Cerita
Rakyat dan Kearifan Moral
Anton Kurnia ;
Cerpenis
|
KORAN
TEMPO, 13 Agustus 2014
Istilah folklor berasal dari kata bahasa Inggris, folklore, yang
pertama kali dikemukakan oleh sejarawan William Thomas dalam sebuah tulisan
yang diterbitkan oleh London Journal pada 1846. Folklor meliputi legenda,
dongeng, cerita rakyat, dan kebiasaan yang menjadi tradisi dalam suatu budaya
atau kelompok.
Salah satu bentuk folklor adalah cerita rakyat. Dalam cerita
rakyat, waktu dan tempat tidak spesifik. Pelaku-pelakunya adalah manusia, dan
meskipun kejadiannya dianggap benar-benar terjadi, dapat mengandung kisah
supernatural atau keajaiban. Biasanya latar pada cerita rakyat dikaitkan
dengan sejarah dan asal mula suatu tempat atau situs bersejarah.
Baru-baru ini, linimasa Twitter dihebohkan oleh salah paham
tentang Roro Jonggrang, sebuah cerita rakyat dari Jawa Tengah. Itu bermula
dari pernyataan Taufiq Ridho, Sekjen Partai Keadilan Sejahtera, selaku
anggota tim sukses capres-cawapres Prabowo-Hatta, di Rumah Polonia, Jakarta,
pada 3 Agustus lalu, yang mengungkapkan bahwa pengumpulan data terkait dengan
pengaduan kubu mereka tentang "kecurangan" dalam pilpres ke
Mahkamah Konstitusi "tidak bisa
dilakukan seperti Roro Jonggrang membuat Tangkuban Perahu (hanya butuh waktu
semalam)".
Siapa yang tak aneh dengan pernyataan Taufiq tersebut?
Masalahnya, kisah Roro Jonggrang menceritakan seorang putri yang meminta
dibuatkan candi dan seratus patung oleh pangeran bernama Bandung Bondowoso
dalam waktu semalam sebagai syarat pernikahan, bukan membuat Tangkuban
Perahu. Candi itu kini dikenal sebagai Candi Prambanan.
Sementara itu, tokoh legenda yang membuat Tangkuban Perahu
adalah Sangkuriang dalam cerita rakyat Jawa Barat. Gunung itu tercipta akibat
perahu yang terbalik setelah ditendang Sangkuriang karena amat murka setelah
gagal memenuhi permintaan kekasihnya Dayang Sumbi untuk membuat perahu dan
telaga dalam waktu semalam sebagai syarat untuk menikahi perempuan yang
sesungguhnya adalah ibunya.
Ini bukan hanya membuktikan betapa para elite politik kita abai
terhadap kekayaan budaya sendiri, sehingga menyebut kisah yang amat populer
saja bisa menjadi rancu, tapi juga menunjukkan kepanikan dan ketidaksiapan
kubu Prabowo-Hatta dalam beperkara di MK.
Sesungguhnya, cerita rakyat adalah sumber kearifan moral yang
diturunkan oleh para leluhur kita dan disebarkan dari mulut ke mulut. Cerita
rakyat selalu mengandung pesan mulia. Dalam kisah Sangkuriang dan Roro
Jonggrang yang bermiripan, terdapat pesan moral yang sesungguhnya amat layak
diresapi oleh kubu Prabowo-Hatta yang masih saja belum mau menerima kekalahan
dari kubu Jokowi-JK dalam pemilihan presiden 2014.
Dalam kedua cerita rakyat di atas terdapat ajaran moral bahwa
kemarahan dan sikap membabi buta tidak akan dapat menyelesaikan persoalan dan
bahwa mengerjakan sesuatu secara terburu-buru cenderung akan berujung pada
kekacauan dan kegagalan.
Agar tak terjadi tragedi yang lebih memalukan, lebih baik
Prabowo Subianto dan timnya mawas diri dan bersikap legawa dengan menerima
hasil pilpres. Lagi pula, keinginan mulia untuk membangun bangsa tidak perlu
bergantung pada status sebagai presiden. Peran apa pun yang diambil di
masyarakat akan berguna bagi bangsa dan negara, jika itu dilakukan dengan
tulus dan penuh kesungguhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar