Elegi
Assaat
Muhidin M Dahlan ;
Kerani @warungarsip
|
KORAN
TEMPO, 18 Agustus 2014
Kehadiran Assaat dalam sejarah Republik Indonesia, sebagai (acting) Presiden RI, tak ubahnya seperti
elegi, kalau bukan tragedi. Pasalnya, sosok yang lahir di Agam, Sumatera
Barat, 18 September 1904, ini adalah "noktah semangka"
(PSI-Masjumi) yang tak boleh ada dalam sejarah kepresidenan RI.
Hitunglah, berapa jumlah presiden RI dari Agustus 1945 hingga
Oktober 2014. Maka jawaban umum adalah enam: Sukarno, Soeharto, B.J. Habibie,
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Sosok Assaat tak ada di sana.
Jika kita merujuk ke kronik Indonesia, setelah nota kesepakatan
Konferensi Meja Bundar (KMB) ditandatangani pada 27 Desember 1949, Assaat
ditunjuk sebagai Presiden Republik Indonesia yang berkedudukan di Jakarta,
menggantikan Sukarno yang dalam waktu bersamaan menjadi Presiden Republik
Indonesia Serikat (RIS).
Walau hanya menjabat hingga 15 Agustus 1950, Assaat adalah salah
satu patok penting ketika Indonesia sedang dalam pergolakan perang,
pertarungan diplomasi, dan pencarian bentuk negara. Assaat menjadi saksi
bagaimana Republik berada dalam simpang revolusi yang pelik menuju
liberalisme.
Setelah Presiden RIS Sukarno dilantik, sebagaimana kronik koran
Tanah Air edisi 19 Desember 1949 menuliskan, Assaat yang menjadi pejabat
Presiden RI segera mengambil tindakan pertama mengubah model parlemen menjadi
parlemen nasional, yang memberi tempat bagi kaum progresif.
RI, yang menjadi negara bagian dari RIS, adalah ejawantah bahwa
kronik sejarah RI yang lahir dari Revolusi Agustus 1945 tak terputus. Sebab,
RIS yang merupakan kemenangan terbaru dari Belanda di meja diplomasi itu
memiliki bentuk dan konstitusi sendiri yang berbeda dengan konstitusi RI 18
Agustus 1945. Beruntunglah ada Assaat. Rantai sejarah RI itu tetap tersambung
dalam kekuasaannya yang berumur sangat pendek, 9 bulan.
Namun revolusi memakan anaknya sendiri. Ketika Demokrasi
Terpimpin mulai dipraktekkan dan ketidakpuasan merebak di daerah, terutama di
Sumatera Barat, Assaat memilih masuk hutan. Ia bergabung dengan gerilyawan
PSI-Masjumi (hijau-merah, semangka) yang menamakan diri Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dan nama Assaat pun padam bersama
ditumpasnya gerakan ini dalam operasi militer yang sistematis dan masif.
Pergantian rezim dari Sukarno ke Soeharto menjadi momentum dan
kesempatan baru bagi Assaat. Ia muncul lagi untuk pertama kalinya ke publik
di hari penguburan sahabat politiknya, Sjahrir. Bersama Sjafruddin
Prawiranegara-sekondan politiknya di PRRI-Assaat berdiri di sisi kuburan
Sutan Sjahrir saat Hatta mengucapkan kata-kata pungkas sebagaimana dicatat
koran Pelopor Baru, 20 April 1966: "Sjahrir
berjuang untuk Indonesia merdeka, tetapi ia sakit dan meninggal dalam tahanan
Republik Indonesia jang merdeka ... bukankah itu suatu tragedi?"
Assaat-selain Sjahrir dan Sjafruddin-adalah nama di tapal
revolusi yang menjadi musuh politik dan dipenjarakan Sukarno sejak 1962
hingga 1966. Pergantian rezim tak jua memulihkan nasib Assaat. Sejarah yang
disusun Sukarno dan diwariskan hingga kini tak pernah lagi memberi tempat
bagi Assaat untuk dikenang dalam memori kepresidenan, lantaran keterlibatannya
dalam pemberontakan PRRI. Bahkan hingga diresmikannya Museum Presiden pada
Agustus 2014, Assaat tak pernah ada di sana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar