Di
Balik Gugatan Pilpres
Sunyoto Usman ; Guru Besar Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM)
|
SUARA
MERDEKA, 06 Agustus 2014
KUASA hukum Prabowo Subianto-Hatta Rajasa telah mengajukan
gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan dilampiri bukti yang menyatakan
bahwa dalam Pilpres 2014 terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis, dan
masif. Mereka menyebut cara itu dilakukan antara lain dengan memobilisasi
pemilih melalui daftar pemilih tambahan. Berkait sidang perdana gugatan yang
diagendakan hari ini, Tim Pembela Merah Putih (TPMP) sebagai kuasa hukum
Prabowo-Hatta menyatakan keyakinannya gugatan akan sempurna. (SM, 1/8/14)
Beberapa waktu lalu di tengah waktu menunggu gelar perkara
tersebut, mereka dikejutkan oleh tindakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat,
yang dinilai melanggar kode etik terkait surat edaran ke KPU daerah, untuk
membuka kotak suara. Berkait hal itu, komisioner KPU tahun 2001-2007 Ramlan
Surbakti berpendapat KPU punya hak untuk membuka kotak suara, dan itu tak
memerlukan izin dari MK.
Sehubungan dengan gugatan Prabowo- Hatta, sejumlah kalangan
pesimistis karena berpendapat bukti-bukti yang dimiliki kurang kuat.
Benarkah? Atau bahkan sebaliknya, mengingat bisa saja itu bagian dari
strategi. Jawaban atas pertanyaan ini terbelah dalam tiga pandangan.
Pertama; kuasa hukum Prabowo-Hatta boleh jadi masih memiliki
atau menyimpan bukti-bukti yang belum ditunjukkan kepada publik. Bukti-bukti
yang telah dilansir ke publik barulah sebagian, dan boleh-boleh saja pengamat
menilainya sebagai bukti yang lemah. Padahal bisa saja TPMPmasih memiliki
bukti-bukti lain dan baru ditunjukkan dalam persidangan.
Kemungkinan tersebut cukup beralasan mengingat tim kuasa hukum
Prabowo- Hatta terdiri atas sejumlah pakar berpengalaman. Sebagian mereka
sudah teruji kemampuannya melakukan pembelaan. Rasanya hampir tidak mungkin
mereka mengorbankan kredibilitas atau reputasi yang dimiliki. Ibarat
pertandingan silat, jurus-jurus yang diyakini mampu mengunci lawan, baru
dikeluarkan menunggu waktu yang tepat.
Kedua; kuasa hukum Prabowo-Hatta tersebut boleh jadi hanya ingin
menyampaikan pesan politik kepada Jokowi-Hatta bahwa jangan keburu bangga
dengan penetapan KPU. Termasuk jangan keburu merayakan kemenangan, apalagi
mulai berancang-ancang menyusun kabinet.
Peraturan perundangan yang berlaku memberi peluang para pihak
yang dirugikan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Merayakan
kemenangan dan berancang-ancang menyusun kabinet memang tidak salah tetapi
hendaknya menunggu waktu setelah semua persoalan selesai. Pesan politik
seperti itu mereka anggap penting disampaikan supaya menghargai kubu lawan
menjadi nilai-nilai melembaga dalam proses demokratisasi di negeri ini.
Pelembagaan Spirit
Ketiga; kuasa hukum Prabowo-Hatta boleh jadi ingin menunjukkan
kepada pendukung, sukarelawan, dan pemilih bahwa mereka sanggup berjuang
keras sampai titik akhir. Mereka boleh jadi menyadari bahwa Mahkamah
Konstitusi sukar mengabulkan gugatannya. Mereka pun boleh jadi memahami bahwa
bukti-bukti yang dimiliki sukar mematahkan ketetapan KPU
Tetapi mereka tetap ingin menunjukkan kepada publik bahwa mereka
bukanlah tipologi kubu yang mudah pasrah atau pantang menyerah. Spirit
seperti ini layak dilembagakan dalam kompetisi politik.
Apa pun alasannya upaya kuasa hukum Prabowo-Hatta mengajukan
gugatan sengketa pilpres ke MK, sangat layak dihargai. Mengapa? Pasalnya,
upaya itu bukan saja mengikuti peraturan perundangan yang berlaku melainkan
juga menjauhkan dari kemungkinan kemunculan gerakan jalanan yang acap
mengundang kerusuhan. Gerakan jalanan bisa mengundang gerakan jalanan
tandingan, dan sangat berisiko menciptakan konflik politik horisontal
berkepanjangan. Apabila itu terjadi maka proses demokratisasi yang selama ini
telah diperjuangkan dengan susah payah menjadi rusak, dan bukan mustahil
kembali pada otoritarianisme.
Dalam pilpres, gugatan ke MK adalah usaha final. Para pihak yang
bersengketa diharapkan menghormati keputusan hakim konstitusi kendati mungkin
dirasakan pahit, atau jauh dari yang mereka harapkan.
Kita semua berharap keputusan hakim konstitusi benar-benar dapat
menjunjung tinggi keadilan, diputuskan berdasarkan bukti-bukti akurat serta
melalui proses yang transparan dan bertanggung jawab.
Keputusan MK juga harus terhindar dari kemungkinan intimidasi.
Bagaimana andai kelak keputusan majelis menerima penetapan KPU? Kubu
Prawoto-Hatta pun harus menyikapinya dengan bijak sekaligus legawa menerimanya. Selama ini KPU
telah memperlihatkan kinerja cukup baik.
Mereka telah berusaha bekerja dengan menerapkan prinsip-prinsip
transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Jangan sampai ada kekuatan
politik yang mendelegitimasi KPU. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar