Tubuh
dan Kebudayaan
Bre Redana ;
Penulis Kolom “Udar Rasa” di Kompas
|
KOMPAS,
24 Agustus 2014
LEBARAN
masih menyisakan kenangan, dengan pertemuan serta keterhubungan kita dengan
saudara, kerabat, teman, bekas pacar, atau siapa pun yang kadang tak terduga.
Kali ini sebagai hadiah Lebaran saya menerima kiriman CD dari Abah Iwan
Abdulrachman. Terangkum dalam tiga CD, di situ terdapat lagu-lagu dahsyat
dari ”Angin November” sampai ”Melati dari Jayagiri”, hasil rekaman live
ketika Abah berpentas di Gedung Serbaguna Senayan, Jakarta, 28 April 2006.
Sebelumnya,
kepada penggubah lagu hebat dari Bandung itu saya mengirim buku tentang guru
dan perguruan silat saya. Abah yang juga dikenal sebagai pendekar, dengan
rendah hati sembari mengucapkan terima kasih mengatakan buku tadi menarik
sekali.
”Saya
menyebutnya ’Amengan Aki Muhidin’. ’Amengan’ itu bahasa Sunda artinya
’permainan’ atau game. Sepertinya banyak hal yang mirip dan sangat bagus untuk
’pembinaan’ sikap hidup,” begitu pesan Abah yang dikirim ke saya.
Sebagian
orang yang menekuni olah tubuh, biasanya percaya bahwa pada akhirnya yang
hendak dicapai lewat olah tubuh memang sikap hidup. Mengolah tubuh dengan
sendirinya akan membawa seseorang pada pengalaman konkret bagaimana tubuh
berelasi dengan semua hal. Tak ada yang lebih empirik dari tubuh.
Terbentuknya
masyarakat dan kebudayaan, menurut pandangan-pandangan neurologis yang kini
populer kembali terutama di Barat, dianggap tak bisa dilepaskan dari evolusi
biologis manusia. Itu berhubungan dengan regulasi internal makhluk hidup,
sebutannya homeostasis. Urusannya dengan badan. Itu sebabnya ada istilah olah
kanuragan.
Berbeda
dibandingkan makhluk-makhluk hidup lain seperti binatang, pada manusia,
melalui proses panjang, terjadi perkembangan menyangkut kemampuan memori,
nalar (reasoning), dan bahasa. Inilah yang memicu dan membuka jalan pada
perkembangan homeostasis tadi pada level masyarakat dan kebudayaan.
Dengan
itu, lagi-lagi melalui proses yang tidak pendek, homeostasis menemukan ruang
perkembangan baru, sebutlah ruang sosiokultural tersebut. Regulasi yang
tadinya sebatas di dalam tubuh, berkembang ke lingkup baru: lahir sistem
hukum, organisasi politik dan ekonomi, seni, obat-obatan, teknologi, dan
lain-lain.
Merosotnya
secara drastis kekerasan seiring makin berkembangnya toleransi dalam sejarah
perkembangan manusia, tak mungkin terjadi tanpa perkembangan homeostasis
sosiokultural itu. Antonio Damasio menguraikan dengan jelas dalam buku Self Comes to Mind: Constructing the
Conscious Brain.
Yang
ingin ditegaskan di sini, tak bisa diragukannya hubungan antara gejala tubuh
seperti kesadaran dengan kebudayaan. Mengolah tubuh, sejatinya adalah
mengolah kesadaran. Mengolah kesadaran juga berarti mengolah kebudayaan.
Di
situlah aspek otonom, kemandirian, dan kebebasan dari dunia olah tubuh.
Mengolah disiplin tubuh adalah mengolah disiplin kehidupan. Bukan disiplin
militer, melainkan disiplin kewajaran kehidupan.
Aspek
lain adalah respek terhadap alam. Novelis kenamaan Cile, Luis Sepulveda, yang
juga dikenal sebagai pembela kebebasan dan lingkungan hidup, berucap: ”...saya perlu berhadapan tatap muka
dengan kekuatan-kekuatan elementer alam bebas, untuk membuktikan pada diri
sendiri bahwa saya bisa bertahan hidup mandiri, bergantung hanya pada diri
sendiri, dan juga membuktikan bahwa individu bisa hidup tanpa tergantung pada
negara.”
Kemandirian,
kebebasan, kepercayaan, dan kepasrahan pada hukum alam merupakan semangat
dunia olah tubuh. Di lain pihak, semuanya itu juga imperatif bagi dunia seni.
Di situlah titik temu olah tubuh dan seni. Tak ketinggalan jurnalistik.
Ketidak-harmonisan
tubuh, ketidak-selarasan diri dengan hukum alam, melahirkan korupsi,
kebohongan, ambisi tak terkendali terhadap kekuasaan, atau mungkin malah
mencetak orang gila. Begitulah politik tubuh bekerja.
Harmoni
tubuh, harmoni alam, melahirkan hal sebaliknya. Antara lain, lagu-lagu yang
tengah saya nikmati saat ini dari CD Iwan Abdulrachman: ”Melati Putih”, ”Bulan Merah”, ”Sejuta Kabut”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar