Tambang
dan KPK
Adnan Pandu Praja ; Komisioner
KPK
|
KOMPAS,
13 Agustus 2014
DENGAN alasan otonomi daerah, ribuan izin tambang telah diobral
pemerintah daerah sehingga menggerus cadangan untuk anak cucu kita.
Diperlukan terobosan komprehensif antara
pencegahan dan penindakan.
Desentralisasi kewenangan pemerintah pusat ke daerah yang
dikemas dalam otonomi daerah dimaksudkan untuk memberdayakan pemerintah
daerah agar dapat berperan strategis menyejahterakan warganya. Namun,
sayangnya, tidak diimbangi dengan penegakan hukum dan sistem pengawasan yang
memadai.
Di bidang mineral dan batubara (minerba), misalnya, otonomi
daerah ditafsirkan sebagai kewenangan mutlak untuk membagi-bagi izin tambang
sampai tidak ada izin tambang yang tersisa untuk bisa diberikan kepada badan
usaha milik daerah. Akibatnya, tumpang tindih izin tambang sering kita
dengar, tetapi hanya segelintir orang yang dihukum.
Dengan ada otonomi daerah, jumlah izin tambang meningkat drastis
dari 350 pada tahun 2004 menjadi 10.922 pada tahun 2014. Obral izin tambang
meningkat menjelang atau setelah pemilihan kepala daerah. Yang pertama, untuk
mencari modal kampanye, sedangkan yang terakhir untuk mengembalikan modal kampanye
apabila yang terpilih baru pertama kali menjabat.
Dari 10.922 izin tambang tersebut, 4.880 di antaranya bermasalah
(tidak clear and clean), misalnya tumpang tindih izin. Sementara 1.335 di
antaranya tidak memiliki nomor pokok wajib pajak, tetapi tetap dapat
beroperasi dan mengekspor hasilnya. Mustahil terjadi tanpa kerja sama dengan
oknum berseragam.
Akibat obral izin tersebut, Indonesia menjadi pengekspor tambang
nomor wahid di dunia, padahal hanya di urutan kedelapan penyimpan cadangan
batubara dunia (menyimpan 2,63 persen). Mengalahkan Australia yang menyimpan
10 persen cadangan batubara dunia (urutan kedua) dan Amerika Serikat yang
menyimpan 30 persen cadangan batubara dunia (urutan keempat).
Ironisnya, prestasi ekspor tersebut tidak diimbangi dengan
peningkatan pendapatan negara. Potensi pendapatan negara yang hilang setiap
tahun diperkirakan ratusan triliun rupiah.
Apabila tidak dikendalikan, diperkirakan 20 tahun lagi Indonesia
akan mengimpor batubara. Akibatnya, tarif listrik akan meningkat drastis
sehingga harga barang akan terdongkrak naik tak terkendali, yang pada
gilirannya akan menimbulkan berbagai gejolak sosial. Amanat Pasal 33 UUD 45,
negara melindungi kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
hanya ilusi belaka. Negara tak berdaya menghadapi mafia tambang hampir di
seluruh lapis birokrasi pusat ataupun daerah.
Untuk menerobos kesemrawutan tersebut, melalui program kerja
sama koordinasi dan supervisi (korsup)
pencegahan bidang minerba, Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan
korsup dengan 12 instansi pusat dan 12 provinsi yang mengeluarkan 70 persen
izin tambang minerba. Korsup juga melibatkan 162 pemerintah kabupaten/kota.
Hasilnya sangat mengejutkan. Hanya dalam tempo tiga bulan,
sebanyak 323 izin tambang telah dicabut oleh pemerintah daerah dan pendapatan
negara meningkat tajam, dari biasanya Rp 9 triliun pada Mei, tahun ini
melonjak menjadi Rp 14 triliun pada bulan yang sama. Jumlah itu akan terus
meningkat. Program korsup minerba akan diikuti pula dengan tindakan pemidanaan
terhadap mafia tambang yang selama ini terkesan kebal hukum.
Presiden baru
Beberapa catatan penting hasil program korsup minerba untuk
presiden baru adalah; pertama, di tingkat pusat. Tidak ada yang kukuh
mempertahankan ego sektoralnya dalam forum rapat koordinasi antarinstansi
yang difasilitasi KPK.
Berbagai data yang selama ini cenderung dirahasiakan dapat
diintegrasikan tanpa hambatan berarti. Misalnya data potensi dan produksi
tambang yang selama ini sulit diperoleh untuk menilai akurasi laporan SPT
Pajak perusahaan tambang telah dapat diakses Dirjen Pajak. Fakta menarik yang
terungkap, tidak sedikit perusahaan penilai abal-abal yang menaksir minerba
siap ekspor.
Di samping itu, sampai saat ini kita tidak punya pelabuhan
khusus minerba. Kedua hal tersebut menjadi faktor dominan yang menyebabkan
potensi pendapatan negara hilang.
Kedua, pemerintah daerah sangat kooperatif terhadap imbauan KPK
dengan mencabut ratusan izin perusahaan tambang bermasalah yang tidak clear
and clean. Padahal, selama ini dikesankan sangat arogan dan emoh dikontrol
oleh pusat dengan dalih otonomi daerah. Dengan demikian, KPK telah mengisi
ruang kosong tata hubungan pusat dan daerah yang selama ini dipandang sebagai
bentuk kegagalan otonomi daerah.
Ketiga, oknum yang mengeluarkan izin sembarangan atau melindungi
pengusaha hitam akan ditertibkan tanpa diskriminasi. Termasuk perusahaan
tambang yang mengabaikan kewajiban reklamasi pasca produksi tambang akan
diseret ke meja hijau.
Hal ini dilakukan setelah BPK menyatakan sanggup menghitung
kerugian negaranya. Langkah penindakan diperlukan karena upaya pencegahan
hanya akan efektif apabila diimbangi dengan upaya penindakan yang
terus-menerus dan terukur.
Keempat, program ini sangat strategis mengintegrasikan data
virtual antarinstansi secara nasional dan real time. Idealnya pendapatan
negara dari sektor minerba dapat terpantau per detik. Dan setiap
ketidakpatuhan juga dapat terdeteksi sejak dini. Dengan data yang akurat,
setiap kepala daerah dapat mengakses potensi pendapatan daerahnya untuk
merancang aktivitas tahun berikutnya. Sebagai perbandingan, Singapura sudah
mengintegrasikan data nasional secara virtual sejak 2004.
Kelima, tumpang tindih peraturan dan kewenangan lebih mudah
dipetakan untuk diselesaikan bersama oleh semua pemangku kepentingan terkait,
sehingga dapat memotong proses sinkronisasi peraturan
perundang-undangan. KPK tentu
tidak akan melaksanakan program kerja sama korsup minerba secara permanen.
KPK hanya memicu kepatuhan saja. Akan ada transformasi (laporan) berupa
rekomendasi tata kelola kepada presiden, rekomendasi audit kepada BPK, dan
rekomendasi pengawasan kepada DPR sesuai dengan amanat UU KPK.
Khusus untuk kevakuman kendali pemerintah pusat terhadap
pemerintah daerah sebagai akibat dari otonomi daerah, untuk sementara KPK
dapat menjadi katalisator. Oleh karena itu, presiden terpilih tidak punya
pilihan selain bekerja sama dengan KPK, di samping memperbaiki tata kelola
pengawasan (Kompas, 24 Juni 2014). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar