Kohesi
ASEAN sebagai Subyek
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS,
13 Agustus 2014
ADA kesadaran di antara negara besar dengan kepentingan di
kawasan Asia, terutama Asia Tenggara, untuk meredam ketegangan, khususnya
terkait klaim tumpang tindih kedaulatan atas pulau dan karang kosong di Laut
Tiongkok Selatan dan Timur. Kita menyimak seruan Menteri Luar Negeri Amerika
Serikat John Kerry bagi moratorium dan konsep rencana tiga aksi (triple action plan/TAP) sebagai upaya
stabilisasi atas berbagai insiden berbahaya awal tahun ini.
Di sisi lain, ada kesan posisi Tiongkok yang disampaikan Menlu
Wang Yi di Myanmar, Minggu, sebagai upaya kembali pada kebijakan yang disebut
zhoubian waijiao (diplomasi periferi) ketika merumuskan ”kebangkitan damai
Tiongkok”. Sebelumnya, posisi mereka bernuansa agresif dengan tuduhan seperti
memecah belah wilayah laut (haiyu bei
guafen), invasi pulau karang (dao
jiao bei qin), atau menjarah sumber daya (ziyuan bei lueduo).
Intonasi diplomasi Menlu Wang Yi pun berubah, menekankan kalau
Tiongkok dan ASEAN memiliki kemampuan menyeluruh mengamankan perdamaian dan
stabilitas di Laut Tiongkok Selatan. Perubahan intonasi diplomasi ini diikuti
usulan membuat rencana aksi bagi pengejawantahan Deklarasi Bersama Kemitraan
Strategis Tiongkok-ASEAN bagi Perdamaian dan Kesejahteraan untuk kurun
2016-2020.
Asia Tenggara mulai khawatir dengan aksi sepihak AS memperluas
eksistensinya tidak hanya di Filipina, Jepang, dan Vietnam, tetapi juga di
Australia. AS dikhawatirkan tak hanya memperluas kehadiran personel militer
di Darwin, dari 250 orang pada tahun 2011 menjadi 1.100 personel saat ini.
Arsitektur keamanan regional di Asia juga dikhawatirkan hanya melulu menyangkut
persoalan penataan hubungan baru antarnegara besar, yang gencar didengungkan
sejumlah negara besar di kawasan Asia.
Ada beberapa faktor yang perlu menjadi pemikiran kita bersama,
yang selama ini memiliki saluran dan forum di bawah Perjanjian Kerja Sama dan
Persahabatan ASEAN. Pertama, untuk melaksanakan stabilitas jangka panjang,
usulan yang diajukan AS-Tiongkok-Jepang tentang arsitektur keamanan baru Asia
harus bisa keluar dari cakupan agenda politik dan regional yang ada. Harus
ada preposisi tawar yang luas dan masif, melibatkan negara-negara Asia
lainnya.
Kedua, perlu ada inisiatif berani meluncurkan program ekonomi
pembangunan bersama di kawasan Asia, mengalihkan perhatian mengulurkan tangan
bagi kemiskinan yang akan selalu menjadi potensi destabilisasi. Bantuan
pembangunan selama beberapa dekade, termasuk dari AS dan Jepang melalui
sejumlah lembaga, ternyata tak cukup memberi perhatian adil dan seimbang
terhadap persoalan kemiskinan di kawasan ini.
Menawarkan pembentukan Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB)
seperti yang ditawarkan Beijing tidak serta-merta mengubah persoalan
kemiskinan di tengah persaingan pengaruh negara-negara besar. Kohesi ASEAN
selama ini tidak bisa hanya dijadikan obyek kebangkitan negara besar mana
pun, tetapi subyek keamanan dan perdamaian bersama semua pihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar