Jokowi
Menang, Prabowo Menang
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 23 Agustus 2014
Pukul 20.45 WIB, Kamis malam, dua hari lalu, Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mengetukkan palu vonis untuk perkara
perselisihan hasil Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014.
MK “menolak” seluruh permohonan capres/cawapres Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa untuk membatalkan keputusan KPU yang telah memenangkan
Jokowi-JK. Jokowi-JK dinyatakan terpilih sebagai presiden/wapres, sedangkan
Prabowo-Hatta dinyatakan kalah. Apakah putusan MK itu sudah benar atau salah?
Apakah putusan MK baik bagi penegakan dan pembangunan hukum nasional kita?
Kalau kita menjelajahi pemberitaan pers dan media sosial, memang masih
terjadi kontroversi.
Ada yang mengatakan vonis MK sudah benar sesuai dengan fakta
hukum dalam proses persidangan di MK. Tapi ada juga yang menyatakan kecewa
karena vonis MK tidak mampu membuat terobosan untuk membangun keadilan
substantif. Namun, betapapun kontroversialnya, putusan MK itu bersifat final
dan wajib dilaksanakan. Soal kontroversi, sejak dulu selalu begitulah
penyikapan terhadap vonis-vonis MK. Yang satu mengatakan benar, yang lain
mengatakan salah.
Yang satu bilang bagus,
yang lain bilang jelek. Ini menjadi niscaya saja, sebab sejak awal
pihak-pihak yang beperkara di MK memang mengajukan dalil-dalil yang berbeda,
tetapi diklaimnya sebagai kebenaran. Jadi hampir tak mungkin di dalam
sengketa apa pun ada vonis yang 100% benar dan bagus atau 100% salah dan
jelek. Oleh karena pihak-pihak yang beperkara mengajukan dalil dari
perspektif dan kepentingan yang berbeda, kebenaran atau kebaikan vonis
pengadilan itu menjadi relatif, yang lebih proporsional kalau dibahas secara
akademis di kampus.
Dalam sengketa pilpres kali ini pun, berdasar dalil pemohon yang
didukung ahli-ahli seperti Irmanputera Sidin dan Margarito Kamis, bisa
dikatakan vonis MK kurang tepat dan tidak bagus karena tidak menggali
keadilan substantif dan terlalu formal-legalistis. Sebaliknya kalau kita
ikuti dalil-dalil termohon/ terkait yang didukung ahli-ahli seperti Saldi
Isra dan Harjono, bisa dikatakan vonis MK sudah benar dan adil.
Pandangan benar dan salah atau bagus jelek terhadap suatu vonis
menjadi relatif, tergantung pada pilihan perspektif dan kepentingan pihak
yang menilainya. Di atas relativitas itu penilaian dan keyakinan hakimlah
yang menjadi penentunya. Itulah sebabnya vonis MK itu tak bisa secara mutlak
disebut sebagai vonis yang benar dan bagus atau salah dan jelek. Tapi vonis
MK harus diikuti dan dilaksanakan bukan karena benar dan bagus, melainkan
karena ditetapkan oleh hakim untuk menyelesaikan sengketa yang ditanganinya.
Di dalam ushul fiqh
(metodologi hukum Islam) yang juga berlaku universal dalam hukum ada kaidah
hukmul haakim yarfahukmul haakim yarfaul khilaaf, keputusan hakim mengakhiri
perselisihan. Ia harus diikuti bukan karena benar atau salah, tetapi harus
diikuti karena ditetapkan oleh hakim untuk menyelesaikan perselisihan.
Berdasar ini, vonis MK yang memenangkan Jokowi-JK kemarin harus ditaati
karena telah ditetapkan oleh hakim berdasar kewenangan konstitusionalnya.
Sikap seperti itu sudah dinyatakan oleh Prabowo dengan baik tak
lama setelah vonis MK dijatuhkan. Melalui akun Facebook-nya (dikutip Vivanews
pukul 00.52 tanggal 22 Agustus) Prabowo menyatakan, “Walau tidak mencerminkan keadilan substantif keputusan MK harus kita
hormati. Malam ini saya ingin menyampaikan kepada sahabat sekalian,
kepercayaan yang telah sahabat berikan kepada kami tidak akan pernah kami
sia-siakan.” Inilah sikap sportif.
Menerima cara hidup bernegara sesuai dengan konstitusi dan
hukum, betapapun tidak mengenakkan. Menerima kekalahan secara legawa dan
terhormat karena ketentuan konstitusi demi bangsa dan negara. Ya, Prabowo
secara yuridis konstitusional telah dinyatakan kalah dan kita harus menerima
dan memberi jalan kepada Jokowi untuk menjadi presiden Indonesia dalam lima
tahun ke depan. Meski begitu, meski secara yuridis formal dinyatakan kalah,
secara moril sebenarnya Prabowo mencatat kemenangan-kemenangan sendiri yang
sangat mengesankan.
Pertama, Prabowo mampu mengerek angka elektabilitas secara
fantastis dari 22% (saat mendaftarkan diri sebagai capres ke KPU) menjadi 47%
berdasar hasil pemungutan suara. Hanya dalam waktu enam minggu Prabowo bisa
menaikkan elektabilitasnya sampai sekitar 25%. Kedua, citra Ptrabowo sebagai
tokoh menjadi lebih bersih.
Dulu, Prabowo selalu distigmakan sebagai orang jahat yang
menakutkan karena pelanggaran HAM. Tapi ternyata pendukungpendukung Prabowo
sekarang justru banyak yang merupakan pejuang-pejuang HAM dan demokrasi. Di
sana ada Dawam Rahardjo, Taufik Ismail, aktivis buruh Said Iqbal, dan
pendukung- pendukung lain yang tak bisa direkrut secara formal. Banyak juga
akademisi yang sudah profesor, doktor, aktivis kampus, aktivis majelis
taklim, kiai, habib, dan lain-lain.
Dia sudah diterima oleh masyarakat luas sebagai tokoh yang punya
kelebihan dan kekurangan seperti tokoh-tokoh lain. Perbedaan pilihan orang
atas Prabowo dan Jokowi lebih pada soal selera para pemilih. Ketiga, berdasar
hasil berbagai survei pemilih-pemilih Prabowo lebih banyak berasal dari kaum
terdidik dengan rumus kecenderungan, “semakin
tinggi tingkat pendidikan, semakin besar kecenderungannya untuk memilih
Prabowo”.
Jadi meski secara yuridis konstitusional dinyatakan kalah,
secara moril dan modal sosial politik Prabowo telah mencatatkan
kemenangan-kemenangannya sendiri. Selamat untuk Jokowi, bravo untuk Prabowo. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar