Minggu, 24 Agustus 2014

Ketidakpercayaan Sosial

                                          Ketidakpercayaan Sosial

Candra Malik  ;   Peminat Tasawuf
KORAN TEMPO, 23 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Kehilangan terbesar adalah kehilangan rasa percaya diri. Namun, kehilangan yang lebih besar lagi adalah kehilangan kepercayaan dari orang lain, apalagi jika disusul dengan sanksi sosial. Yang kurang-lebih sama besarnya adalah kehilangan kepercayaan kepada orang lain, yang bisa menyebabkan sikap antisosial. Satu dan lainnya sama-sama berpotensi mencerabut kodrat kita sebagai makhluk sosial. Kita menjadi penyendiri. Kita menyendiri.

Saat ini, kita hidup dalam suasana batin yang mengarah ke sana ketika gotong-royong semakin mahal. Siskamling mulai digantikan oleh portal-portal di mulut gang, baik di kampung-kampung maupun kompleks-kompleks perumahan, terutama di kota-kota. Ketidakbersediaan sebagian warga untuk begadang di gardu ronda memicu kesepakatan untuk membuka peluang kerja jasa keamanan, dan kita cukup membayar kompensasi ketidakbersediaan untuk meronda malam.

Padahal, sesungguhnya kita sedang mengalami kehilangan; kehilangan rasa percaya diri, kehilangan kepercayaan kepada orang lain, dan kehilangan kepercayaan dari orang lain. Kita tidak lagi saling percaya. Pagar-pagar rumah semakin tinggi, pintu-pintu rumah siang-malam dikunci, dan penghuni rumah tidak serta-merta membukakan pintu jika diketuk. Jangankan pengamen, tamu pun kesulitan mendapat akses untuk ditemui oleh tuan rumah.

Di sebagian rumah, penghuninya masih menyambut ucapan salam dari luar rumah. Sebagian lainnya telah menutup pintu rapat-rapat dan hanya memberi lonceng mesin suara. Semakin sulit menemukan rumah dengan keakraban penghuninya, bahkan kepada orang-orang yang lalu-lalang, melalui bahasa pelepas dahaga, yaitu ketersediaan kendi air minum di pagar. Rukun tetangga dan rukun warga menjadi alat sosial belaka untuk mengurus surat-surat.

Musyawarah warga menjadi barang mewah. Warga menjadi berkelompok berdasarkan selera sosial, entah itu dalam kegiatan beragama, berkesenian, berolahraga, atau berekreasi. Masih ada pemersatu itu yang, syukurlah, bisa bertahan meski batasannya makin longgar. Bukan lagi melulu berdasarkan tempat tinggal, tapi lebih pada kesamaan selera sosial. Dinamika ini meretas keberagaman sekaligus keseragaman sosial.

Menjadi beragam karena memang aneka rupa selera sosial memunculkan warna-warni itu. Menjadi seragam karena setiap komunitas kemudian melahirkan simbol-simbol identitas. Jika dalam wilayah sosial yang melintas batas itu terus terjadi krisis kehilangan kepercayaan, kondisinya bisa semakin runyam. Keberagaman justru bisa memicu kecurigaan antarkomunitas dan kerukunan antarmanusia menjadi semakin jauh panggang dari api.

Lahirnya tokoh-tokoh sosial yang mendobrak kebekuan itu sungguh melegakan, dan kita butuh lebih banyak dan lebih banyak lagi tokoh-tokoh itu. Mereka tidak harus aparatur negara, tidak harus wakil rakyat. Apalagi kita sama-sama tahu betapa birokrasi dan protokol begitu menyebalkan dan melelahkan. Masyarakat memerlukan terobosan dan kepemimpinan untuk menjaga nyala api Bhinneka Tunggal Ika dan gotong-royong agar tidak padam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar