Konstitusionalisme
Pilpres
Margarito Kamis ;
Doktor Tata Negara,
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
|
KORAN
SINDO, 23 Agustus 2014
Rangkaian proses pemilihan umum presiden dan wakil presiden
Republik Indonesia, berakhir sudah. Mahkamah Konstitusi, satusatunya lembaga
negara yang diberi wewenang memeriksa, mengadili, dan memutus hasil perolehan
suara yang diselisihkan, telah menjatuhkan putusannya.
Dalam putusannya, Majelis Mahkamah Konstitusi menolak permohonan
pemohon; Prabowo-Hata. Hukumnya adalah Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
tentang rekapitulasi perolehan suara kedua pasangan calon presiden dan wakil
presiden, sah. Sah juga keputusan KPU tentang penetapan pasangan calon
sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Oleh karena UUD 1945
menyifatkan putusan MK sebagai putusan pertama dan terakhir, maka tidak ada
lagi pranata hukum konstitusi yang dapat digunakan untuk mengoreksi putusan
MK itu.
Sudut Pandang
Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yang digunakan oleh majelis
mahkamah dalam mengawali pertimbangan dan penilaian atas hal-ihwal hukum yang
diargumentasikan dan muncul dalam persidangan, harus diakui bukanlah satu-satunya
pasal yang digunakan majelis mahkamah. Dalam kenyataannya, majelis mahkamah
juga menunjuk Pasal 18B ayat (1) dan Pasal 27 UUD 1945.
Semua pasal yang ditunjuk itu, betapapun memiliki konsekuensi
logika yang berbeda, ternyata membentuk horizon tertentu, dan dipijaki
majelis mahkamah. Kedaulatan rakyat yang diatur dalam pasal 1 ayat (2)
misalnya, yang nyata-nyata mengharuskan perwujudan kedaulatan itu berdasarkan
UUD, berkonsekuensi logikal khusus dan terbatas. Kekhususan dan pembatasan
itu adalah perwujudan kedaulatan itu harus dikerangkakan dalam hukum,
sekurangkurangnya undang-undang.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden, per definisi atau dengan sendirinya menjadi
wujud konsekuensional dari pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945 itu. Kedaulatan
rakyat, dan atau kemauan rakyat, semulia apa pun tidak bisa diwujudkan sesuka-sukanya.
Kemauan dan atau kedaulatan rakyat itu harus diwujudkan menurut cara, dan
atau dengan prosedur tertentu. Harus beraturan.
Prosedurlah yang membuat perwujudan kedaulatan itu, memiliki
nilai. Cukup menarik, prosedur ternyata mengalami pergeseran makna sekadar
teknis administratif, bukan dan tidak memiliki nilai dan makna substansial.
Oleh karena bernilai dan bermakna itu, soal itu, teknis administratif,
dinilai tidak pantas mengesampingkan, apalagi menangguhkan hal-ihwal yang
bernilai dan bermakna substansial.
Persoalan teknis administratif akhirnya dikonstruksikan sebagai
hal-ihwal hukum yang tidak berdasar dipakai untuk menangguhkan hal-ihwal yang
bernilai dan bermakna substansial. Seberapa pantaskah sudut pandang itu,
memang akan menjadi bahan perdebatan yang menarik, yang sudah tentu akan
mengayakan perspektif pemikiran konstitusionalisme. Itulah yang membuat ilmu
hukum, setidak-tidaknya perspektif pemikiran konstitusionalisme kaya.
Perspektif itu, sungguh terlihat dalam putusan majelis mahkamah
kali ini. Pemberian suara, yang menurut prinsip konstitusi, setidak-tidaknya
menurut Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 harus diberi oleh pemilih itu sendiri,
bisa diwakilkan. Terjadilah pergeseran hukum. Pemberian suara, yang menurut
Pasal 22E ayat (1) dilakukan langsung oleh pemilih, bergeser menjadi “dapat dilakukan secara tidak langsung.”
Hukumnya, pemberian suara dapat diwakilkan kepada atau diwakili
oleh orang lain. Inilah makna baru dari norma “langsung” dalam Pasal 22E ayat
(1) UUD 1945. Oleh karena hukum dari norma “langsung” adalah dapat diwakilkan
atau diwakili oleh orang lain, pemberian suara dalam pilpres yang dilakukan
orang tertentu mewakili pemilih, bernilai hukum sebagai tindakan hukum yang
sah.
Apalagi bila “pemberian
suara secara langsung itu diberi sifat hukum sebagai persoalan teknis
administratif”, kukuhlah hukum dari pemberian suara secara tidak langsung
itu. Bukankah hak memilih dinilai oleh majelis mahkamah sebagai hal hukum
yang bersifat substansial? Perspektif itu mengukuhkan keabsahan hukum atas
tindakan pembentukan dan penggunaan DPKTB, juga tindakan pembukaan kotak
suara pasca rekapitulasi perolehan suara.
Semuanya sah, karena tindakan itu bernilai hukum sebagai
peneguhan hal-ihwal yang diberi sifat substansial, berhadapan dengan
hal-ihwal hukum yang diberi nilai dan diberi sifat teknis administratif.
Praktis putusan majelis mahkamah dalam pilpres ini menandai satu hal;
prosedur tak bisa menangguhkan tujuan substansial.
Di Masa Datang
Apa konsekuensinya bagi pemilu, terutama presiden dan wakil
presiden di masa yang akan datang? Pembentuk undang-undang tidak perlu
menguras tenaga dan pikiran untuk merancang prosedur penyelenggaraan
pemilihan presiden. Yang terpenting dan terutama adalah memastikan bahwa
semua warga negara yang telah mencapai usia 17 tahun atau telah menikah pada
hari pemungutan suara dapat menggunakan hak pilihnya.
Tidak lebih. Para perancang UU pemilihan umum anggota DPR, DPD,
DPRD dan Presiden serta Wakil Presiden tidak boleh lagi membuat prosedur,
apalagi rumit. Sebab, sebagaimana telah dijelaskan di atas, hal-ihwal teknis
administratif tidak dapat digunakan sebagai alasan pembenar untuk
menangguhkan atau mengesampingkan hak memilih warga negara. Hal-ihwal teknis
penyelenggaraan pemilihan umum, dimasa depan, diserahkan, kalau tidak
seluruhnya, sebagian besar kepada KPU.
Bukankah KPU menurut UUD Republik Indonesia adalah satu-satunya
lembaga yang diberi wewenang menyelenggarakan pemilu? Bukankah itu berhakikat
sebagai kewenangan mengatur? Konsekuensi kewenangan mengatur adalah lembaga
tersebut berhak membuat peraturan yang mengikat umum. Cara ini jauh lebih
pantas dibandingkan disediakan oleh para pembentuk undang-undang.
Bukan karena mereka tidak mengerti hal-ihwal teknis, tetapi
karena dinamikanya, sehingga terasa lebih pantas diserahkan pengaturannya
kepada KPU. Termasuk dalam konteks cara itu adalah cara pemberian suara.
Mungkin ada baiknya para pembentuk UU menggunakan tesis “prosedur atau teknis administratif pemilu, tidak boleh menghambat
akses pemilih menuju bilik suara atau akses pemilih mewujudkan haknya.”
Tesis itu terbukti manjur dalam mengantisipasi tumbuhnya cara
baru, lain, selain cara yang digariskan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Begitulah perspektif konstitusionalisme dari putusan majelis mahkamah yang
baru saja berlalu itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar