Kamis, 14 Agustus 2014

“Kudeta Teks” Pemberantasan Korupsi

                    “Kudeta Teks” Pemberantasan Korupsi

W Riawan Tjandra ;   Pengajar Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya, Yogyakarta
KOMPAS, 13 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

SAAT kampanye pemilu legislatif ataupun pemilu presiden, mayoritas kontestan selalu menjadikan isu pemberantasan korupsi sebagai janji politik. Namun, di pengujung berakhirnya jabatan legislatif ataupun eksekutif menjelang pergantian pemerintahan, publik justru dikejutkan dengan produk legislasi yang terkesan menjadi antiklimaks di tengah gencarnya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh para penegak hukum, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Abu-abu

Salah satu pasal dalam Rancangan Undang-Undang Pemerintah Daerah (RUU Pemda) yang menginisiasi apa yang disebut sebagai inovasi daerah dalam Bab XIX Pasal 266 sampai dengan 270 bisa menjadi ”wilayah abu-abu” yang dikhawatirkan berpotensi menjadikan agenda pemberantasan korupsi di level pemerintahan daerah terdistorsi secara sistematis. Pasal 269 RUU Pemda tersebut, tanpa didahului definisi stipulatif yang jelas dalam ketentuan umum tentang makna ”inovasi daerah”, mengatur bahwa dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah menjadi kebijakan pemda dan inovasi daerah tersebut tidak mencapai sasaran yang telah ditetapkan, aparatur daerah tidak dapat dipidana. Munculnya rumusan ketentuan tersebut kiranya berangkat dari kecemasan yang terjadi karena sampai saat ini, berdasarkan data dari Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri, tak kurang dari 325 kepala daerah tersangkut kasus korupsi.

Pasal 266 Ayat (1) RUU Pemda mengaitkan inovasi sebagai rangkaian upaya peningkatan kinerja pemerintah daerah. Pasal 266 Ayat (2) RUU Pemda mengklasifikasikan inovasi daerah itu sebagai semua bentuk pembaruan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Rumusan ketentuan itu lebih menyerupai sebuah argumentasi daripada sebuah preskripsi yang lazimnya menjadi isi sebuah norma hukum. Norma hukum sejatinya merupakan eksplisitas dari perilaku hukum yang menjadi pedoman, bukan sebuah argumentasi atau wacana yang mengundang multitafsir atau diskursus dalam memaknainya.

Ketentuan yang melucuti jerat pidana terhadap kebijakan inovasi daerah bisa menjadi bumerang bagi kelanjutan pemberantasan korupsi yang setelah era otonomi kian marak terjadi di daerah. Bergesernya bandul kekuasaan ke daerah yang tak diimbangi secara memadai dengan tersemaikannya prinsip-prinsip kepemerintahan yang bersih dan baik seakan-akan telah menampilkan para pejabat daerah menjadi otoritas tunggal dalam menentukan kebijakan di daerah.

Berkaca pada berbagai modus korupsi yang terjadi di daerah, siklus kontestasi modal di ranah pilkada sering berlanjut di ranah kebijakan transaksional untuk menutup energi ekonomi-politik para pejabat politik di daerah yang terkuras habis sebagai pembiayaan politik pilkada.

Di titik inilah sangat riskan memberikan arena baru yang dinisbahkan sebagai ”inovasi daerah” dan menjadi norma untuk mengabsahkan tindakan melucuti dari jerat pidana asalkan itu dilakukan secara terbuka, untuk perbaikan kualitas pelayanan dan sejenisnya sebagaimana yang diatur pada Pasal 267 RUU Pemda. Bukankah dengan ketentuan semacam itu, selain akan berpotensi ”melegalkan” praktik korupsi asal dibingkai dengan slogan inovasi daerah, juga akan mengabsahkan perilaku koruptif asalkan dilakukan ”secara terbuka/transparan” dan atas nama ”perbaikan kualitas pelayanan”?

Hal itu mengingatkan kita terhadap hasil amandemen UU MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) yang dengan justifikasi merevitalisasi forum privilegiatum, mengharuskan adanya prosedur perizinan dari Majelis Kehormatan Dewan (MKD) jika ada upaya penyidikan anggota DPR yang terjerat kasus pidana. Produk legislasi yang tak sensitif terhadap upaya pemberantasan korupsi telah menjadikan produk hukum itu, meminjam ungkapan Paul Ricoeur, mengalami otonomisasi teks. Artinya, teks norma hukum itu dilepaskan dari konteks dan maksud sang pemilik teks (rakyat) yang sedang giat memerangi praktik koruptif dalam berbagai modusnya.

Kudeta teks terhadap pemberantasan korupsi merupakan modus baru yang bermain di tataran simbolik yang, meminjam ungkapan Albert Camus, akan menjadikan upaya pemberantasan korupsi memasuki era absurditas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar