Kamis, 07 Agustus 2014

Di Balik Gugatan Pilpres

Di Balik Gugatan Pilpres

Sunyoto Usman  ;   Guru Besar Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM)
SUARA MERDEKA, 06 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

KUASA hukum Prabowo Subianto-Hatta Rajasa telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan dilampiri bukti yang menyatakan bahwa dalam Pilpres 2014 terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif. Mereka menyebut cara itu dilakukan antara lain dengan memobilisasi pemilih melalui daftar pemilih tambahan. Berkait sidang perdana gugatan yang diagendakan hari ini, Tim Pembela Merah Putih (TPMP) sebagai kuasa hukum Prabowo-Hatta menyatakan keyakinannya gugatan akan sempurna. (SM, 1/8/14)

Beberapa waktu lalu di tengah waktu menunggu gelar perkara tersebut, mereka dikejutkan oleh tindakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, yang dinilai melanggar kode etik terkait surat edaran ke KPU daerah, untuk membuka kotak suara. Berkait hal itu, komisioner KPU tahun 2001-2007 Ramlan Surbakti berpendapat KPU punya hak untuk membuka kotak suara, dan itu tak memerlukan izin dari MK.

Sehubungan dengan gugatan Prabowo- Hatta, sejumlah kalangan pesimistis karena berpendapat bukti-bukti yang dimiliki kurang kuat. Benarkah? Atau bahkan sebaliknya, mengingat bisa saja itu bagian dari strategi. Jawaban atas pertanyaan ini terbelah dalam tiga pandangan.

Pertama; kuasa hukum Prabowo-Hatta boleh jadi masih memiliki atau menyimpan bukti-bukti yang belum ditunjukkan kepada publik. Bukti-bukti yang telah dilansir ke publik barulah sebagian, dan boleh-boleh saja pengamat menilainya sebagai bukti yang lemah. Padahal bisa saja TPMPmasih memiliki bukti-bukti lain dan baru ditunjukkan dalam persidangan.

Kemungkinan tersebut cukup beralasan mengingat tim kuasa hukum Prabowo- Hatta terdiri atas sejumlah pakar berpengalaman. Sebagian mereka sudah teruji kemampuannya melakukan pembelaan. Rasanya hampir tidak mungkin mereka mengorbankan kredibilitas atau reputasi yang dimiliki. Ibarat pertandingan silat, jurus-jurus yang diyakini mampu mengunci lawan, baru dikeluarkan menunggu waktu yang tepat.

Kedua; kuasa hukum Prabowo-Hatta tersebut boleh jadi hanya ingin menyampaikan pesan politik kepada Jokowi-Hatta bahwa jangan keburu bangga dengan penetapan KPU. Termasuk jangan keburu merayakan kemenangan, apalagi mulai berancang-ancang menyusun kabinet.

Peraturan perundangan yang berlaku memberi peluang para pihak yang dirugikan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Merayakan kemenangan dan berancang-ancang menyusun kabinet memang tidak salah tetapi hendaknya menunggu waktu setelah semua persoalan selesai. Pesan politik seperti itu mereka anggap penting disampaikan supaya menghargai kubu lawan menjadi nilai-nilai melembaga dalam proses demokratisasi di negeri ini.

Pelembagaan Spirit

Ketiga; kuasa hukum Prabowo-Hatta boleh jadi ingin menunjukkan kepada pendukung, sukarelawan, dan pemilih bahwa mereka sanggup berjuang keras sampai titik akhir. Mereka boleh jadi menyadari bahwa Mahkamah Konstitusi sukar mengabulkan gugatannya. Mereka pun boleh jadi memahami bahwa bukti-bukti yang dimiliki sukar mematahkan ketetapan KPU

Tetapi mereka tetap ingin menunjukkan kepada publik bahwa mereka bukanlah tipologi kubu yang mudah pasrah atau pantang menyerah. Spirit seperti ini layak dilembagakan dalam kompetisi politik.

Apa pun alasannya upaya kuasa hukum Prabowo-Hatta mengajukan gugatan sengketa pilpres ke MK, sangat layak dihargai. Mengapa? Pasalnya, upaya itu bukan saja mengikuti peraturan perundangan yang berlaku melainkan juga menjauhkan dari kemungkinan kemunculan gerakan jalanan yang acap mengundang kerusuhan. Gerakan jalanan bisa mengundang gerakan jalanan tandingan, dan sangat berisiko menciptakan konflik politik horisontal berkepanjangan. Apabila itu terjadi maka proses demokratisasi yang selama ini telah diperjuangkan dengan susah payah menjadi rusak, dan bukan mustahil kembali pada otoritarianisme.

Dalam pilpres, gugatan ke MK adalah usaha final. Para pihak yang bersengketa diharapkan menghormati keputusan hakim konstitusi kendati mungkin dirasakan pahit, atau jauh dari yang mereka harapkan.

Kita semua berharap keputusan hakim konstitusi benar-benar dapat menjunjung tinggi keadilan, diputuskan berdasarkan bukti-bukti akurat serta melalui proses yang transparan dan bertanggung jawab.

Keputusan MK juga harus terhindar dari kemungkinan intimidasi. Bagaimana andai kelak keputusan majelis menerima penetapan KPU? Kubu Prawoto-Hatta pun harus menyikapinya dengan bijak sekaligus legawa menerimanya. Selama ini KPU telah memperlihatkan kinerja cukup baik.

Mereka telah berusaha bekerja dengan menerapkan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Jangan sampai ada kekuatan politik yang mendelegitimasi KPU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar