Campur
Tangan AS Hanya Memperburuk
Pascal S Bin Saju ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS,
13 Agustus 2014
AMERIKA Serikat akhirnya melakukan serangan udara terhadap
militan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang membantai warga minoritas
di Irak utara. Presiden AS Barack Obama langsung memperingatkan, serangan itu
tidak akan cepat selesai.
Sementara itu, Israel dan Hamas masih terjebak konflik berdarah
setelah rencana gencatan senjata permanen menemui jalan buntu. Korban
terbesar konflik ini adalah warga sipil Jalur Gaza. Libya pun kembali kusut
dengan pertempuran antarmilisi, dan perang saudara di Suriah masih bergulir.
Bagaimana menilai kondisi terkini di Timur Tengah itu? Stephen M
Walt dari Universitas Harvard, AS, menilai semuanya itu akibat keterlibatan
kuat AS di kawasan. ”Setiap kali AS menyentuh Timur Tengah, hanya akan
membuat keadaan makin buruk. Sudah saatnya keluar dan tidak melihat ke
belakang,” tulis Walt di majalah Foreign Policy, Kamis (7/8).
Eliot A Cohen, dalam tulisannya di The Washington Post, 31 Juli
lalu, semua masalah itu sebagai puing-puing kebijakan AS di Timur Tengah.
Pakar Timur Tengah dari Universitas Johns Hopkins, AS, itu melihat semua
masalah di kawasan itu akibat kegagalan Obama mengakui ”perang adalah
perang”.
Reruntuhan kebijakan luar negeri AS berserakan di Gaza dan
belahan lain Timur Tengah, Asia Selatan, bahkan Afrika Utara. Perang Gaza
adalah contoh tragedi kemanusiaan yang muncul dari reruntuhan itu. Cohen
menyebutnya ”perang barbar”.
Perspektif lebih meyakinkan datang dari mantan Duta Besar AS
untuk Arab Saudi, Charles W Freeman, yang menyurvei campur tangan AS di Timur
Tengah. Dia sampai pada kesimpulan, ”Sulit memikirkan aksi AS apa pun di Timur
Tengah yang saat ini tidak menemui jalan buntu.”
Freeman menyampaikan hal itu pada konferensi ke-77 Dewan
Kebijakan Timur Tengah (MEPC) di Capitol Hill, AS, seperti dirilis situs
www.mepc.org. Setelah AS datang dan mengonfigurasi ulang Timur Tengah tahun
lalu, hasilnya malah membuat kawasan itu dan posisi AS berantakan. Bukan
perdamaian tercapai, melainkan perang.
Banyak hal terlihat tak bisa dipulihkan. Kekacauan di Timur
Tengah, seperti di Mesir, Irak, Israel, Suriah, Jordania, Lebanon, dan
Palestina, tidak hanya produk dinamika kawasan. ”Itu akibat AS tidak berpikir
dan bertindak strategis,” kata Freeman.
Urusan bisnis
Sejak Perang Dunia II, campur tangan AS dilakukan lewat
kemitraan dengan sekutu regional. Menurut Walt, keberpihakan ini mungkin karena
kebutuhan strategis selama Perang Dingin. Fakta yang menyedihkan adalah AS
tidak lagi memiliki sekutu yang sejati di kawasan, termasuk Israel, atau
bahkan dengan Qatar dan Bahrain sekalipun.
AS mempertahankan hubungan dengan Timur Tengah murni karena
urusan bisnis. Hal ini mengasumsikan keterlibatan mendalam dengan daerah
rawan ini masih penting untuk kepentingan nasional AS.
Jika kini AS mengebom NIIS, itu juga karena kepentingan
nasionalnya terganggu. Namun, dengan kondisi terbaru kawasan dan kondisi
sebagian besar sekutu AS itu, asumsi itu semakin dipertanyakan. Warga AS
perlu mengingat, AS mungkin memiliki kepentingan permanen di sana, tetapi
belum tentu memiliki sekutu abadi.
Beberapa pihak berpendapat, AS memiliki tanggung jawab moral
mengakhiri penderitaan di kawasan itu. Ada keharusan strategis untuk
memberantas teroris dan mencegah penyebaran senjata pemusnah massal. Sejarah
20 tahun terakhir mengajarkan, persepsi AS itu, diikuti kehadiran pasukannya
di kawasan, justru membuat situasi semakin buruk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar