ISIS
di Antara Kita
Ahmad Taufik ;
Pendiri Garda Kemerdekaan
|
KORAN
TEMPO, 23 Agustus 2014
Video ajakan bergabung dengan Islamic State of Iraq and al-Sham (ISIS) sekarang disebut Islamic State (IS) disambut gegap gempita di berbagai pelosok
Indonesia. Banyak orang berbondong-bondong masuk, melalui acara baiat (sumpah
setia). Selain janji surga dengan jalan jihad, ada rindu cerita masa lalu,
juga akibat kekuatan propaganda. Tak mengherankan jika rekaman video kegiatan
mereka selalu diunggah ke situs termasyhur saat ini, YouTube.
Bukti tersebarnya ISIS diketahui belakangan setelah populer dan
dijadikan musuh bersama. Polisi menemukan sejumlah identitas ISIS di berbagai
tempat publik, dari bendera sampai mural (seni gambar di tembok). Padahal,
sebenarnya, sebelum sepopuler sekarang, ISIS sudah berusaha bereksistensi.
Bendera hitam dengan kalimat la ilaha
ilallah terlihat berkibar saat hari bebas kendaraan bermotor (car free day) di Solo dan Jakarta.
Kenapa IS mendapat sambutan? Selain propaganda media, utopia
negara Islam, dan janji surga, bibit IS tumbuh subur di negeri ini. Ada
beberapa asumsi penyebab tumbuh suburnya kelompok itu. Bekas Perdana Menteri
Inggris Tony Blair (2001) menyebut, "...negara
gagal, kemiskinan, dan pemutusan hubungan kerja (PHK)." Alan B.
Krueger, dalam buku What a Makes a Terrorist, (kalau kita mau menyebut ISIS teroris), berkata menjadi
teroris adalah pilihan hidup, cita-cita atau karier, seperti menjadi dokter,
jurnalis, dan jenis pekerjaan lain.
Menurut Mohamad Guntur Romli (2009), berkembangnya kelompok
radikal yang mengedepankan kekerasan merupakan jalan lahir dari ketegangan,
perebutan kekuasaan, hingga konflik di Timur Tengah. Di Indonesia, banyak
alumnus dari perguruan tinggi atau pesantren di Timur Tengah yang pulang
membawa "semangat kekerasan" dari tempat pendidikannya itu.
Kemudian, pihak yang berkonflik, melalui alumnus, mengajak pihak lain untuk
menjadi sekutu.
Satu faktor lagi penyebab tumbuh suburnya kelompok pro-kekerasan
adalah peran aparat keamanan (polisi). Aparat gamang menindak penyeru
penyebar kebencian (hate crime).
Hal ini merupakan sumbangan bagi berkembangnya kelompok "jalan kekerasan", seperti ISIS sekarang ini, sehingga
pelakunya merasa mendapat perlindungan.
Sebenarnya, hanya
memusuhi ISIS adalah salah, karena kelompok ini bisa berubah rupa. Sebelum
ini kita mengenal Al-Qaidah di Timur Tengah dan Jamaah Islamiyah (JI) di
Nusantara. Saat ini yang terpenting
adalah mengidentifikasinya. Ada tiga ciri untuk mengetahui kelompok seperti
ISIS itu.
Pertama, kemantapan niat untuk mendirikan negara Islam dengan
memberlakukan syariat Islam sesuai dengan pemahaman kelompok mereka sendiri,
sehingga seluruh konsep kehidupan bernegara, selain pemberlakuan syariat
Islam seperti yang mereka pahami, menjadi batil (wajib diperangi). Kedua,
tafsir kebenaran bersifat tunggal, sesuai dengan pemahaman kelompok mereka.
Untuk itu, siapa pun yang tidak menerima pemahaman tafsir kebenaran mereka
dianggap sesat dan kafir. Karena itu, setiap yang kafir, halal darahnya untuk
dibunuh. Ketiga, penganut agama selain Islam yang mereka pahami, agar tidak
dibunuh atau dipersekusi, diwajibkan membayar jizyah atau pajak perlindungan.
Nah, dengan tiga identifikasi tersebut, jangan-jangan kita juga
turut serta menumbuhsuburkan "ISIS-ISIS" lain di negeri ini. Jika
asumsi itu benar, sia-sialah 69 tahun kemerdekaan yang telah kita capai
sekarang ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar