Minggu, 24 Agustus 2014

Konstitusionalisme Pilpres

                                        Konstitusionalisme Pilpres

Margarito Kamis  ;   Doktor Tata Negara,
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
KORAN SINDO, 23 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Rangkaian proses pemilihan umum presiden dan wakil presiden Republik Indonesia, berakhir sudah. Mahkamah Konstitusi, satusatunya lembaga negara yang diberi wewenang memeriksa, mengadili, dan memutus hasil perolehan suara yang diselisihkan, telah menjatuhkan putusannya.

Dalam putusannya, Majelis Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pemohon; Prabowo-Hata. Hukumnya adalah Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang rekapitulasi perolehan suara kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden, sah. Sah juga keputusan KPU tentang penetapan pasangan calon sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Oleh karena UUD 1945 menyifatkan putusan MK sebagai putusan pertama dan terakhir, maka tidak ada lagi pranata hukum konstitusi yang dapat digunakan untuk mengoreksi putusan MK itu.

Sudut Pandang

Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yang digunakan oleh majelis mahkamah dalam mengawali pertimbangan dan penilaian atas hal-ihwal hukum yang diargumentasikan dan muncul dalam persidangan, harus diakui bukanlah satu-satunya pasal yang digunakan majelis mahkamah. Dalam kenyataannya, majelis mahkamah juga menunjuk Pasal 18B ayat (1) dan Pasal 27 UUD 1945.

Semua pasal yang ditunjuk itu, betapapun memiliki konsekuensi logika yang berbeda, ternyata membentuk horizon tertentu, dan dipijaki majelis mahkamah. Kedaulatan rakyat yang diatur dalam pasal 1 ayat (2) misalnya, yang nyata-nyata mengharuskan perwujudan kedaulatan itu berdasarkan UUD, berkonsekuensi logikal khusus dan terbatas. Kekhususan dan pembatasan itu adalah perwujudan kedaulatan itu harus dikerangkakan dalam hukum, sekurangkurangnya undang-undang.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, per definisi atau dengan sendirinya menjadi wujud konsekuensional dari pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945 itu. Kedaulatan rakyat, dan atau kemauan rakyat, semulia apa pun tidak bisa diwujudkan sesuka-sukanya. Kemauan dan atau kedaulatan rakyat itu harus diwujudkan menurut cara, dan atau dengan prosedur tertentu. Harus beraturan.

Prosedurlah yang membuat perwujudan kedaulatan itu, memiliki nilai. Cukup menarik, prosedur ternyata mengalami pergeseran makna sekadar teknis administratif, bukan dan tidak memiliki nilai dan makna substansial. Oleh karena bernilai dan bermakna itu, soal itu, teknis administratif, dinilai tidak pantas mengesampingkan, apalagi menangguhkan hal-ihwal yang bernilai dan bermakna substansial.

Persoalan teknis administratif akhirnya dikonstruksikan sebagai hal-ihwal hukum yang tidak berdasar dipakai untuk menangguhkan hal-ihwal yang bernilai dan bermakna substansial. Seberapa pantaskah sudut pandang itu, memang akan menjadi bahan perdebatan yang menarik, yang sudah tentu akan mengayakan perspektif pemikiran konstitusionalisme. Itulah yang membuat ilmu hukum, setidak-tidaknya perspektif pemikiran konstitusionalisme kaya.

Perspektif itu, sungguh terlihat dalam putusan majelis mahkamah kali ini. Pemberian suara, yang menurut prinsip konstitusi, setidak-tidaknya menurut Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 harus diberi oleh pemilih itu sendiri, bisa diwakilkan. Terjadilah pergeseran hukum. Pemberian suara, yang menurut Pasal 22E ayat (1) dilakukan langsung oleh pemilih, bergeser menjadi “dapat dilakukan secara tidak langsung.”

Hukumnya, pemberian suara dapat diwakilkan kepada atau diwakili oleh orang lain. Inilah makna baru dari norma “langsung” dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Oleh karena hukum dari norma “langsung” adalah dapat diwakilkan atau diwakili oleh orang lain, pemberian suara dalam pilpres yang dilakukan orang tertentu mewakili pemilih, bernilai hukum sebagai tindakan hukum yang sah.

Apalagi bila “pemberian suara secara langsung itu diberi sifat hukum sebagai persoalan teknis administratif”, kukuhlah hukum dari pemberian suara secara tidak langsung itu. Bukankah hak memilih dinilai oleh majelis mahkamah sebagai hal hukum yang bersifat substansial? Perspektif itu mengukuhkan keabsahan hukum atas tindakan pembentukan dan penggunaan DPKTB, juga tindakan pembukaan kotak suara pasca rekapitulasi perolehan suara.

Semuanya sah, karena tindakan itu bernilai hukum sebagai peneguhan hal-ihwal yang diberi sifat substansial, berhadapan dengan hal-ihwal hukum yang diberi nilai dan diberi sifat teknis administratif. Praktis putusan majelis mahkamah dalam pilpres ini menandai satu hal; prosedur tak bisa menangguhkan tujuan substansial.

Di Masa Datang

Apa konsekuensinya bagi pemilu, terutama presiden dan wakil presiden di masa yang akan datang? Pembentuk undang-undang tidak perlu menguras tenaga dan pikiran untuk merancang prosedur penyelenggaraan pemilihan presiden. Yang terpenting dan terutama adalah memastikan bahwa semua warga negara yang telah mencapai usia 17 tahun atau telah menikah pada hari pemungutan suara dapat menggunakan hak pilihnya.

Tidak lebih. Para perancang UU pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD dan Presiden serta Wakil Presiden tidak boleh lagi membuat prosedur, apalagi rumit. Sebab, sebagaimana telah dijelaskan di atas, hal-ihwal teknis administratif tidak dapat digunakan sebagai alasan pembenar untuk menangguhkan atau mengesampingkan hak memilih warga negara. Hal-ihwal teknis penyelenggaraan pemilihan umum, dimasa depan, diserahkan, kalau tidak seluruhnya, sebagian besar kepada KPU.

Bukankah KPU menurut UUD Republik Indonesia adalah satu-satunya lembaga yang diberi wewenang menyelenggarakan pemilu? Bukankah itu berhakikat sebagai kewenangan mengatur? Konsekuensi kewenangan mengatur adalah lembaga tersebut berhak membuat peraturan yang mengikat umum. Cara ini jauh lebih pantas dibandingkan disediakan oleh para pembentuk undang-undang.

Bukan karena mereka tidak mengerti hal-ihwal teknis, tetapi karena dinamikanya, sehingga terasa lebih pantas diserahkan pengaturannya kepada KPU. Termasuk dalam konteks cara itu adalah cara pemberian suara. Mungkin ada baiknya para pembentuk UU menggunakan tesis “prosedur atau teknis administratif pemilu, tidak boleh menghambat akses pemilih menuju bilik suara atau akses pemilih mewujudkan haknya.”

Tesis itu terbukti manjur dalam mengantisipasi tumbuhnya cara baru, lain, selain cara yang digariskan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Begitulah perspektif konstitusionalisme dari putusan majelis mahkamah yang baru saja berlalu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar