Senin, 25 Agustus 2014

Tubuh dan Kebudayaan

                                           Tubuh dan Kebudayaan

Bre Redana  ;   Penulis Kolom “Udar Rasa” di Kompas
KOMPAS, 24 Agustus 2014
                                                


LEBARAN masih menyisakan kenangan, dengan pertemuan serta keterhubungan kita dengan saudara, kerabat, teman, bekas pacar, atau siapa pun yang kadang tak terduga. Kali ini sebagai hadiah Lebaran saya menerima kiriman CD dari Abah Iwan Abdulrachman. Terangkum dalam tiga CD, di situ terdapat lagu-lagu dahsyat dari ”Angin November” sampai ”Melati dari Jayagiri”, hasil rekaman live ketika Abah berpentas di Gedung Serbaguna Senayan, Jakarta, 28 April 2006.

Sebelumnya, kepada penggubah lagu hebat dari Bandung itu saya mengirim buku tentang guru dan perguruan silat saya. Abah yang juga dikenal sebagai pendekar, dengan rendah hati sembari mengucapkan terima kasih mengatakan buku tadi menarik sekali.

”Saya menyebutnya ’Amengan Aki Muhidin’. ’Amengan’ itu bahasa Sunda artinya ’permainan’ atau game. Sepertinya banyak hal yang mirip dan sangat bagus untuk ’pembinaan’ sikap hidup,” begitu pesan Abah yang dikirim ke saya.

Sebagian orang yang menekuni olah tubuh, biasanya percaya bahwa pada akhirnya yang hendak dicapai lewat olah tubuh memang sikap hidup. Mengolah tubuh dengan sendirinya akan membawa seseorang pada pengalaman konkret bagaimana tubuh berelasi dengan semua hal. Tak ada yang lebih empirik dari tubuh.

Terbentuknya masyarakat dan kebudayaan, menurut pandangan-pandangan neurologis yang kini populer kembali terutama di Barat, dianggap tak bisa dilepaskan dari evolusi biologis manusia. Itu berhubungan dengan regulasi internal makhluk hidup, sebutannya homeostasis. Urusannya dengan badan. Itu sebabnya ada istilah olah kanuragan.

Berbeda dibandingkan makhluk-makhluk hidup lain seperti binatang, pada manusia, melalui proses panjang, terjadi perkembangan menyangkut kemampuan memori, nalar (reasoning), dan bahasa. Inilah yang memicu dan membuka jalan pada perkembangan homeostasis tadi pada level masyarakat dan kebudayaan.

Dengan itu, lagi-lagi melalui proses yang tidak pendek, homeostasis menemukan ruang perkembangan baru, sebutlah ruang sosiokultural tersebut. Regulasi yang tadinya sebatas di dalam tubuh, berkembang ke lingkup baru: lahir sistem hukum, organisasi politik dan ekonomi, seni, obat-obatan, teknologi, dan lain-lain.

Merosotnya secara drastis kekerasan seiring makin berkembangnya toleransi dalam sejarah perkembangan manusia, tak mungkin terjadi tanpa perkembangan homeostasis sosiokultural itu. Antonio Damasio menguraikan dengan jelas dalam buku Self Comes to Mind: Constructing the Conscious Brain.

Yang ingin ditegaskan di sini, tak bisa diragukannya hubungan antara gejala tubuh seperti kesadaran dengan kebudayaan. Mengolah tubuh, sejatinya adalah mengolah kesadaran. Mengolah kesadaran juga berarti mengolah kebudayaan.

Di situlah aspek otonom, kemandirian, dan kebebasan dari dunia olah tubuh. Mengolah disiplin tubuh adalah mengolah disiplin kehidupan. Bukan disiplin militer, melainkan disiplin kewajaran kehidupan.

Aspek lain adalah respek terhadap alam. Novelis kenamaan Cile, Luis Sepulveda, yang juga dikenal sebagai pembela kebebasan dan lingkungan hidup, berucap: ”...saya perlu berhadapan tatap muka dengan kekuatan-kekuatan elementer alam bebas, untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa saya bisa bertahan hidup mandiri, bergantung hanya pada diri sendiri, dan juga membuktikan bahwa individu bisa hidup tanpa tergantung pada negara.”

Kemandirian, kebebasan, kepercayaan, dan kepasrahan pada hukum alam merupakan semangat dunia olah tubuh. Di lain pihak, semuanya itu juga imperatif bagi dunia seni. Di situlah titik temu olah tubuh dan seni. Tak ketinggalan jurnalistik.

Ketidak-harmonisan tubuh, ketidak-selarasan diri dengan hukum alam, melahirkan korupsi, kebohongan, ambisi tak terkendali terhadap kekuasaan, atau mungkin malah mencetak orang gila. Begitulah politik tubuh bekerja.

Harmoni tubuh, harmoni alam, melahirkan hal sebaliknya. Antara lain, lagu-lagu yang tengah saya nikmati saat ini dari CD Iwan Abdulrachman: ”Melati Putih”, ”Bulan Merah”, ”Sejuta Kabut”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar