Kamis, 07 Agustus 2014

Ketahanan Hamas terhadap Israel

Ketahanan Hamas terhadap Israel

Ibnu Burdah  ;   Pemerhati Masalah Timur Tengah dan Dunia Islam,
Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 06 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

"Yang pasti, perkembangan persenjataan Hamas selama perang ini, banyak mengejutkan Israel"

OFENSIF Israel ke Gaza telah berlangsung hampir sebulan kendati dengan beberapa jeda untuk kepentingan darurat kemanusiaan. Tujuan ofensif Israel ke kali ini tak berbeda dari akhir 2008. Tujuan itu yakni melumpuhkan kapasitas militer Hamas. Akankah Hamas mampu bertahan dari kombinasi serangan udara masif-intensif, darat dan laut dari militer yang dikenal terkuat di Timur Tengah itu?

Sejarah mencatat, kelompok ini mampu bertahan dari serangan besar Israel sekitar sebulan pada 2008, dan mampu bangkit lagi membangun kekuatan. Mereka juga memiliki pengalaman lebih dari cukup dalam menghadapi kondisi sangat sulit.

Namun, situasi sekarang berbeda dari akhir 2008. Kala itu, Hamas pemenang pemilu dan berada di puncak kejayaan politik dan militer. Mereka sangat populer di kalangan rakyat Palestina. Bukan hanya di Gaza melainkan juga di kota-kota di Tepi Barat dan di kamp-kamp pengungsi Palestina tersebar di banyak negara.

Mereka memperoleh simpati luas dari dunia Arab dan dunia Islam. Di tengah kegagalan beruntun proyek perdamaian sejak kematian Rabin 1995, perlawanan menjadi pilihan yang memiliki daya tarik kuat masa itu.

Apalagi sebelum masa itu, otoritas Palestina yang telah memperoleh kekuasaan terbatas diterpa isu korupsi skala luas terhadap bantuan-bantuan internasional untuk Palestina.

Simpati Menguat

Simpati kepada Hamas pun menguat sebab mereka lebih mandiri dalam pendanaan dan gerakan. Mereka juga mampu mengkreasi layanan sosial dan pendidikan mengalahkan proyek-proyek pemerintah Palestina yang ditopang bantuan internasional cukup besar. Sekarang Hamas terpojok dari sisi mana pun. Pembeda terpenting adalah tumbangnya pemerintahan Ikhwan di Mesir di bawah Mursi.

Rezim baru Mesir menuduh Hamas terlibat aktif membantu gerakan Ikhwan Mesir mulai pembebasan tahanan, mempertahankan pemerintahan Mursi hingga membuat ”onar” saat Mursi ditumbangkan.

Rezim baru Mesir menetapkan Hamas sebagai organisasi teroris sebagaimana terhadap Ikhwan. Hamas dituding ikut campur sangat jauh dalam persoalan dalam negeri Mesir.

Hamas sekarang jadi musuh dari rezim Mesir yang seharusnya menjadi mitra strategis bagi kelompok itu untuk bertahan. Bahkan, para petinggi Mesir menyebut kelompok-kelompok bersenjata yang melakukan aksi pembunuhan terhadap tentara dan polisi Mesir pascakejatuhan Mursi adalah orangorang terkait Hamas. Karena itu, Mesir terlibat dalam upaya penghancuran Gaza saat ini, dan itu makin terbukti dengan kuatnya ”sinyal koordinasi” Tel Aviv- Kairo terkait operasi itu dan upaya gencatan senjata.

Keterpojokan Hamas makin parah sebab Mesir berupaya mendesakkan ”vonisnya” terhadap Hamas ini kepada negara-negara Arab lain. Tak pelak, karena pengaruh Mesir, posisi Hamas di kawasan makin sulit.

Kondisi ini masih diperparah peristiwa yang lebih dulu terjadi yakni perang Suriah. Sebagian pemimpin kelompok ini semula tinggal di Suriah termasuk pemimpin tertinggi biro politiknya Khaled Meshal. Perang Suriah yang melibatkan aktor-aktor kuat kawasan, sebagian adalah pendukung Hamas, menjadikan kelompok ini kehilangan salah satu patron pentingnya.

Namun Hamas (akronim dari Harakah al-Muqawamah al-Filisthiniyyah/ Gerakan Perlawanan Palestina) yang secara literer berarti ”begitu gigih” memang mencerminkan namanya. Mereka memiliki mental baja untuk menghadapi situasi sangat sulit. Misalnya di tengah isolasi dari semua sisi, baik Israel, Mesir dan Tepi Barat, kelompok ini masih mampu memenuhi kebutuhan untuk membangun persenjataan melalui terowongan berjarak berkilokilometer di perbatasan Refah.

Keunggulan kelompok ini juga berkat soliditas internalnya. Berbeda dari kelompok ektremis seperti Daisy (NIIS di Irak dan Suriah), kelompok ini sejak terbentuk sekitar 35 tahun lalu tak mengalami perpecahan besar. Ideologi mereka kental tak hanya di kalangan pengikut tapi juga di kalangan para pemimpinnya.

Yang tak kalah penting, dalam kesadaran kelompok Hamas, mereka selalu dalam situasi perang dengan Israel kendati tak ada kontak senjata. Mereka selalu mempersiapkan bakal terjadinya perang besar melawan Israel. Dan inilah mengapa, pemimpin Hamas sejak awal menyatakan kesiapan mereka bertarung dalam waktu lama.

Kapasitas militer Hamas pun menguat secara drastis berkat bantuan setahun pemerintahan Mursi di Mesir. Entah berapa besar logistik persenjataan mereka diisi selama setahun oleh Mesir. Yang pasti, perkembangan persenjataan Hamas selama perang ini, banyak mengejutkan Israel. Dukungan pemerintah Mursi terhadap mereka sangatlah besar sampai-sampai rakyat Mesir iri terhadap Hamas dan menuduh Mursi lebih mementingkan Hamas daripada rakyatnya.

Kekuatan lain dari kelompok ini adalah status sebagai kelompok perlawanan. Status melawan Israel jadi daya tarik luar biasa bagi kekuatankekuatan di Timur Tengah untuk membantu mereka. Mesir (baca: rezim, bukan rakyatnya) barangkali justru membantu Israel dalam upaya melibas Hamas saat ini, tapi kekuatan lain seperti Iran, Hizbullah, bahkan Assad diyakini membantu kelompok ini di lapangan.

Qatar dan Turki, dua negara sangat berpengaruh, juga merupakan pembela setia mereka secara politik dan finansial. Hamas sepertinya mampu bertahan kendati mengalami pelemahan pascaperang yang menelan korban kemanusiaan begitu besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar