Kurikulum
Tanpa Buku
Wiyaka ;
Dosen Universitas PGRI
Semarang,
Kandidat
Doktor Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 15 Agustus 2014
DI
tengah persoalan belum terdistribusikannya semua buku ajar atau buku teks
Kurikulum 2013 (K13), pemerintah menjamin buku yang wajib dibeli oleh sekolah
dengan menggunakan dana bantuan operasional sekolah ( BOS) itu sampai di
semua sekolah sebelum 15 Agustus 2014 (SM, 6/8/14). Apa urgensi dan relevansi
buku teks terhadap kurikulum? Apakah tiadanya buku teks jadi kendala serius
pelaksanaan kurikulum? Untuk kurikulum konvensional berbasis konten (content-based curriculum), jawabannya
ìya”. Bagaimana dengan kurikulum berbasis kompetensi, seperti K13? Dalam
perspektif kurikulum modern, keberadaan buku teks bukanlah keharusan. Guru
yang bertindak efektif tidak perlu merisaukan perihal buku teks yang akan
digunakan di kelas kendati dia wajib mengetahui kurikulum dan silabus mata pelajaran
yang dipegang.
Langkah
pemerintah menasionalisasikan buku teks, kurang tepat dan justru kontradiktif
terhadap tuntutan K13 yang secara prinsip berbasis kompetensi dan
performansi. Kata kunci dari pelaksanaan kurikulum terbaru itu, yang
menggunakan pendekatan saintifik adalah menuntun anak mencari tahu, bukan
memberi tahu. Kegiatan mencari tahu membutuhkan kreativitas dari murid, yang
perlu diinisiasi guru. Ini sebuah revolusi paradigma baru cara mendidik siswa
yang belum sepenuhnya disadari guru, termasuk pembuat kebijakan itu sendiri.
Kegiatan saintifik seperti mengamati, menanya dan mengeksplorasi misalnya,
sangat mungkin dilakukan tanpa kehadiran buku teks. Cukuplah bagi guru
menyediakan bahan ajar, menunjukkan sumber belajar dan biarkan siswa bereksperimen
sendiri untuk menemukan sesuatu (discovery
learning). Saya tidak mengatakan buku teks tidak penting. Bagi guru yang
berkemampuan dan beraksesibilitas terbatas, kehadiran buku teks sangat
membantu dalam melaksanakan kurikulum baru tersebut. Kita pun tahu bahwa buku
pelajaran atau buku teks dirancang secara khusus sebagai bahan pembelajaran
bidang studi tertentu.
Buku
teks dibuat sebagai pelengkap kurikulum yang isinya tentu mengacu silabus
mata pelajaran tertentu, Jadi, bukan hanya cakupan materi yang harus sesuai
dengan sistematika keilmuan, melainkan urutan kompetensi yang harus dicapai,
termasuk komponen evaluasinya. Namun tak berarti buku teks jadi satu-satunya
sumber belajar bagi siswa. Apalagi bila ada tengara kualitas buku itu patut
dipertanyakan. Ada kesan buku-buku K13 dibuat agak terburu-buru. Buku teks
yang baik semestinya melalui tahap uji coba sebelum dibakukan sebagai
pegangan wajib bagi siswa secara nasional.
Memasung Kreativitas
Keharusan
memakai buku teks wajib pun memasung kreativitas dan fleksibilitas guru dalam
menyiapkan bahan ajar. Guru yang kreatif dapat memilih bahan ajar yang
menarik dan menantang sesuai dengan kemampuan, minat, dan pengalaman anak.
Bahan ajar dapat diperoleh dari berbagai sumber di luar buku teks, seperti
media cetak dan elektronik, narasumber, serta lingkungan fisik, alam, sosial,
dan budaya. Guru juga dapat mengembangkan sumber belajar yang sesuai dengan
memanfaatkan potensi di lingkungan sekolah, misal memanfaatkan tanah/kebun
sekitar, meminta bantuan instansi terkait atau dunia usaha/industri (lapangan
kerja) atau tokoh-tokoh masyarakat. Pilihan mengadopsi kurikulum berbasis
kompetensi dan performansi mengandung konsekuensi pergeseran teknologi
instruksional. Kurikulum konvensional menekankan konten pengetahuan yang
biasanya tersaji dalam buku teks. Guru hanyaberperan sebagai mediator antara
siswa dan buku teks.
Dalam
praktik, seluruh aktivitas belajar dan mengajar berpusat pada buku. Tugas
guru hanya ìmenghabiskan” isi buku untuk semester berjalan. Pelajaran
diarahkan untuk penguasaan seluruh materi yang tersaji dalam bab demi bab.
Adapun kurikulum kontemporer, seperti K13, bertitik tolak dari kompetensi,
bukan dari isi pelajaran. Salah satu cirinya adalah pemanfaatan teknologi
komunikasi dan informasi (TIK) untuk mengakses pengetahuan dan sumber belajar
yang bervariasi dan autentik. Guru tidak lagi berperan sebagai sumber ilmu
atau tempat bertanya melainkan sebagai mentor. Buku cetak tidak lagi menjadi
sarana vital belajar karena semua informasi dapat diakses dengan mudah
melalui teknologi informasi nirkertas. Kunci keberhasilan pelaksanaan
kurikulum terletak di tangan guru. Siapkah dan sanggupkah mereka mengubah
mindset tentang mendidik bahwa guru sebagai penunjuk jalan ke arah pencapaian
kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum? Guru bukan lagi ”penerjemah” buku
teks. Kurikulum sebaik apa pun hanya menjadi dokumen sia-sia andai tidak diimplementasikan
sebagaimana mestinya di lapangan. Mudah-mudahan K13 ini tidak bernasib sama
seperti resep masakan lezat tapi menghasilkan makanan tidak enak gara-gara
tukang masaknya kurang memahami cara mengolah bahan mentah seperti
diresepkan. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar