Indonesia,
Bangsa Maritim yang Tersesat
Mayor Bagus Jatmiko ;
Perwira TNI AL, Kandidat Master dalam Bidang Analis
Pertahanan di Naval Postgraduate School, Monterey, California
|
KORAN
SINDO, 23 Agustus 2014
Indonesia adalah negara kepulauan, itu adalah sebuah fakta yang
tak terbantahkan, dengan lebar wilayah yang menyamai Amerika Serikat.
Sebutan Indonesia sebagai
negara maritim sudah merupakan julukan yang melekat selama ini, melihat
kondisi geografis Indonesia dengan menimbang fakta bahwa tiga perempat
wilayah teritorial Indonesia merupakan wilayah perairan. Namun, ada hal yang
belum disepakati bersama dan mungkin masih menjadi bahan perdebatan, adalah
kenyataan apakah Indonesia, dilihat dari sudut pandang pemerintah dan juga
rakyatnya sendiri, sudah bertindak sesuai dengan takdir geografisnya sebagai
sebuah negara maritim kepulauan ataukah masih jauh dari hal tersebut?
Beberapa pihak akan menyatakan bahwa arah pembangunan Indonesia
sudah cukup sesuai dengan kondisi geografis kepulauan yang dimiliki, apabila
dilihat dari beberapa kebijakan pemerintah serta berbagai event internasional yang telah
diadakan di bidang kemaritiman. Namun, anggapan ini akan segera mendapatkan
bantahan dari pihak lainnya yang menyatakan bahwa hal tersebut belum cukup
sebagai indikasi bahwa Indonesia telah kembali menjelma sebagai sebuah negara
maritim besar.
Justru sebenarnya Indonesia masih jauh dari layak untuk
mendapatkan sebutan negara maritim, terutama bila dilihat dari sudut
kebijakan pemerintah secara keseluruhan dan bagaimana rakyat Indonesia
memandang negerinya sendiri yang sama sekali tidak mencerminkan garis
kebijakan dan wawasan sebuah bangsa maritim.
Hal ini karena tidak konsistennya kebijakan pemerintah yang ada
saat ini dengan fakta geografi Indonesia yang merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia sehingga Indonesia dapat disebut sebagai sebuah negeri yang
menyangkal takdirnya sendiri. Untuk memahami alasan di balik semua ini, kita
harus melihat kilas balik sejarah Indonesia untuk dapat melihat alasan
penyebab hal ini terjadi.
Jauh sebelum era
kolonialisme yang berlangsung lebih dari tiga abad, masyarakat Indonesia
adalah orangorang yang berorientasi maritim yang dapat terindikasi dari warna
budayanya serta juga sistem pemerintahannya yang bercorak maritim. Namun,
setelah masa kolonial, yang diawali oleh Spanyol, kemudian Portugal serta Belanda,
sebagai kolonialis paling lama dibumi Indonesia.
Terjadi pergeseran karakteristik bangsa Indonesia secara
sistematis karena pengaruh para kolonialis yang didominasi oleh dasar
pemikiran kontinental yang kemudian mengikis pemahaman asli bangsa Indonesia
yang sejatinya berjati diri sebagai bangsa maritim. Sebagai konsekuensi dari
perubahan pola pikir tersebut, prioritas kebijakan pembangunan nasional pun
bergeser jauh tanpa mempertimbangkan lagi sektor maritim sebagai faktor
penting di tataran strategis perkembangan bangsa.
Tindakan ini sangat disesalkan karena merupakan indikasi yang
sangat jelas bahwa negara dengan sengaja mengabaikan aset dan mungkin juga
kekuatan terbesarnya. Arah perkembangan ekonominasional yang lebih menekankan
pada sektor agraria (agrikultur) daripada sektor maritim (akuakultur) sudah
terjadi selama lebih dari tiga dekade di bawah rezim Orde Baru dan masih
berlanjut hingga sekarang.
Akibatnya, Indonesia lebih dilihat sebagai negara yang
berorientasi pada pertanian daripada berorientasi pada maritim. Sudut pandang
demikian juga membuat fokus pengembangan wilayah yang lebih ke arah daratan,
yang juga berefek samping pada pengabaian pembangunan di wilayah pesisir,
belum lagi pembangunan pulau-pulau kecil di daerah perbatasan.
Pengabaian pentingnya sektor maritim juga dapat mengakibatkan
terciptanya daerahdaerah vakum yang disebabkan ketiadaan peran pemerintah di
daerah tersebut. Daerah vakum ini kemudian akan diisi entitas-entitas lain
selain dari pemerintahan yang sah. Di banyak daerah yang ditelantarkan
pemerintah, kekosongan tersebut akan diisi kekuatan-kekuatan lain yang dapat
mengambil bentuk seperti organisasi kriminal, pemberontak, bahkan
memungkinkan munculnya klaim wilayah dari negara lain terhadap daerah vakum
tersebut.
Bukti akan fakta pahit ini adalah kasus Pulau Sipadan-Ligitan
yang masih segar dalam ingatan bangsa Indonesia, ketika itu klaim pemerintah
Malaysia dimenangkan Mahkamah Internasional (International Court of Justice-ICJ) pada tahun 2002 atas dasar
penilaian “effective occupation”
atau pendudukan efektif yang berarti bahwa justru pihak Malaysia yang
memberikan perhatian berupa pasokan kebutuhan bagi para penduduk di
pulau-pulau tersebut melebihi pemiliknya yang sah, Indonesia, yang pada
faktanya justru menelantarkan mereka.
Melihat arah perkembangan pertahanan nasional, merupakan suatu
hal yang patut dicatat bahwa konsep pertahanan suatu bangsa akan sangat
dipengaruhi oleh pola pikir pemimpin bangsa tersebut. Contoh dari bagaimana
seorang pemimpin dapat memengaruhi sudut pandang suatu bangsa dapat dilihat
dari fakta sejarah. Winston Churchill, mantan perdana menteri Inggris pada
masa Perang Dunia ke-II, merupakan “First
Lord of Admiralty” atau semacam menteri angkatan laut Inggris Raya,
sebelum menempati posisi sebagai perdana menteri.
Dia paham benar bahwa Inggris Raya harus selalu menggantungkan
diri pada keberadaan lautannya untuk dapat menahan semua ancaman yang datang.
Franklin Delano Roosevelt, mantan presiden ke-32 Amerika Serikat, sebelum
menjabat sebagai presiden AS, pernah menjabat sebagai “Assistant Secretary of the Nacy” atau deputi menteri angkatan
laut dalam kariernya di pemerintahan AS.
Dia sangat mengerti bagaimana strategi kemaritiman dapat
memengaruhi kejayaan atau kemunduran suatu negara. Kedua pemimpin dunia ini
merupakan beberapa contoh pemimpin yang paham akan peran vital sektor maritim
dalam menjamin keamanan negaranya masing-masing, dan bahwa pembangunan sektor
maritim sangat fundamental guna mendukung kekuatan sebuah bangsa. Bagi sebuah
negara maritim, merupakan hal yang sangat kritis untuk memiliki
pemimpin-pemimpinnya yang berwawasan, serta mempunyai perspektif maritim.
Hal ini diperlukan agar mereka mampu mengarahkan negaranya pada
kejayaan yang bertumpu pada kekuatan di bidang maritim. Dikarenakan kesadaran
akan pentingnya kekuatan maritim, Sekutu mampu membalikkan keadaan terhadap
musuh-musuhnya pada Perang Dunia ke-II. Di lain pihak, kekalahan Nazi Jerman
disebabkan oleh salah satu faktornya adalah pengabaian kekuatan AL Jerman
Kriegsmarine-Kriegsmarine oleh Hitler sang Fuhrer yang kemudian berakibat
fatal.
Fokus pada sektor maritim sebagai tulang punggung pertahanan
negara merupakan suatu keniscayaan yang harus benarbenar dimengerti oleh
pemimpin sebuah negara maritim, terutama bagi sebuah negara kepulauan
terbesar di dunia. Poros pertahanan sebuah negara maritim sudah semestinya
bertumpu kepada aspek kemaritiman. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang digariskan
Indonesia saat ini, yang justru mengabaikan sektor pertahanan maritimnya.
Harus dicatat bahwa kekuatan maritim suatu bangsa terletak tidak
hanya pada angkatan lautnya atau hanya sebatas pada kesatuan penegak hukum
maritimnya, juga seperti yang ditekankan oleh Geofrey Till, penulis buku Sea Power bahwa kekuatan maritim itu
juga melingkupi semua pihak dalam lingkup kemaritiman, termasuk pihak-pihak
di sektor nonpemerintahan yang juga akan melingkupi sektor swasta.
Para pelaku maritim nonpemerintah ini terdiri atas agensiagensi
yang mempunyai kepentingan terhadap aktivitas kemaritiman, seperti galangan
kapal, industri perkapalan, perusahaan pelayaran, agensi keamanan maritim,
serta asosiasi-asosiasi kemaritiman lainnya yang sebagian besar dari mereka
berasal dari sektor swasta.
Peran serta para pelaku maritim ini sangat krusial dalam upaya
untuk mengembalikan kejayaan maritim bangsa Indonesia yang sebenarnya
merupakan takdirnya bangsa ini yang sebenarnya. Tugas mulia ini akan menjadi
mustahil untuk dilakukan apabila hanya ditangani oleh pemerintah tanpa adanya
peran serta dari para pelaku maritim tersebut di atas.
Kita sebagai bangsa Indonesia mempunyai tanggung jawab yang
besar terhadap diri kita sendiri, dan juga kepada rekan sebangsa lainnya,
untuk mengembalikan haluan negara kita yang salah arah selama ini, yang
terhentakkan keluar dari jalurnya oleh perjalanan sejarah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar