Darurat
Riset
Terry Mart ; Fisikawan;
Anggota
Dewan Pendidikan Tinggi dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
13 Agustus 2014
TULISAN Prof Syamsul Rizal (Kompas,
5/8/2014) dan Prof Heru Susanto (Kompas
Siang, 5/8/2014) sangat tepat, baik dari sisi isi maupun sisi momentum. Meski
latar belakang permasalahan berbeda, keduanya menyuarakan situasi darurat
riset di republik ini. Syamsul Rizal menuturkan getirnya pelecehan dunia
internasional terhadap kondisi riset kita serta mengusulkan solusi agar
seluruh insan akademik fokus mengerjakan riset, termasuk rektor perguruan
tinggi. Sementara Heru Susanto menjelaskan secara rinci tahapan yang harus
dilakukan oleh pemerintah (baru) untuk keluar dari keadaan darurat ini.
Selain menyentuh isu yang sedang hangat saat ini, yaitu
penggabungan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dengan Kementerian Riset
dan Teknologi menjadi satu kementerian baru, keduanya menyimpulkan problem yang
sama, yaitu rendahnya kualitas riset. Saya sangat setuju dengan yang terakhir
ini.
Kualitas, bukan yang lain
Dalam satu dekade terakhir muncul kesimpulan, untuk memecahkan
masalah riset ini kita harus fokus pada beberapa bidang. Alasannya simpel;
dana terbatas, modal yang dikeluarkan untuk riset harus kembali dalam tempo
sesingkat-singkatnya.
Jika Heru Susanto berpendapat pemikiran tersebut mengingkari
hakikat riset itu sendiri, saya berpendapat pemikiran pragmatis tersebut
menyesatkan. Alasannya juga simpel. Ambil contoh: lampu penerangan LED yang
menjadi ikon pencahayaan modern serta sangat efisien saat ini dikembangkan
dari riset semikonduktor. Jika dirunut ke masa lampau berasal dari riset
fisika kuantum, jauh dari rencana menghasilkan lampu penerangan. Bayangkan,
jika para ilmuwan berkutat meneliti lilin atau suluh, yang pada masa lalu
merupakan sumber utama penerangan, untuk mencari pencahayaan modern yang
dapat dipakai di gedung-gedung, jalan raya, hingga kamera saku atau ponsel.
Dalam wawancara dengan majalah ilmiah bergengsi Science, Juni 2000, Presiden China
saat itu, Jiang Zemin, menegaskan pentingnya riset dasar, di samping riset
terapan bagi China. Menurut dia, tak akan ada teknologi mikroelektronik tanpa
teori kuantum serta tidak akan pernah ada pembangkit listrik tenaga nuklir
tanpa hadirnya teori relativitas Einstein.
Saat dicanangkan mobil nasional yang harus diteliti dan
dikembangkan di Indonesia adalah mobil listrik, saya sangat khawatir. Dua
komponen terpenting untuk mobil listrik: magnet dan baterai. Apakah riset di
republik ini untuk kedua komponen tersebut sudah sangat berkualitas sehingga
produknya mampu bersaing? Saya khawatir jawabnya tidak mampu. Konsekuensinya,
penelitian mobil listrik semata-mata jadi perakitan mobil listrik, dengan
komponen yang dibeli atau paling tidak dari paten yang dibeli dari luar
negeri.
Kegiatan riset pelbagai bidang ilmu ibarat kegiatan membuat
keping-keping mosaik yang jika dirangkai oleh pembuat kebijakan akan
menghasilkan wajah produk kebanggaan bangsa. Jika keping-keping tadi dibuat
serampangan, dengan kualitas sangat rendah, tentu sulit menggabungkannya.
Kalaupun bisa digabungkan, wajah yang terbentuk tidak jelas sehingga tak
dapat dijual atau dibanggakan.
Di negara maju, keping-keping tadi sudah tersedia dengan
kualitas tinggi, sehingga wajah apa pun yang ingin dirangkai para pembuat
kebijakan dapat mudah terwujud. Jelas bahwa kualitas riset yang rendah akan
menyulitkan pemerintah mencari strategi jitu pemanfaatan hasil riset.
Selain itu, seperti dikemukakan juga oleh Heru Susanto, riset
juga memiliki dimensi-dimensi lain. Di perguruan tinggi, terutama program
pascasarjana, riset merupakan bagian sentral dari pendidikan. Melalui riset,
mahasiswa dididik memahami, menjiwai, dan menerapkan metode ilmiah yang telah
ia pelajari dalam menemukan dan menjelaskan fenomena baru di bidangnya.
Menerapkan metode ilmiah di lapangan kerja masing-masing
merupakan janji tiap wisudawan saat dilepas perguruan tinggi. Di samping itu,
perguruan tinggi juga mengemban tugas mulia yang tak dilakukan institusi mana
pun, yaitu pengembangan ilmu melalui riset. Jika ilmu hanya diimpor dan
diajarkan ke mahasiswa, makna perguruan tinggi berubah semata-mata menjadi
sekolah lanjutan. Namun, untuk dapat mengembangkan ilmu, riset yang dilakukan
harus memiliki kualitas tinggi, setara dengan riset negara maju yang sudah
sejak lama giat mengembangkan ilmu.
Memperbaiki kualitas
Tahapan-tahapan memperbaiki kualitas riset dijelaskan Heru
Susanto. Secara ringkas dapat saya simpulkan ada tiga hal yang perlu
dilakukan, yaitu perbaikan sistem, infrastruktur riset, serta kualitas SDM.
Perbaikan sistem juga mencakup peningkatan investasi riset besar-besaran
serta perubahan sistem penggunaan dana yang banyak dikeluhkan menguras tenaga
dan membingungkan periset. Perbaikan infrastruktur termasuk pengadaan
peralatan baru yang tentu tidak murah. Rendahnya kualitas riset banyak
ditengarai akibat peralatan riset kurang presisi. Sebagian besar peralatan
yang ada saat ini berasal dari proyek pengadaan pada 1980-an dan 1990-an.
Berapa biaya yang dibutuhkan? Belum ada data yang jelas. Namun,
untuk perguruan tinggi, kita memiliki sekitar 20.000 program studi. Jika 30
persen program studi eksakta butuh perbaikan peralatan minimum Rp 10 miliar,
dana yang dibutuhkan sekitar Rp 60 triliun. Pada akhirnya, SDM di belakang
ini semua merupakan kunci utama dari kualitas riset.
Permasalahan di sini bukan hanya rendahnya jumlah periset dengan
kualifikasi doktor, juga banyak doktor yang sudah mengalami pembusukan
akademik. Jika sistem dan SDM juga ingin diperbaiki, saya perkirakan
pemerintahan baru harus mengalokasikan sekitar Rp 100 triliun. Memang mahal,
tetapi akan lebih mahal lagi jika ditunda karena semua sudah berkarat,
sementara kompetisi global meningkat.
Berkaca dari debat capres dan cawapres lalu, saya setuju bahwa
kita tak punya presiden dan wapres dengan visi riset kuat dalam lima tahun ke
depan. Namun, setidaknya kita berharap presiden dan wapres baru punya
keinginan dan perhatian besar untuk memperbaiki kualitas riset. Pentingnya
campur tangan presiden dapat dilihat dari contoh sederhana berikut. Hibah
penelitian yang ada saat ini tidak dapat dipakai untuk menggaji seorang
post-doctoral untuk magang di suatu grup riset tertentu seperti di negara
maju ataupun tetangga kita. Masalah ini berihwal dari pakem standar biaya
umum Kementerian Keuangan. Hanya presiden yang bisa mengubah itu dengan
memberi instruksi kepada Menteri Keuangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar