ISIS
dan Over-Expose Media
Danang Songgo Buwono ;
Komisioner KPI Pusat
|
OKEZONENEWS,
15 Agustus 2014
Artikel DSB ini telah dimuat di SINDONEWS.COM 14 Agustus 2014
atau KORAN SINDO (versi online) 15 Agustus 2014
Kelompok
negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) secara tiba-tiba menjadi isu hangat media
massa secara nasional, baik cetak maupun elektronik akhir-akhir ini. Beragam
berita tentang ISIS di media, di satu sisi sejatinya menjadi upaya waspada
(warning) terhadap paham yang sudah distempel terlarang oleh Pemerintah
melalui Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum dan keamanan (Kemenkopolhukam). Ekspose
berita tentang ISIS dengan demikian menjadi sebentuk kontrol sosial agar
masyarakat tidak terpengaruh terhadap paham ini.
Namun
di sisi lain, ekspose berlebihan (over-expose) terhadap ISIS justru berdampak
sebaliknya. Bukan semata mata kewaspadaan, melainkan ketertarikan. Alih-alih
menjadi kontrol sosial membentengi masyarakat untuk waspada dan berhati-hati,
media secara tidak langsung telah ikut memperkenalkan dan menyosialisasi
ajaran ISIS, sekaligus memperbesar kuriusitas masyarakat untuk semakin ingin
tahu seluk beluk dan gerak gerik kelompok ini. Artinya, dengan demikian,
over-expose media, menjadi pisau bermata dua. Menyebarkan paham sekaligus
mengajak masyarakat menyelami idologi ISIS. Persoalannya, perspektif dan cara
pandang (world view) masyarakat tentang relasi agama dan negara berbeda-beda,
terutama kaitan khilafah islamiyah yang dihembuskan oleh kelompok ini, meski
kajian tentang hal tersebut telah lama dituntaskan oleh para ulama Indonesia
bahwa ijtihad NKRI dan Pancasila adalah pilihan terbaik bagi bangsa ini.
ISIS
sejatinya hanyalah kelompok baru yang hadir karena problematika politik lokal
dan dinamika perseteruan ideologis di Irak dan sebagian negara Arab yang
secara kultur dan politik sama sekali berbeda dengan konteks Indonesia.
Munculnya ISIS di Indonesia dengan demikian, semestinya tidak disikapi secara
berlebihan, apalagi melibatkan instrumen ideologis dan dogmatis. Jika
disadari, kelompok ini bukanlah satu-satunya jenis organisasi impor yang
hadir di Indonesia. Sebab ada kelompok lain yang mendeklarasikan diri sebagai
partai islam internasional (Hizbut Tahrir) yang, meskipun berbeda corak,
namun mempunyai tujuan yang serupa, yakni khilafah islamiyah sebagai ideologi
internasionalisme baru. Faktanya, kelompok ini pun tidak mampu menggeser
bangunan kebangsaan Indonesia (NKRI) dan nilai ideologi Pancasila.
Dalam
bangunan perpolitikan nasional sekalipun, ada pihak yang secara mindset masih
mengedepankan simbolisasi islam dalam konteks negara sebagai bentuk minimalis
dari cita cita khilafah islamiyah. Meski demikian, NKRI tetaplah utuh dan
Pancasila tetap kukuh. Tak hanya ekstrem kanan, isu kemunculan ekstrim kiri
(komunisme) pun menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika ke-Indonesia-an.
Namun demikian, baik ekstrim kanan maupun ekstrim kiri hanya akan selalu
menjadi minoritas tanpa mampu menggeser mainstream kebangsaan kita. Hal ini
telah diyakini sejak lama oleh dua ormas keagamaaan terbesar di Indonesia,
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Saya yakin, selama dua ormas terbesar yang
saya sebut sebagai pondasi keumatan dan kebangsaan Indonesia ini masih dalam
komitmen keindonesiaan, maka ideologi impor manapun tak akan mampu
menggoyahkan konstruksi NKRI. Dengan demikian, pemberitaan over-expose atas
ISIS hanyalah kekhawatiran berlebihan terhadap kelompok minoritas baru itu.
Over
Expose
Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) secara resmi telah mengeluarkan surat edaran kepada
lembaga penyiaran berjaringan nasional (televisi swasta nasional) agar tidak
lagi menyiarkan secara berlebihan berita tentang ISIS. Keputusan ini diambil
didasarkan atas dampak negatif over-expose penyiaran. Surat edaran menegaskan
pentingnya media sebagai pilar demokrasi yang niscaya membentengi NKRI dan
Pancasila dari ancaman nilai-nilai destruktif-eksternal, yakni dengan
meminimalisir segala pemberitaan over-expose tentang ISIS.
Pertama,
over-expose dapat menjadi bentuk lain dari sosialisasi ajaran ISIS. Dalam
fungsinya sebagai the windows of reality (McLuhan: 1980), media akan
mengungkap setiap fakta. Namun di titik ini, terdapat sekian banyak fakta
yang dapat diberitakan sesuai kategori nilai berita (news values)
masing-masing. Jikapun fenomena kelompok ISIS dianggap sebagai fakta dengan
tingkat news value tinggi, maka ia akan terus diurai, dieksplorasi dan
dikabarkan terus menerus. Namun demikian, uraian fakta ini kerap diulang dan
terus diperdetail, selain untuk menyajikan fakta paling menarik kepada
pemirsa, terdapat kepentingan industri dibalik produktifitas berita ISIS,
yakni rating-share, iklan, kebutuhan keunikan fakta dan seterusnya.
Pengulangan pemberitaan dan ekspose berlebihan tentang fenomena ISIS harus
disadari sebagai sosialisasi gratis
bagi kian merebaknya nilai ideologis kelompok ini.
Kedua,
over-expose memojokkan dan mendiskreditkan ISIS dapat menimbulkan simpati
masyarakat terhadap kelompok ini.
Kondisi ini dapat dialanologikan dengan dampak underdog effect dalam pola pencitraan dalam
disiplin ilmu komunikasi. Yakni munculnya dampak empatik dan emosional dari
masyarakat terhadap seseorang atau kelompok tertentu yang diposisikan tidak
menguntungkan. Hal ini semestinya disadari oleh semua pihak, terutama pihak
media. Janganlah terlampau membesar-besarkan kelompok kecil bernama ISIS ini.
Yang dibutuhkan kini adalah tindakan kongkrit pemerintah melalui program riil
di lapangan, baik melalui konsolidasi antarelemen ulama, tokoh masyarakat,
ormas Islam dan seterusnya, hingga program literasi nilai keagamaan inklusif
dan seterusnya sebagaimana program-program yang telah dijalankan selama ini
oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Kini tinggal bagaimana
maksimalisasi program agar dapat dicapai sesuai tujuan dan target group.
Ekspose media tanpa diiringi dengan program riil hanya akan menimbulkan
syakwasangka, munculnya kuriusitas publik hingga dampak underdog effect yang
justru semakin menguntungkan kelompok yang disinyalir sebagai ekstrimis baru
ini.
Ketiga,
over expose media mendedahkan kondisi baru media, terutama televisi, bahwa
transparansi informasi dalam segala hal telah melampaui ambang batas normal
sebuah pemberitaan menuju keadaan yang disebut Baudrillard (1987: 135)
sebagai ekstasi komunikasi (The Ecstasy of Communication). Maknanya, hampir
seluruh dimensi kehidupan masyarakat dituntun oleh logika obyektivisme
kapitalistik yang menawarkan keterbukaan, kebaruan, perubahan dan percepatan
konstan. Dalam keadaan demikian, isu ISIS mendapatkan momentumnya, setelah
masyarakat jenuh dengan tarik ulur isu politik nasional yang sedemikian riuh
dan emosional. Over expose atas pemberitaan kelompok ISIS diposisikan sebagai
obyek untuk senantiasa mencari kebaruan. Kebaruan inilah yang kerap tidak
disadari telah menggantikan nilai kearifan dan kebijaksanaan dalam
pemberitaan media.
Segenap
elemen bangsa ini segera menyadari bahwa apapun fakta yang disajikan, apabila
diekpose terlampau berlebihan, maka akan mengakibatkan dampak negatif
terhadap publik. Media semestinya tak semata-mata mencari kebaruan dan
keunikan sebuah fakta, namun sekaligus mencari makna dibalik berita yang akan
dipublikasikan. Dengan demikian, media akan benar-benar berfungsi sebagai
pilar keempat demokrasi Indonesia, yang santun, berkeadaban, obyektif dan
edukatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar