya dikuasai 440 ribu orang. Bahkan ko­efesien gini lahan sebagai alat ukur ke­timpangan dalam penguasaan lahan sudah mencapai 0,536 (Winoto, 2010), melampaui batas psikologis “titik ledak” gejolak sosial di perdesaan.

Sebaliknya, 49,5 persen petani di Jawa dan 18,7 persen petani luar Jawa tuan tanah. Di sisi lain, 7,3 juta hektare tanah atau 133 kali luas negara Singapura yang dikuasai swasta dan BUMN ditelan­tarkan. Sekitar 1,935 juta hektare tanah yang telantar merupakan tanah hak guna usaha (Winoto, 2010). Menurut kalkulasi Perkumpulan Pra­karsa (2011), situasi ini jauh lebih buruk ketimbang kondisi menjelang kejatuhan Orde Baru (1997). Konsentrasi kekayaan Indonesia kini lebih parah dibandingkan negara tetangga: 3 kali lebih tinggi dari Thai­land, 4 kali ketimbang Malaysia, dan 25 kali dari Singapura (Winters, 2011).

Tampaklah salah satu persoalan mendasar negeri ini sesungguhnya ketimpangan kepemilikan sumber daya lahan. Ketimpangan itu mem­buat kesenjangan kaya-miskin kian melebar, seperti terlihat dari meroketnya Gini Rasio: dari 0,32 pada 2004 jadi 0,41 pada 2013 (kian tinggi kian timpang). Ini pertama kalinya Gini Rasio masuk ketimpangan menengah. Tanpa menyentuh masalah struktural ini, akan sulit untuk melepaskan warga dari jerat kemiskinan dan pengangguran, termasuk bisa berdaulat di bidang pangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar