Kepanduan
dan Mangkunegara VII
Heri Priyatmoko ;
Alumnus Pascasarjana Sejarah FIB, UGM
|
KORAN
TEMPO, 18 Agustus 2014
Saban kali memperingati Hari Pramuka, nama Lord Baden Powell
sekonyong-konyong melintas dalam benak anak negeri. Pertanyaan penting:
apakah kita tidak punya tokoh bangsa yang patut dikenang dan ditutur-ulangkan
dalam riwayat dunia kepanduan?
Mari kita buka almari sejarah yang berdebu untuk membedah
bundelan arsip lokal yang kusam di Perpustakaan Reksopustoko Mangkunegaran.
Bakal kita temukan kisah historis keberanian Mangkunegara VII menentang
pemerintah kolonial Belanda yang hendak membumikan Persatuan Pandu Hindia
Belanda atau Nederlans Indische
Padvinders Vereeniging (NIPV) di tanah jajahan.
Orang nomor satu di praja Mangkunegaran ini emoh memenuhi
permintaan pejabat kolonial lantaran syarat mutlak anggota NIPV ialah kudu
setia dan patuh kepada Ratu Belanda sebagai junjungan. Tata tertib itu
sengaja dipasang supaya tunas muda dari bangsa Eropa, Indo, dan pribumi turut
melanggengkan kekuasaan politik kolonial dan sendika dawuh kepada Belanda.
Organisasi tersebut jelas berpeluang melemahkan loyalitas kawula-gusti
dan mengganggu virus nasionalisme yang tengah ditiupkan para aktivis. Apabila
NIPV merebak, kekuasaan, wibawa, dan pengaruh Mangkunegara VII bakal melorot.
Alih-alih mengikuti kemauan pejabat Belanda mendirikan NIPV, raja yang juga
seorang intelektual ini malah mendirikan Javaansche Padvinders Organisatie
(JPO), yang bercorak Jawa dan digarap secara mandiri pada 1916.
Gusti yang pernah bersekolah di negeri Belanda itu paham bahwa
kepanduan merupakan cara jitu membangun "negara" yang kokoh dan mentalitas
manusia yang bagus. Kegiatan positif ini memperluas cakrawala para pemuda di
luar jam sekolah dan di luar rumah. Juga meningkatkan budi pekerti, jasmani,
rohani, serta menambah aneka rupa kepandaian. Gusti punya mimpi, yakni
pemuda-pemudi anggota JPO hidupnya berfaedah bagi penduduk dan menjadi warga
negara yang baik, kelak.
Himodigdoyo (1950) menyebutkan bahwa pendidikan kepanduan ada
yang berwujud keterampilan dan permainan. Tapi tujuan pokoknya ialah
pendidikan mental, berupa disiplin, kepemimpinan, ketaatan, kesetiaan,
kepatuhan atau loyalitas, ketahanan hidup, dan memupuk rasa welas asih
terhadap sesama. Kepanduan menyuntikkan spirit universalisme, humanisme,
sekaligus nasionalisme.
JPO ikut diterjunkan sewaktu Mangkunegara VII membasmi buta
sastra dan membangun sekolahan di area pedesaan. Wong ndeso dibekali bermacam keterampilan yang sederhana dan
sesuai dengan kebutuhan lingkungannya. Bahkan diterbitkan pula majalah
Kepandoean, Pemimpin-JPO, dan Korban. Inilah bukti konkret usaha penguasa pribumi
menebalkan rasa cinta rakyat kepada negeri. Propaganda lewat aneka majalah
memang sangat efektif selepas rakyat melek huruf. Apalagi majalah tersebut
dikonsumsi masyarakat umum. Buahnya, jumlah anggota JPO kian membengkak dan
secara diam-diam sukses menyelipkan misi terselubung tanpa sepengetahuan
pemerintah kolonial.
Dari pengkisahan sejarah di atas, kita diajak berpikir ulang
bahwa kemajuan suatu negeri tidak hanya bergantung pada kekuatan bala tentara
dan para politikus andal. Ia bergantung pula pada tabiat anak muda yang telah
disiapkan jauh hari oleh pemimpin negeri. Lewat Pramuka, mental dan
kemandirian tunas muda digembleng. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar