Senin, 18 Agustus 2014

Pertempuran Terakhir di MK

Pertempuran Terakhir di MK

Refly Harun  ;  Pakar Hukum Tata Negara dan Pengamat Pemilu
di Centre for Electoral Reform (Cetro)
DETIKNEWS, 15 Agustus 2014
                                                


Pertempuran di Mahkamah Konstitusi (MK) antara kubu Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK memasuki babak akhir hari ini. Ibarat perang Bratayudha, kedua kubu akan mengeluarkan kartu as masing-masing, yaitu mengajukan para ahli untuk didengarkan keterangannya di depan 'Sembilan Sulaiman'.

Sebagian besar para ahli tersebut adalah rekan-rekan saya yang selama ini menjadi teman berdiskusi, sekaligus teman berdebat dalam banyak hal dan kesempatan. Sekarang mereka berada di sisi yang berbeda dalam menyampaikan keterangan ahli. Sebagian di kubu Prabowo-Hatta, lainnya di Jokow-JK – tentu dengan pertimbangan ideologis atau pragmatis masing-masing.

Bagi ahli yang berada di kubu Prabowo-Hatta, tantangan untuk meyakinkan para hakim pasti sangatlah besar. Menyimak jalannya persidangan sejak 6 Agustus lalu hingga sidang terakhir pemeriksaan saksi-saksi kemarin (14/8/2014), saya berpendapat belum ada kesaksian yang mendukung dalil besar permohonan.

Pertama, dalil bahwa kubu Prabowo-Hatta unggul suara dengan 50,26 persen atau lebih dari 67 juta suara, dibandingkan Jokowo-JK yang diklaim hanya memperoleh 49,74 persen atau lebih dari 66 juta suara. Sepanjang yang dapat saya simak, tak ada satu pun saksi yang menguatkan klaim tersebut hingga pemeriksaan akhir saksi. Hal ini menambah kuat dugaan bahwa klaim unggul suara tersebut hanya 'tempelan'.

Kedua, dalil yang menyatakan bahwa telah terjadi kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain soal kecurangan di hampir seluruh Tanah Papua dan Nias Selatan (Sumatera Utara), klaim kecurangan yang banyak ditonjolkan kubu Prabowo-Hatta adalah masalah Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb).

Putusan 2009

DPKTb adalah daftar pemilih yang menggunakan kartu tanda penduduk (KTP), paspor, atau identitas kependudukan lainnya. Ihwal DPKTb bermula dari putusan MK tanggal 6 Juli 2009 atas permohonan yang pernah saya dan Maheswara Prabandono ajukan. Pada Pemilu Legislatif 2009 ditengarai banyak warga negara yang mempunyai hak pilih tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Angka persisnya tidak ada yang tahu. Variasinya mulai dari jutaan hingga 40-an juta.

Regulasi Pemilu Legislatif 2009 menentukan bahwa hanya mereka yang tercantum dalam DPT yang berhak untuk memilih. Yang tidak tercantum, apa boleh buat, terpaksa harus menjadi golongan yang tidak dapat memilih (goltim), termasuk saya, yang sialnya ternyata tidak tercantum dalam DPT akibat sering berpindah-pindah tempat sebelum hidup menetap seperti sekarang.

Khawatir tidak tercantum lagi dalam DPT, saya dan rekan saya, Maheswara Prabandono, yang kebetulan juga goltim, mengajukan permohonan pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Yang kami persoalkan ketentuan yang terkait dengan pembatasan bahwa hanya pemilih yang tercantum dalam DPT yang dapat memilih.

Kami menginginkan ketentuan tersebut hapus karena hak untuk memilih (the right to vote) adalah hak asasi manusia yang tidak seharusnya terkurangi karena alasan teknis-administratif seperti tidak tercantum dalam DPT. Padahal, mendaftar semua warga negara yang mempunyai hak untuk memilih adalah kewajiban penyelenggara pemilu, sehingga beban sesungguhnya berada pada mereka, bukan masing-masing pemilih.

Permohonan tersebut akhirnya dikabulkan, namun dengan pembatasan-pembatasan. Pertama, mereka hanya dapat memilih di RT atau RW tempat dikeluarkannya identitas kependudukan (kecuali yang menggunakan paspor dapat memilih di mana saja di luar negeri). Kedua, mereka baru bisa memilih dalam satu jam terakhir, dari pukul 12.00 sampai dengan 13.00.

Dalil Curang DPKTb

Putusan tahun 2009 itulah yang diadopsi oleh Peratuan KPU. Mereka yang memilih dengan KTP atau identitas kependudukan lainnya didaftar dalam DPKTb. Tentu saja, mereka hanya berhak memilih di RT/RW-nya masing-masing pada satu jam terakhir. Ternyata, angka DPKTb lumayan besar, sekitar 2,9 juta, dan tersebar di puluhan ribu tempat pemungutan suara (TPS). Di antara pemilih dalam DPKTb tersebut, terdapat pemilih yang memilih tidak di lokasinya. Mereka berasal dari luar kota, bahkan dari luar provinsi. Jumlahnya mungkin kurang dari 1 juta, namun hukum administrasi pemilu saat ini menyatakan mereka tidak berhak memilih.

Fenomena inilah yang kemudian digadang-gadang oleh kubu Prabowo-Hatta untuk mengatakan telah terjadi kecurangan TSM oleh KPU. Tuntutannya, Jokowi-JK didiskualifikasi atau diadakan pemungutan suara ulang di seluruh wilayah Nusantara.

Kubu Prabowo-Hatta menggunakan dalil 'bumi hangus', yaitu setiap ditemukan pemilih yang tidak berhak memilih di suatu TPS, wajib hukumnya dilakukan pemilihan ulang di tempat tersebut. Pemilih di satu TPS bisa mencapai angka maksimal 800 orang dan diperkirakan ada puluhan ribu TPS yang dijamah pemilih tidak berhak tersebut. Akibatnya, angka yang dipersoalkan bisa menjadi hampir 20 juta suara, alias sangat signifikan untuk mengejar margin suara sekitar 8,4 juta sebagaimana keputusan KPU tanggal 22 Juli lalu.

Sesat Pikir

Saya menilai, terjadi sesat pikir dalam memandang persoalan DPKTb tersebut. Pertama, dalil 'bumi-hangus' tidak seharusnya digunakan. Kalau yang bermasalah hanya satu atau dua orang, tidak boleh mengorbankan ratusan suara lainnya dari pemilih yang tidak berdosa. Bila pemungutan suara ulang hendak dipaksakan karena ada satu atau dua orang yang tidak berhak memilih dalam suatu TPS, akan terjadi ketidakadilan bagi ratusan pemilih lain yang telah menunaikan hak politik secara benar dan bertanggung jawab. Bila diulang, belum tentu mereka bisa memilih kembali. Bisa saja mereka tidak berada di tempat ketika pemilihan ulang dilaksanakan, atau tidak mendapat cukup informasi akan pemungutan suara ulang tersebut.

Kedua, adanya pemilih tidak berhak tersebut tidak lantas bisa dikatakan telah terjadi kecurangan. Rumus kecurangan sangat sederhana, yaitu ada pihak yang diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan dengan sebuah tindakan.

Mereka yang tidak berhak memilih tersebut tidak jelas memilih siapa. Siapa yang diuntungkan atau yang dirugikan oleh mereka sangat tidak bisa diketahui kendati kotak suara dibuka sekalipun. Apa yang dilakukan petugas TPS barulah sekadar melanggar administrasi pemilu, tetapi belum bisa dikategorikan sebagai kecurangan, apalagi yang bersifat TSM.

Ketiga, secara substantif, kalau saya hakim konstitusi, akan saya benarkan tindakan membolehkan pemilih dari luar RT/RW tersebut untuk memilih sepanjang mereka hanya memilih satu kali. Alasannya sederhana, hak untuk memilih adalah hak asasi manusia yang tak seharusnya dikurangi dengan alasan teknis-administratif.

Lagipula, dalam pilpres, di mana pun kita memilih, yang tercantum dalam surat suara tetap calon yang sama. Hal ini yang membedakan dengan pemilu legislatif yang diikuti banyak calon dengan pembagian wilayah Nusantara menjadi puluhan daerah pemilihan, sehingga orang harus memilih di dapilnya masing-masing.

Dalil Kualitas Pemilu

Saya menduga, ahli dari kubu Prabowo-Hatta akan menyatakan bahwa tidak bisa ditoleransi bila pemilu dilakukan dengan terjadi banyak pelanggaran kendati sekadar pelanggaran adiministratif, karena akan menciderai konstitusi yang telah mengamanatkan agar pemilu berlangsung secara luber dan jurdil. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemungutan suara ulang untuk menjamin keadilan bagi peserta pemilu.

Mengenai fakta tidak signifikannya angka pemilih yang tidak berhak dikaitkan dengan margin 8,4 juta antara Prabowo-Hatta dan Jokowo-JK, ahli tersebut akan mengatakan, “Kita jangan lihat jumlah, tapi kualitas pemilu. Pemilu tidak akan berkualitas bila pelanggaran tersebut dibiarkan!”

Saya tetap ingin menghormati pendapat ahli tersebut, yang sering saya dengar dalam debat-debat di televisi. Bila patokannya yurisprudensi MK selama ini, saya punya keyakinan keterangan tersebut tidak akan diterima. Permohonan akan ditolak.

Namun, sebaliknya, saya pun bisa disela, “yakin boleh saja, tetapi keputusan ada di tangan ‘Sembilan Sulaiman’. Nah, bila segala sesuatunya di tangan sembilan hakim konstitusi, saya berharap ‘Sembilan Sulaiman’ tersebut tidak membuat putusan yang akan mengagetkan kita semua karena di luar nalar, akal sehat, dan pengetahuan yang kita serap selama ini.

Mudah-mudahan, 21 Agustus nanti, sembilan hakim konstitusi keluar dari ‘Sembilan Pintu Kebenaran’ dalam memutuskan gugatan Prabowo-Hatta sehingga semua kita mampu menerima dengan lapang dada dan taat apa pun yang diputuskan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar