Selasa, 19 Agustus 2014

Kepanduan dan Mangkunegara VII

                           Kepanduan dan Mangkunegara VII

Heri Priyatmoko  ;   Alumnus Pascasarjana Sejarah FIB, UGM
KORAN TEMPO, 18 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Saban kali memperingati Hari Pramuka, nama Lord Baden Powell sekonyong-konyong melintas dalam benak anak negeri. Pertanyaan penting: apakah kita tidak punya tokoh bangsa yang patut dikenang dan ditutur-ulangkan dalam riwayat dunia kepanduan?

Mari kita buka almari sejarah yang berdebu untuk membedah bundelan arsip lokal yang kusam di Perpustakaan Reksopustoko Mangkunegaran. Bakal kita temukan kisah historis keberanian Mangkunegara VII menentang pemerintah kolonial Belanda yang hendak membumikan Persatuan Pandu Hindia Belanda atau Nederlans Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) di tanah jajahan.

Orang nomor satu di praja Mangkunegaran ini emoh memenuhi permintaan pejabat kolonial lantaran syarat mutlak anggota NIPV ialah kudu setia dan patuh kepada Ratu Belanda sebagai junjungan. Tata tertib itu sengaja dipasang supaya tunas muda dari bangsa Eropa, Indo, dan pribumi turut melanggengkan kekuasaan politik kolonial dan sendika dawuh kepada Belanda.

Organisasi tersebut jelas berpeluang melemahkan loyalitas kawula-gusti dan mengganggu virus nasionalisme yang tengah ditiupkan para aktivis. Apabila NIPV merebak, kekuasaan, wibawa, dan pengaruh Mangkunegara VII bakal melorot. Alih-alih mengikuti kemauan pejabat Belanda mendirikan NIPV, raja yang juga seorang intelektual ini malah mendirikan Javaansche Padvinders Organisatie (JPO), yang bercorak Jawa dan digarap secara mandiri pada 1916.

Gusti yang pernah bersekolah di negeri Belanda itu paham bahwa kepanduan merupakan cara jitu membangun "negara" yang kokoh dan mentalitas manusia yang bagus. Kegiatan positif ini memperluas cakrawala para pemuda di luar jam sekolah dan di luar rumah. Juga meningkatkan budi pekerti, jasmani, rohani, serta menambah aneka rupa kepandaian. Gusti punya mimpi, yakni pemuda-pemudi anggota JPO hidupnya berfaedah bagi penduduk dan menjadi warga negara yang baik, kelak.

Himodigdoyo (1950) menyebutkan bahwa pendidikan kepanduan ada yang berwujud keterampilan dan permainan. Tapi tujuan pokoknya ialah pendidikan mental, berupa disiplin, kepemimpinan, ketaatan, kesetiaan, kepatuhan atau loyalitas, ketahanan hidup, dan memupuk rasa welas asih terhadap sesama. Kepanduan menyuntikkan spirit universalisme, humanisme, sekaligus nasionalisme.

JPO ikut diterjunkan sewaktu Mangkunegara VII membasmi buta sastra dan membangun sekolahan di area pedesaan. Wong ndeso dibekali bermacam keterampilan yang sederhana dan sesuai dengan kebutuhan lingkungannya. Bahkan diterbitkan pula majalah Kepandoean, Pemimpin-JPO, dan Korban. Inilah bukti konkret usaha penguasa pribumi menebalkan rasa cinta rakyat kepada negeri. Propaganda lewat aneka majalah memang sangat efektif selepas rakyat melek huruf. Apalagi majalah tersebut dikonsumsi masyarakat umum. Buahnya, jumlah anggota JPO kian membengkak dan secara diam-diam sukses menyelipkan misi terselubung tanpa sepengetahuan pemerintah kolonial.

Dari pengkisahan sejarah di atas, kita diajak berpikir ulang bahwa kemajuan suatu negeri tidak hanya bergantung pada kekuatan bala tentara dan para politikus andal. Ia bergantung pula pada tabiat anak muda yang telah disiapkan jauh hari oleh pemimpin negeri. Lewat Pramuka, mental dan kemandirian tunas muda digembleng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar