Ketahanan
yang Berbasis Tepung
Rofandi Hartanto ;
Pengajar Ilmu dan Teknologi Pangan UNS Surakarta
|
KORAN
TEMPO, 23 Agustus 2014
Selama ini ada kebijakan yang kurang tepat yang dilaksanakan
pemerintah kita. Kebijakan pilihan tunggal atas pangan, yaitu beras,
sebenarnya telah mengorbankan biodiversitas alamiah pangan kita. Stigma
underdog atas jenis-jenis pangan lain seperti jagung, sagu, dan singkong
tanpa terasa telah membebani orientasi pangan tunggal yang menjadi sangat
mahal dan relatif sulit dikendalikan.
Ketika kebijakan pangan nasional berbasis beras, permasalahan
suplai dari tahun ke tahun bertambah berat, akibat pertambahan penduduk yang
makin besar. Angka 250 juta jiwa, populasi terpadat keempat dunia, menjadi
beban terus-menerus setiap periode pemerintahan, tidak terkecuali pemerintah
mendatang.
Untuk itu, sebagai ilustrasi, pemenuhan kebutuhan beras dalam
negeri dengan menerapkan kebijakan pencetakan sawah baru sejumlah 400 ribu
hektare, untuk memenuhi defisit pangan sebesar 2 juta ton per tahun, haruslah
dianggap sebagai strategi jangka pendek.
Untuk strategi jangka menengah dan jangka panjang, alternatif
lain harus dicari, yang salah satunya adalah kebijakan pangan berbasis
tepung. Mengapa berbasis tepung? Karena jika kita tengok kebijakan pangan
dunia, (tepung) gandum meliputi lebih dari dua pertiga penduduk dunia. Adapun
pangan berbasis beras hanya didominasi oleh negara-negara Asia Selatan, Asia
Tenggara, Asia Timur Jauh, serta Cina. Kebijakan pangan berbasis tepung
dirasa tepat, karena sebenarnya kebijakan ini bersinggungan dengan kebutuhan
tepung dan ketersediaan tepung yang sangat melimpah di negeri ini.
Mengapa pangan nasional sebaiknya berbasis tepung? Pertama,
tepung adalah sumber karbohidrat utama, sama seperti beras, jagung, dan
singkong. Tepung sendiri adalah produk antara dari sumber-sumber pangan
seperti disebutkan sebelumnya. Keunggulan tepung dari sumber asalnya adalah
pengolahan lebih lanjut menjadi berbagai pangan dalam bentuk basah dan
kering, bergantung pada tujuan kita mengolah bahan pangan. Tepung, dengan
demikian, bisa menjadi cadangan pangan masa depan. Adapun sumber-sumber
tepung kita jauh lebih berlimpah dibanding beras yang selalu membebani anggaran
untuk ketahanan pangan.
Untuk sedikit membandingkan atau sedikit mempertimbangkan bagi
pemenuhan pangan nasional, jika program beras nasional adalah pemenuhan dalam
jangka pendek pengamanan kebutuhan beras dalam negeri seperti disebutkan
sebelumnya, tepung akan menjadi cadangan pangan nasional dalam jangka
menengah dan panjang. Karena, untuk mengambil contoh, ketersediaan tepung
sagu akan 50 kali lebih besar dibanding beras.
Sebenarnya, apa yang menjadi konsep pemerintah selama ini dalam
ketahanan pangan dan energi sebagai dasar dalam penyelenggaraan negara sudah
tepat. Tapi, sebagai sebuah visi ke depan, barangkali ini kurang menggigit.
Maksudnya, visi pangan hanya untuk kebutuhan sendiri tidaklah cukup memadai
sebagai sebuah negara yang dikaruniai Tuhan dengan sumber daya alam yang
sangat melimpah.
Bayangkan kita memiliki 90 juta hektare lahan hutan produktif,
59 juta hektare lahan kritis, dan 10 juta hektare lahan pertanian produktif.
Dengan potensi yang ada, Indonesia nantinya harus menjadi lumbung pangan
dunia. Kita tidak boleh berpuas diri hanya dengan memenuhi kebutuhan pangan
sendiri. Kemandirian pangan, sebagai sebuah negara besar, adalah sebuah
keniscayaan. Tapi, sebagai sebuah visi negara besar, kecukupan pangan
ditambah ketersediaan pangan bagi dunia tampaknya merupakan keharusan.
Masalah pangan dan energi yang telah menjadi isu penting dalam dua dasawarsa
terakhir agaknya harus menjadi tantangan yang mesti dijawab.
Dengan itu, urgensi ketahanan pangan berbasis tepung menemukan
muaranya. Pertama, tepung dapat diproduksi dari aneka macam komoditas utama,
seperti singkong dan sagu, serta komoditas lainnya seperti umbi-umbian talas,
ganyong, irut, gembili, gadung, dan iles-iles, baik sebagai pangan alternatif
maupun pangan fungsional.
Kedua, tepung sebagai cadangan pangan sekaligus sebagai cadangan
energi hijau. Bergantung pada cara pengolahan yang dipilih, tepung dapat
menjadi aneka pangan basah seperti kue, pangan kering untuk penyimpanan yang
lama, seperti biskuit dan bahan baku utama mi dan bihun, sekaligus sebagai
cadangan energi (bioetanol).
Ketiga, daya simpan tepung dapat mencapai bulanan bahkan
tahunan. Dengan penurunan kadar air dan dan teknik penyimpanan tertentu, ini
akan mencegah invasi bakteri dan kapang untuk masa yang lama. Keempat,
teknologi pengolahan/pemanfaatan tepung dari teknologi konvensional
(bagaimana membuat adonan kue yang cocok) hingga teknologi nano, nantinya
akan menjadi tantangan.
Jangan sampai, kiranya, kita yang mempunyai sumber daya tepung
yang luar biasa namun bergantung pada negara lain karena kurang mampu
mengelola dan mengembangkannya-yang pada gilirannya membuat ketahanan pangan
ataupun kelimpahan pangan hanya menjadi mimpi di siang bolong. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar