Minggu, 24 Agustus 2014

Jokowi Menang, Prabowo Menang

                            Jokowi Menang, Prabowo Menang

Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 23 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Pukul 20.45 WIB, Kamis malam, dua hari lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mengetukkan palu vonis untuk perkara perselisihan hasil Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014.

MK “menolak” seluruh permohonan capres/cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa untuk membatalkan keputusan KPU yang telah memenangkan Jokowi-JK. Jokowi-JK dinyatakan terpilih sebagai presiden/wapres, sedangkan Prabowo-Hatta dinyatakan kalah. Apakah putusan MK itu sudah benar atau salah? Apakah putusan MK baik bagi penegakan dan pembangunan hukum nasional kita? Kalau kita menjelajahi pemberitaan pers dan media sosial, memang masih terjadi kontroversi.

Ada yang mengatakan vonis MK sudah benar sesuai dengan fakta hukum dalam proses persidangan di MK. Tapi ada juga yang menyatakan kecewa karena vonis MK tidak mampu membuat terobosan untuk membangun keadilan substantif. Namun, betapapun kontroversialnya, putusan MK itu bersifat final dan wajib dilaksanakan. Soal kontroversi, sejak dulu selalu begitulah penyikapan terhadap vonis-vonis MK. Yang satu mengatakan benar, yang lain mengatakan salah.

 Yang satu bilang bagus, yang lain bilang jelek. Ini menjadi niscaya saja, sebab sejak awal pihak-pihak yang beperkara di MK memang mengajukan dalil-dalil yang berbeda, tetapi diklaimnya sebagai kebenaran. Jadi hampir tak mungkin di dalam sengketa apa pun ada vonis yang 100% benar dan bagus atau 100% salah dan jelek. Oleh karena pihak-pihak yang beperkara mengajukan dalil dari perspektif dan kepentingan yang berbeda, kebenaran atau kebaikan vonis pengadilan itu menjadi relatif, yang lebih proporsional kalau dibahas secara akademis di kampus.

Dalam sengketa pilpres kali ini pun, berdasar dalil pemohon yang didukung ahli-ahli seperti Irmanputera Sidin dan Margarito Kamis, bisa dikatakan vonis MK kurang tepat dan tidak bagus karena tidak menggali keadilan substantif dan terlalu formal-legalistis. Sebaliknya kalau kita ikuti dalil-dalil termohon/ terkait yang didukung ahli-ahli seperti Saldi Isra dan Harjono, bisa dikatakan vonis MK sudah benar dan adil.

Pandangan benar dan salah atau bagus jelek terhadap suatu vonis menjadi relatif, tergantung pada pilihan perspektif dan kepentingan pihak yang menilainya. Di atas relativitas itu penilaian dan keyakinan hakimlah yang menjadi penentunya. Itulah sebabnya vonis MK itu tak bisa secara mutlak disebut sebagai vonis yang benar dan bagus atau salah dan jelek. Tapi vonis MK harus diikuti dan dilaksanakan bukan karena benar dan bagus, melainkan karena ditetapkan oleh hakim untuk menyelesaikan sengketa yang ditanganinya.

Di dalam ushul fiqh (metodologi hukum Islam) yang juga berlaku universal dalam hukum ada kaidah hukmul haakim yarfahukmul haakim yarfaul khilaaf, keputusan hakim mengakhiri perselisihan. Ia harus diikuti bukan karena benar atau salah, tetapi harus diikuti karena ditetapkan oleh hakim untuk menyelesaikan perselisihan. Berdasar ini, vonis MK yang memenangkan Jokowi-JK kemarin harus ditaati karena telah ditetapkan oleh hakim berdasar kewenangan konstitusionalnya.

Sikap seperti itu sudah dinyatakan oleh Prabowo dengan baik tak lama setelah vonis MK dijatuhkan. Melalui akun Facebook-nya (dikutip Vivanews pukul 00.52 tanggal 22 Agustus) Prabowo menyatakan, “Walau tidak mencerminkan keadilan substantif keputusan MK harus kita hormati. Malam ini saya ingin menyampaikan kepada sahabat sekalian, kepercayaan yang telah sahabat berikan kepada kami tidak akan pernah kami sia-siakan.” Inilah sikap sportif.

Menerima cara hidup bernegara sesuai dengan konstitusi dan hukum, betapapun tidak mengenakkan. Menerima kekalahan secara legawa dan terhormat karena ketentuan konstitusi demi bangsa dan negara. Ya, Prabowo secara yuridis konstitusional telah dinyatakan kalah dan kita harus menerima dan memberi jalan kepada Jokowi untuk menjadi presiden Indonesia dalam lima tahun ke depan. Meski begitu, meski secara yuridis formal dinyatakan kalah, secara moril sebenarnya Prabowo mencatat kemenangan-kemenangan sendiri yang sangat mengesankan.

Pertama, Prabowo mampu mengerek angka elektabilitas secara fantastis dari 22% (saat mendaftarkan diri sebagai capres ke KPU) menjadi 47% berdasar hasil pemungutan suara. Hanya dalam waktu enam minggu Prabowo bisa menaikkan elektabilitasnya sampai sekitar 25%. Kedua, citra Ptrabowo sebagai tokoh menjadi lebih bersih.

Dulu, Prabowo selalu distigmakan sebagai orang jahat yang menakutkan karena pelanggaran HAM. Tapi ternyata pendukungpendukung Prabowo sekarang justru banyak yang merupakan pejuang-pejuang HAM dan demokrasi. Di sana ada Dawam Rahardjo, Taufik Ismail, aktivis buruh Said Iqbal, dan pendukung- pendukung lain yang tak bisa direkrut secara formal. Banyak juga akademisi yang sudah profesor, doktor, aktivis kampus, aktivis majelis taklim, kiai, habib, dan lain-lain.

Dia sudah diterima oleh masyarakat luas sebagai tokoh yang punya kelebihan dan kekurangan seperti tokoh-tokoh lain. Perbedaan pilihan orang atas Prabowo dan Jokowi lebih pada soal selera para pemilih. Ketiga, berdasar hasil berbagai survei pemilih-pemilih Prabowo lebih banyak berasal dari kaum terdidik dengan rumus kecenderungan, “semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin besar kecenderungannya untuk memilih Prabowo”.

Jadi meski secara yuridis konstitusional dinyatakan kalah, secara moril dan modal sosial politik Prabowo telah mencatatkan kemenangan-kemenangannya sendiri. Selamat untuk Jokowi, bravo untuk Prabowo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar