Sabtu, 16 Agustus 2014

Kurikulum Tanpa Buku

                                           Kurikulum Tanpa Buku

Wiyaka  ;   Dosen Universitas PGRI Semarang,
Kandidat Doktor Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Semarang
SUARA MERDEKA, 15 Agustus 2014
                                                


DI tengah persoalan belum terdistribusikannya semua buku ajar atau buku teks Kurikulum 2013 (K13), pemerintah menjamin buku yang wajib dibeli oleh sekolah dengan menggunakan dana bantuan operasional sekolah ( BOS) itu sampai di semua sekolah sebelum 15 Agustus 2014 (SM, 6/8/14). Apa urgensi dan relevansi buku teks terhadap kurikulum? Apakah tiadanya buku teks jadi kendala serius pelaksanaan kurikulum? Untuk kurikulum konvensional berbasis konten (content-based curriculum), jawabannya ìya”. Bagaimana dengan kurikulum berbasis kompetensi, seperti K13? Dalam perspektif kurikulum modern, keberadaan buku teks bukanlah keharusan. Guru yang bertindak efektif tidak perlu merisaukan perihal buku teks yang akan digunakan di kelas kendati dia wajib mengetahui kurikulum dan silabus mata pelajaran yang dipegang.

Langkah pemerintah menasionalisasikan buku teks, kurang tepat dan justru kontradiktif terhadap tuntutan K13 yang secara prinsip berbasis kompetensi dan performansi. Kata kunci dari pelaksanaan kurikulum terbaru itu, yang menggunakan pendekatan saintifik adalah menuntun anak mencari tahu, bukan memberi tahu. Kegiatan mencari tahu membutuhkan kreativitas dari murid, yang perlu diinisiasi guru. Ini sebuah revolusi paradigma baru cara mendidik siswa yang belum sepenuhnya disadari guru, termasuk pembuat kebijakan itu sendiri. Kegiatan saintifik seperti mengamati, menanya dan mengeksplorasi misalnya, sangat mungkin dilakukan tanpa kehadiran buku teks. Cukuplah bagi guru menyediakan bahan ajar, menunjukkan sumber belajar dan biarkan siswa bereksperimen sendiri untuk menemukan sesuatu (discovery learning). Saya tidak mengatakan buku teks tidak penting. Bagi guru yang berkemampuan dan beraksesibilitas terbatas, kehadiran buku teks sangat membantu dalam melaksanakan kurikulum baru tersebut. Kita pun tahu bahwa buku pelajaran atau buku teks dirancang secara khusus sebagai bahan pembelajaran bidang studi tertentu.

Buku teks dibuat sebagai pelengkap kurikulum yang isinya tentu mengacu silabus mata pelajaran tertentu, Jadi, bukan hanya cakupan materi yang harus sesuai dengan sistematika keilmuan, melainkan urutan kompetensi yang harus dicapai, termasuk komponen evaluasinya. Namun tak berarti buku teks jadi satu-satunya sumber belajar bagi siswa. Apalagi bila ada tengara kualitas buku itu patut dipertanyakan. Ada kesan buku-buku K13 dibuat agak terburu-buru. Buku teks yang baik semestinya melalui tahap uji coba sebelum dibakukan sebagai pegangan wajib bagi siswa secara nasional.

Memasung Kreativitas

Keharusan memakai buku teks wajib pun memasung kreativitas dan fleksibilitas guru dalam menyiapkan bahan ajar. Guru yang kreatif dapat memilih bahan ajar yang menarik dan menantang sesuai dengan kemampuan, minat, dan pengalaman anak. Bahan ajar dapat diperoleh dari berbagai sumber di luar buku teks, seperti media cetak dan elektronik, narasumber, serta lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya. Guru juga dapat mengembangkan sumber belajar yang sesuai dengan memanfaatkan potensi di lingkungan sekolah, misal memanfaatkan tanah/kebun sekitar, meminta bantuan instansi terkait atau dunia usaha/industri (lapangan kerja) atau tokoh-tokoh masyarakat. Pilihan mengadopsi kurikulum berbasis kompetensi dan performansi mengandung konsekuensi pergeseran teknologi instruksional. Kurikulum konvensional menekankan konten pengetahuan yang biasanya tersaji dalam buku teks. Guru hanyaberperan sebagai mediator antara siswa dan buku teks.

Dalam praktik, seluruh aktivitas belajar dan mengajar berpusat pada buku. Tugas guru hanya ìmenghabiskan” isi buku untuk semester berjalan. Pelajaran diarahkan untuk penguasaan seluruh materi yang tersaji dalam bab demi bab. Adapun kurikulum kontemporer, seperti K13, bertitik tolak dari kompetensi, bukan dari isi pelajaran. Salah satu cirinya adalah pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi (TIK) untuk mengakses pengetahuan dan sumber belajar yang bervariasi dan autentik. Guru tidak lagi berperan sebagai sumber ilmu atau tempat bertanya melainkan sebagai mentor. Buku cetak tidak lagi menjadi sarana vital belajar karena semua informasi dapat diakses dengan mudah melalui teknologi informasi nirkertas. Kunci keberhasilan pelaksanaan kurikulum terletak di tangan guru. Siapkah dan sanggupkah mereka mengubah mindset tentang mendidik bahwa guru sebagai penunjuk jalan ke arah pencapaian kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum? Guru bukan lagi ”penerjemah” buku teks. Kurikulum sebaik apa pun hanya menjadi dokumen sia-sia andai tidak diimplementasikan sebagaimana mestinya di lapangan. Mudah-mudahan K13 ini tidak bernasib sama seperti resep masakan lezat tapi menghasilkan makanan tidak enak gara-gara tukang masaknya kurang memahami cara mengolah bahan mentah seperti diresepkan. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar