Merdeka
Rp 6,7 Triliun di Usia 155 Tahun
Dahlan Iskan ; Menteri BUMN
|
JAWA
POS, 18 Agustus 2014
MERDEKA! Makna kata itu menjadi sangat mendalam, khususnya
bagi PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Tahun ini BUMN itu benar-benar merdeka.
Terutama merdeka dari beban lamanya yang membuat perusahaan asuransi tersebut
praktis bangkrut: Rp 6,7 triliun.
Dengan kemerdekaannya itu, Jiwasraya tahun ini sudah kembali
menjadi perusahaan asuransi yang besar, sehat, dan kuat. Menjadi perusahaan
asuransi jiwa terbesar di Indonesia atau nomor empat terbesar untuk
keseluruhan bisnis asuransi.
Angka Rp 6,7 triliun itu tentu mengingatkan kita pada besarnya
persoalan yang menimpa Bank Century. Yang penyelesaiannya begitu
menghebohkan. Yang kasusnya melebar sampai persoalan hukum dan politik. Yang
memakan energi begitu besar. Yang ujungnya pun kita belum tahu di mana dan ke
mana.
Saya bersyukur bahwa direksi PT Asuransi Jiwasraya mampu
menyelesaikan sendiri beban itu. Bahkan dalam waktu yang amat singkat. Tanpa
heboh-heboh sedikit pun. Itulah bentuk penyelesaian masalah besar dengan
pemberitaan yang sangat kecil. Bahkan tanpa pemberitaan media sama sekali.
“Semula, saya pikir persoalan besar ini baru bisa diselesaikan
dalam waktu 17 tahun,” ujar Hendrisman Rahim, direktur utama PT Jiwasraya.
“Ternyata kami bisa menyelesaikannya,” ujar alumnus Jurusan Matematika FMIPA
Universitas Indonesia yang meraih master di bidang asuransi dari Ball State
University Indiana, AS, itu. Putra asli Palembang kelahiran 1955 tersebut
bekerja amat
keras. Hendrisman memang orang “asuransi murni”. Setelah lulus
dari UI, dia mendalami ilmu aktuaria di ITB. Masternyapun di bidang actuarial
science.
Tim direksi Jiwasraya juga sangat tabah. Direktur keuangannya,
Hary Prasetyo, sangat muda, cerdas, dan cermat. Alumnus Oregon dan Pittsburgh
University kelahiran Cimahi tahun 1970 itu seorang pekerja yang tekun.
Karirnya terus di bidang keuangan.
Lima tahun lalu Jiwasraya sebenarnya sudah harus dinyatakan
bangkrut. Kekayaannya jauh lebih kecil daripada kewajibannya kepada para
pemegang polis. Selisihnya mencapai Rp 6,7 triliun. Jiwasraya sangat
menderita. Bahkan secara teknis mestinya sudah bangkrut. Itu bermula dari
krisis moneter pada 1998. Yang membuat dunia perbankan dan keuangan, terutama
dunia asuransi,
kelimpungan. Semua bank mengalami hal yang sama. Hanya, bank
mendapat pertolongan pemerintah: di-bailout habis-habisan. Sedang asuransi
tidak.
Persoalan seperti yang dialami Jiwasraya hanya bisa diselesaikan
dengan dua cara: diberi tambahan modal oleh pemiliknya atau diberi fasilitas
seperti zero coupon bond. Intinya,
pemerintah harus menyuntikkan dana.
Tapi, untuk diberi penambahan modal pasti tidak. Kemampuan
keuangan negara terbatas. Apalagi, saya memang tidak mau ada penyertaan modal
negara (PMN) untuk menyehatkan BUMN. Program pemerintah untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat lebih penting dan layak didanai dibanding menambah modal
BUMN.
Menteri keuangan sebenarnya sudah memproses cara berikutnya:
memberikan fasilitas zero coupon bond. Tapi, tiba-tiba kasus Century meledak.
Program itu dibatalkan. Direksi Jiwasraya pun pusing. Harus cari jalan keluar
sendiri.
Padahal, perusahaan harus tetap berjalan. Nasib hampir 10.000
agennya harus dipikir. Demikian juga lebih dari 1.200 karyawannya.
Sejarahnya pun begitu panjang: 30 Desember nanti Jiwasraya
berumur 155 tahun. Masak harus meninggal dunia? Ia perusahaan asuransi tertua
di republik ini. Bahkan jauh lebih tua daripada republik kita sendiri.
Saya sungguh-sungguh salut kepada Pak Hendrisman dan tim
direksi Jiwasraya. Tidak putus asa. Pantang menyerah. Semangatnya tidak
kendur.
Direksi akhirnya menemukan jalan keluar yang cerdas dan tuntas.
Mereka memisahkan beban persoalan lamanya itu dengan kinerja operasionalnya.
Mereka harus bekerja keras di dua sisi sekaligus: mencari jalan
keluar atas beban Rp 6,7 triliun dan kinerja operasionalnya harus terus
membaik.
Kinerja yang terus membaik itulah yang utama. Dari hasil kinerja
yang baik itulah timbul kepercayaan dari semua pihak: pemegang polis,
pemegang saham, dunia reasuransi, OJK (Otoritas Jasa Keuangan), Ditjen Pajak,
dan seluruh pihak terkait. Hasil kerja keras itulah yang membuat siapa pun menaruh
kepercayaan kepada Jiwasraya. “Kepercayaan” itulah yang akhirnya “dijual”
atau “direasuransikan” kepada lembaga-lembaga asuransi internasional.
Ditjen Pajak pun percaya. Dengan kinerja yang terus membaik,
pajak yang akan dibayar Jiwasraya pun bisa terus membesar. Daripada Jiwasraya
dibiarkan bangkrut, yang tentu tidak akan bisa membayar pajak sama sekali.
Maka, Ditjen Pajak pun setuju Jiwasraya melakukan revaluasi
aset dengan fasilitas khusus. OJK juga terus membantu upaya penyehatan
Jiwasraya itu.
Gooool! Beres. Dalam waktu singkat Jiwasraya sudah akan bisa
membayar pajak melebihi fasilitas yang diberikan pada proses revaluasi itu.
Terima kasih Pak Hendrisman. Terima kasih Pak Hary Prasetyo.
Terima kasih direksi Jiwasraya. Terima kasih OJK. Terima kasih Ditjen Pajak.
Jiwasraya tahun ini benar-benar merasakan kemerdekaan. Merdeka!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar