Senin, 18 Agustus 2014

Kemana Telunjuk (Seharusnya) Menunjuk

Kemana Telunjuk (Seharusnya) Menunjuk

Reza Indragiri Amriel  ;  Associate Trainer Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa
JAWA POS, 18 Agustus 2014
                                                


GADUH para orang tua dan aktivis perlindungan anak mengeluhkan rencana enam hari belajar sebagai bentuk penyesuaian terhadap pemberlakuan kurikulum 2013. Jika direalisasikan, rencana kebijakan tersebut dinilai hanya akan memberikan beban ekstra kepada anak-anak. Dari gerundelan macam itu, tumpah ruah kritik susulan terhadap pendidikan nasional.

Berikut beberapa protes khalayak yang berhasil saya tangkap. Sepintas lalu terkesan benar adanya. Tapi, direnungkan lebih mendalam, setidaknya akan timbul pertanyaan: benarkah dunia pendidikan kita sudah menjadi tong sampah reyot sebagaimana yang dikecam khalayak luas? Pertama, tidak sedikit kalangan yang melihat dunia pendidikan nasional kini tunamoral. Kementerian pendidikan disebut tidak mempunyai visi pendidikan yang jelas. Dengan gaya bombastis, para pengkritik menyatakan, filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara sudah digagahi siswa-siswinya sendiri.

Saya penasaran, kapankah di negara ini ada episode kala pendidikan moral didesain secara lebih baik? Ki Hajar Dewantara memang Bapak Pendidikan Nasional, julukan luhur yang sangat saya hormati. Tapi, tak mungkin pula sepeninggal Ki Hajar, Indonesia tidak lagi memiliki jago-jago pendidikan.

Sekian banyak guru besar sudah menduduki kursi menteri pendidikan dan mereka niscaya orang-orang yang mumpuni di bidang tersebut. Mereka pun dikelilingi para pakar. Di dada mereka juga berkibar Sang Merah Putih. Dengan jabatan sementereng itu, mustahil rasanya orang-orang tersebut mendesain format pendidikan nasional secara asal-asalan.

Apabila diasumsikan bahwa dunia pendidikan Indonesia masa kini kacau balau, maka –percayalah– beberapa tahun dari sekarang Indonesia akan dipenuhsesaki generasi bromocorah. Dan yakinlah, saat masa itu tiba, Indonesia pasti sudah punah. Padahal, sudah menjadi suratan, di mana ada kebatilan, di situ pula ada kemakrufan. Siapa atau apa yang menghasilkan kaum pencinta kemakrufan itu? Apa lagi kalau juga bukan dunia pendidikan yang hari ini kita jalani.

Kedua, kehidupan anak-anak yang identik dengan bermain sudah hilang. Anak saban hari harus memikul ransel dengan tumpukan buku tebal di dalamnya. Buku banyak kok disebut beban? Mendorong anak untuk sering membaca bukan bentuk perlakuan sewenang-wenang terhadap anak.

Di stasiun kereta kentara indikator keterampilan komunikasi masyarakat kita. Berbeda dengan stasiun-stasiun di Jepang dan negara maju lainnya yang dipenuhi berbagai informasi tertulis, di sini segala informasi tentang perjalanan kereta masih mengandalkan woro-woro secara lisan. Itu barangkali penjelasan mengapa otoritas perkeretaapian tetap saja belum mengadakan papan informasi elektronik. Sebab, walau fasilitas itu disajikan, tetap saja para penumpang akan bertanya lisan dan menantikan jawaban lisan. Bahkan, ketika informasi tertulis sudah tersedia, pertanyaan lisan masih juga diajukan. Jawaban lisan dirasa lebih afdal, katanya. Begitulah potret kecil bagaimana proses transmisi pengetahuan di Indonesia tampak masih sangat berbasis lisan, bukan tulisan.

Membaca itu jendela dunia. Dengan membaca, si pelahap buku bisa berkelana ke matahari walau sehari-harinya ia tidak pernah keluar dari Wonogiri. Dengan membaca, penikmat bacaan mampu berimajinasi mengikuti perjalanan Isra Mikraj Nabi betapapun kejadian monumental itu berlangsung ribuan tahun silam. Dengan membaca, manusia jadi bisa meramal kapan gelombang pertama tsunami akan menampar bibir pantai tanpa didahului kepanikan. Jadi, semakin banyak anak membaca, semakin luas cakrawala khayalinya. Ia jauh lebih belia dari segi usia. Tapi, dari sisi isi otak, reka ulang mereka atas apa-apa yang terjadi di dunia sangat mungkin jauh lebih banyak daripada isi kepala sepuluh orang dewasa sebaya kita.

Jadi, banyak buku bukan penindasan. Baca saja! Selesai perkara. Apalagi, perintah suci pertama yang Nabi terima, tak lain, adalah suruhan membaca. Agar tulang punggung anak tetap lurus, bukan jumlah bukunya yang dikurangi. Tapi, formatnya yang diganti: dari lembaran kertas yang diperoleh dari menebang hutan ke butiran bites dalam kemasan buku elektronik.

Ketiga, apa alasan gonta-ganti buku setiap tahun kalau bukan semata-mata ladang proyek? Demikian pula ganti menteri, ganti kurikulum.

Bumi berputar dan selama itu pula temuan-temuan baru dihasilkan. Alhasil, agar kemampuan bertahan hidup tetap tajam, perbendaharaan pengetahuan kita memang sudah sepantasnya bersumber dari bacaan-bacaan edisi mutakhir. Dalam pembuatan karya tulis pun, mutu tulisan dinilai –salah satunya– berdasar seberapa jauh penulis menjadikan literatur terkini sebagai rujukan. Perubahan kurikulum pun begitu. Penyiapan anak-anak agar menjadi manusia yang adaptif perlu dilakukan secara komprehensif. Bukan lewat pendekatan-pendekatan parsial.

Benar, ada persoalan-persoalan susulan dalam pergantian kurikulum satu dengan lainnya. Tapi, munculnya kendala merupakan keniscayaan dalam setiap perubahan. Dan karena itu tidak sepatutnya membuat masyarakat apriori terhadap perubahan kurikulum yang kerap dikait-kaitkan dengan pergantian menteri.

Keempat, sekolah enam hari sepekan merupakan eksploitasi terhadap anak. Anggapan seperti itu jelas menunjukkan standar ganda. Sebab, tatkala anak libur panjang ataupun pulang sekolah lebih cepat, orang tua juga sama risaunya. Sekolah dinilai tidak menempa anak untuk menjadi pekerja (pembelajar) keras dan dicurigai mencari-cari alasan semata-mata agar para guru bisa santai. Di sisi lain, di luar jam sekolah, faktanya anak-anak masih diikutkan orang tua pada sekian banyak les guna memperkuat penguasaan keilmuan mereka.

Jadi terasa aneh kalau kini ada reaksi negatif terhadap wacana atau rencana enam hari sekolah dan menyebutnya sebagai bentuk eksploitasi. Yang tepat, kalau anak tidak diperbolehkan sekolah, lalu dipaksa bekerja, itulah eksploitasi yang sesungguhnya terhadap anak.

Nah, merunut ulang keluh kesah publik terkait dunia pendidikan kita, barangkali kita sedang menyaksikan kenyataan bahwa otoritas pendidikan di tanah air sudah secara semena-mena dijadikan sansak saban kali anak-anak kita mengalami tragedi.

Saya sebut ”semena-mena” karena pada saat yang sama kita tidak pernah sekeras itu menggugat otoritas rumah tangga (keluarga!) kita sendiri. Otoritas pendidikan menjadi sasaran kambing hitam paling empuk dan manakala publik emoh mengarahkan telunjuk ke dada mereka sendiri. Jadi, siapa (lagi) gerangan yang harus disalahkan ketika anak-anak kita menjadi bromocorah? Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar