“Kudeta
Teks” Pemberantasan Korupsi
W Riawan Tjandra ; Pengajar
Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum
Universitas
Atma Jaya, Yogyakarta
|
KOMPAS,
13 Agustus 2014
SAAT kampanye pemilu legislatif ataupun pemilu presiden,
mayoritas kontestan selalu menjadikan isu pemberantasan korupsi sebagai janji
politik. Namun, di pengujung berakhirnya jabatan legislatif ataupun eksekutif
menjelang pergantian pemerintahan, publik justru dikejutkan dengan produk
legislasi yang terkesan menjadi antiklimaks di tengah gencarnya pemberantasan
korupsi yang dilakukan oleh para penegak hukum, khususnya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Abu-abu
Salah satu pasal dalam Rancangan Undang-Undang Pemerintah Daerah
(RUU Pemda) yang menginisiasi apa yang disebut sebagai inovasi daerah dalam
Bab XIX Pasal 266 sampai dengan 270 bisa menjadi ”wilayah abu-abu” yang
dikhawatirkan berpotensi menjadikan agenda pemberantasan korupsi di level
pemerintahan daerah terdistorsi secara sistematis. Pasal 269 RUU Pemda
tersebut, tanpa didahului definisi stipulatif yang jelas dalam ketentuan umum
tentang makna ”inovasi daerah”, mengatur bahwa dalam hal pelaksanaan inovasi
yang telah menjadi kebijakan pemda dan inovasi daerah tersebut tidak mencapai
sasaran yang telah ditetapkan, aparatur daerah tidak dapat dipidana.
Munculnya rumusan ketentuan tersebut kiranya berangkat dari kecemasan yang
terjadi karena sampai saat ini, berdasarkan data dari Ditjen Otonomi Daerah
Kemendagri, tak kurang dari 325 kepala daerah tersangkut kasus korupsi.
Pasal 266 Ayat (1) RUU Pemda mengaitkan inovasi sebagai
rangkaian upaya peningkatan kinerja pemerintah daerah. Pasal 266 Ayat (2) RUU
Pemda mengklasifikasikan inovasi daerah itu sebagai semua bentuk pembaruan
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Rumusan ketentuan itu lebih
menyerupai sebuah argumentasi daripada sebuah preskripsi yang lazimnya
menjadi isi sebuah norma hukum. Norma hukum sejatinya merupakan eksplisitas
dari perilaku hukum yang menjadi pedoman, bukan sebuah argumentasi atau
wacana yang mengundang multitafsir atau diskursus dalam memaknainya.
Ketentuan yang melucuti jerat pidana terhadap kebijakan inovasi
daerah bisa menjadi bumerang bagi kelanjutan pemberantasan korupsi yang
setelah era otonomi kian marak terjadi di daerah. Bergesernya bandul
kekuasaan ke daerah yang tak diimbangi secara memadai dengan tersemaikannya
prinsip-prinsip kepemerintahan yang bersih dan baik seakan-akan telah
menampilkan para pejabat daerah menjadi otoritas tunggal dalam menentukan
kebijakan di daerah.
Berkaca pada berbagai modus korupsi yang terjadi di daerah,
siklus kontestasi modal di ranah pilkada sering berlanjut di ranah kebijakan
transaksional untuk menutup energi ekonomi-politik para pejabat politik di daerah
yang terkuras habis sebagai pembiayaan politik pilkada.
Di titik inilah sangat riskan memberikan arena baru yang
dinisbahkan sebagai ”inovasi daerah” dan menjadi norma untuk mengabsahkan
tindakan melucuti dari jerat pidana asalkan itu dilakukan secara terbuka,
untuk perbaikan kualitas pelayanan dan sejenisnya sebagaimana yang diatur
pada Pasal 267 RUU Pemda. Bukankah dengan ketentuan semacam itu, selain akan
berpotensi ”melegalkan” praktik korupsi asal dibingkai dengan slogan inovasi
daerah, juga akan mengabsahkan perilaku koruptif asalkan dilakukan ”secara
terbuka/transparan” dan atas nama ”perbaikan kualitas pelayanan”?
Hal itu mengingatkan kita terhadap hasil amandemen UU MD3 (MPR,
DPR, DPD, dan DPRD) yang dengan justifikasi merevitalisasi forum privilegiatum, mengharuskan adanya
prosedur perizinan dari Majelis Kehormatan Dewan (MKD) jika ada upaya
penyidikan anggota DPR yang terjerat kasus pidana. Produk legislasi yang tak
sensitif terhadap upaya pemberantasan korupsi telah menjadikan produk hukum
itu, meminjam ungkapan Paul Ricoeur, mengalami otonomisasi teks. Artinya,
teks norma hukum itu dilepaskan dari konteks dan maksud sang pemilik teks
(rakyat) yang sedang giat memerangi praktik koruptif dalam berbagai modusnya.
Kudeta teks terhadap pemberantasan korupsi merupakan modus baru
yang bermain di tataran simbolik yang, meminjam ungkapan Albert Camus, akan
menjadikan upaya pemberantasan korupsi memasuki era absurditas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar