Pertempuran
Terakhir di MK
Refly Harun ; Pakar Hukum Tata Negara dan Pengamat Pemilu
di Centre for Electoral Reform (Cetro)
|
DETIKNEWS,
15 Agustus 2014
Pertempuran di Mahkamah Konstitusi (MK) antara kubu
Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK memasuki babak akhir hari ini. Ibarat perang
Bratayudha, kedua kubu akan mengeluarkan kartu as masing-masing, yaitu
mengajukan para ahli untuk didengarkan keterangannya di depan 'Sembilan
Sulaiman'.
Sebagian besar para ahli tersebut adalah rekan-rekan saya yang
selama ini menjadi teman berdiskusi, sekaligus teman berdebat dalam banyak
hal dan kesempatan. Sekarang mereka berada di sisi yang berbeda dalam
menyampaikan keterangan ahli. Sebagian di kubu Prabowo-Hatta, lainnya di
Jokow-JK – tentu dengan pertimbangan ideologis atau pragmatis masing-masing.
Bagi ahli yang berada di kubu Prabowo-Hatta, tantangan untuk
meyakinkan para hakim pasti sangatlah besar. Menyimak jalannya persidangan
sejak 6 Agustus lalu hingga sidang terakhir pemeriksaan saksi-saksi kemarin
(14/8/2014), saya berpendapat belum ada kesaksian yang mendukung dalil besar
permohonan.
Pertama, dalil bahwa kubu Prabowo-Hatta unggul suara dengan
50,26 persen atau lebih dari 67 juta suara, dibandingkan Jokowo-JK yang
diklaim hanya memperoleh 49,74 persen atau lebih dari 66 juta suara.
Sepanjang yang dapat saya simak, tak ada satu pun saksi yang menguatkan klaim
tersebut hingga pemeriksaan akhir saksi. Hal ini menambah kuat dugaan bahwa
klaim unggul suara tersebut hanya 'tempelan'.
Kedua, dalil yang menyatakan bahwa telah terjadi kecurangan
yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) yang dilakukan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain soal kecurangan di hampir seluruh Tanah
Papua dan Nias Selatan (Sumatera Utara), klaim kecurangan yang banyak
ditonjolkan kubu Prabowo-Hatta adalah masalah Daftar Pemilih Khusus Tambahan
(DPKTb).
Putusan 2009
DPKTb adalah daftar pemilih yang menggunakan kartu tanda penduduk
(KTP), paspor, atau identitas kependudukan lainnya. Ihwal DPKTb bermula dari
putusan MK tanggal 6 Juli 2009 atas permohonan yang pernah saya dan Maheswara
Prabandono ajukan. Pada Pemilu Legislatif 2009 ditengarai banyak warga negara
yang mempunyai hak pilih tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Angka persisnya tidak ada yang tahu. Variasinya mulai dari jutaan hingga
40-an juta.
Regulasi Pemilu Legislatif 2009 menentukan bahwa hanya mereka
yang tercantum dalam DPT yang berhak untuk memilih. Yang tidak tercantum, apa
boleh buat, terpaksa harus menjadi golongan yang tidak dapat memilih
(goltim), termasuk saya, yang sialnya ternyata tidak tercantum dalam DPT
akibat sering berpindah-pindah tempat sebelum hidup menetap seperti sekarang.
Khawatir tidak tercantum lagi dalam DPT, saya dan rekan saya,
Maheswara Prabandono, yang kebetulan juga goltim, mengajukan permohonan
pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden. Yang kami persoalkan ketentuan yang terkait dengan pembatasan bahwa
hanya pemilih yang tercantum dalam DPT yang dapat memilih.
Kami menginginkan ketentuan tersebut hapus karena hak untuk
memilih (the right to vote) adalah
hak asasi manusia yang tidak seharusnya terkurangi karena alasan teknis-administratif
seperti tidak tercantum dalam DPT. Padahal, mendaftar semua warga negara yang
mempunyai hak untuk memilih adalah kewajiban penyelenggara pemilu, sehingga
beban sesungguhnya berada pada mereka, bukan masing-masing pemilih.
Permohonan tersebut akhirnya dikabulkan, namun dengan
pembatasan-pembatasan. Pertama, mereka hanya dapat memilih di RT atau RW
tempat dikeluarkannya identitas kependudukan (kecuali yang menggunakan paspor
dapat memilih di mana saja di luar negeri). Kedua, mereka baru bisa memilih
dalam satu jam terakhir, dari pukul 12.00 sampai dengan 13.00.
Dalil Curang DPKTb
Putusan tahun 2009 itulah yang diadopsi oleh Peratuan KPU.
Mereka yang memilih dengan KTP atau identitas kependudukan lainnya didaftar
dalam DPKTb. Tentu saja, mereka hanya berhak memilih di RT/RW-nya
masing-masing pada satu jam terakhir. Ternyata, angka DPKTb lumayan besar,
sekitar 2,9 juta, dan tersebar di puluhan ribu tempat pemungutan suara (TPS).
Di antara pemilih dalam DPKTb tersebut, terdapat pemilih yang memilih tidak
di lokasinya. Mereka berasal dari luar kota, bahkan dari luar provinsi.
Jumlahnya mungkin kurang dari 1 juta, namun hukum administrasi pemilu saat
ini menyatakan mereka tidak berhak memilih.
Fenomena inilah yang kemudian digadang-gadang oleh kubu Prabowo-Hatta
untuk mengatakan telah terjadi kecurangan TSM oleh KPU. Tuntutannya,
Jokowi-JK didiskualifikasi atau diadakan pemungutan suara ulang di seluruh
wilayah Nusantara.
Kubu Prabowo-Hatta menggunakan dalil 'bumi hangus', yaitu
setiap ditemukan pemilih yang tidak berhak memilih di suatu TPS, wajib
hukumnya dilakukan pemilihan ulang di tempat tersebut. Pemilih di satu TPS
bisa mencapai angka maksimal 800 orang dan diperkirakan ada puluhan ribu TPS
yang dijamah pemilih tidak berhak tersebut. Akibatnya, angka yang
dipersoalkan bisa menjadi hampir 20 juta suara, alias sangat signifikan untuk
mengejar margin suara sekitar 8,4 juta sebagaimana keputusan KPU tanggal 22
Juli lalu.
Sesat Pikir
Saya menilai, terjadi sesat pikir dalam memandang persoalan DPKTb
tersebut. Pertama, dalil 'bumi-hangus' tidak seharusnya digunakan. Kalau yang
bermasalah hanya satu atau dua orang, tidak boleh mengorbankan ratusan suara
lainnya dari pemilih yang tidak berdosa. Bila pemungutan suara ulang hendak
dipaksakan karena ada satu atau dua orang yang tidak berhak memilih dalam
suatu TPS, akan terjadi ketidakadilan bagi ratusan pemilih lain yang telah
menunaikan hak politik secara benar dan bertanggung jawab. Bila diulang,
belum tentu mereka bisa memilih kembali. Bisa saja mereka tidak berada di
tempat ketika pemilihan ulang dilaksanakan, atau tidak mendapat cukup
informasi akan pemungutan suara ulang tersebut.
Kedua, adanya pemilih tidak berhak tersebut tidak lantas bisa
dikatakan telah terjadi kecurangan. Rumus kecurangan sangat sederhana, yaitu
ada pihak yang diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan dengan sebuah
tindakan.
Mereka yang tidak berhak memilih tersebut tidak jelas memilih
siapa. Siapa yang diuntungkan atau yang dirugikan oleh mereka sangat tidak
bisa diketahui kendati kotak suara dibuka sekalipun. Apa yang dilakukan
petugas TPS barulah sekadar melanggar administrasi pemilu, tetapi belum bisa
dikategorikan sebagai kecurangan, apalagi yang bersifat TSM.
Ketiga, secara substantif, kalau saya hakim konstitusi, akan
saya benarkan tindakan membolehkan pemilih dari luar RT/RW tersebut untuk
memilih sepanjang mereka hanya memilih satu kali. Alasannya sederhana, hak
untuk memilih adalah hak asasi manusia yang tak seharusnya dikurangi dengan
alasan teknis-administratif.
Lagipula, dalam pilpres, di mana pun kita memilih, yang
tercantum dalam surat suara tetap calon yang sama. Hal ini yang membedakan
dengan pemilu legislatif yang diikuti banyak calon dengan pembagian wilayah
Nusantara menjadi puluhan daerah pemilihan, sehingga orang harus memilih di
dapilnya masing-masing.
Dalil Kualitas Pemilu
Saya menduga, ahli dari kubu Prabowo-Hatta akan menyatakan
bahwa tidak bisa ditoleransi bila pemilu dilakukan dengan terjadi banyak
pelanggaran kendati sekadar pelanggaran adiministratif, karena akan
menciderai konstitusi yang telah mengamanatkan agar pemilu berlangsung secara
luber dan jurdil. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemungutan suara ulang
untuk menjamin keadilan bagi peserta pemilu.
Mengenai fakta tidak signifikannya angka pemilih yang tidak
berhak dikaitkan dengan margin 8,4 juta antara Prabowo-Hatta dan Jokowo-JK,
ahli tersebut akan mengatakan, “Kita jangan lihat jumlah, tapi kualitas
pemilu. Pemilu tidak akan berkualitas bila pelanggaran tersebut dibiarkan!”
Saya tetap ingin menghormati pendapat ahli tersebut, yang
sering saya dengar dalam debat-debat di televisi. Bila patokannya
yurisprudensi MK selama ini, saya punya keyakinan keterangan tersebut tidak
akan diterima. Permohonan akan ditolak.
Namun, sebaliknya, saya pun bisa disela, “yakin boleh saja,
tetapi keputusan ada di tangan ‘Sembilan Sulaiman’. Nah, bila segala
sesuatunya di tangan sembilan hakim konstitusi, saya berharap ‘Sembilan
Sulaiman’ tersebut tidak membuat putusan yang akan mengagetkan kita semua
karena di luar nalar, akal sehat, dan pengetahuan yang kita serap selama ini.
Mudah-mudahan, 21 Agustus nanti, sembilan hakim konstitusi
keluar dari ‘Sembilan Pintu Kebenaran’ dalam memutuskan gugatan Prabowo-Hatta
sehingga semua kita mampu menerima dengan lapang dada dan taat apa pun yang
diputuskan mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar