ISIS
Masalah Bagi Indonesia?
Romli Atmasasmita ; Guru Besar (Emeritus) Hukum Pidana Internasional Unpad
|
KORAN
SINDO, 07 Agustus 2014
ISLAMIC State of Iraq and
Syria (ISIS) dan virus Ebola bersamaan
berdatangan ke beberapa negara Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Bagi
Indonesia, isu ISIS tampak lebih menarik dari virus Ebola sampai Presiden SBY
ikut memberikan pernyataan di muka publik begitu pula Menkopolhukam.
Bagi rakyat kebanyakan tentu penghapusan subsidi BBM khusus
untuk premium dan solar lebih berarti daripada dua isu di tersebut karena
secara langsung menyangkut hajat hidup orang banyak. Pertanyaan yang sering
timbul ketika bangsa ini menghadapi isu eksternal adalah apa iya ISIS
merupakan masalah bagi Indonesia? Tentu bagi agen-agen intelijen yang tugas
pokoknya adalah melindungi kepentingan negara termasuk kamtibmas, ISIS lebih
menarik perhatian. Ada beberapa alasan.
Pertama, ada sekitar 56 warga negara Indonesia terlibat dalam
organisasi ISIS yang tidak jelas statusnya dalam hukum internasional
sekalipun sebagian wilayah Irak berada dalam kekuasaannya, bahkan organisasi
ini memperoleh keuntungan dari ekspor minyak —aneh tapi nyata? Kedua, ISIS
bukan negara dalam pengertian hukum internasional, bukan pula organisasi yang
diakui PBB, dan bukan pula kumpulan jihadis semata-mata, melainkan secara
terang-terangan sekumpulan orang-orang yang menentang Pemerintah Suriah dan
Irak yang sah dan diakui sebagai anggota PBB. Dua negara tersebut bahkan
tergabung dalam Organisasi Negara Islam Sedunia (OKI) bersama-sama Indonesia,
boleh dibilang negara sahabat Indonesia.
Pemerintah Indonesia tampaknya sangat peduli terhadap WNI yang
berada dan terlibat dalam perang di sana dan menurut berita sudah lima atau
enam orang warga negara Indonesia yang meninggal dalam peperangan tersebut.
Sampai sekarang jika tidak keliru, Dewan Keamanan PBB dan Counter Terrorism Branch UNODC belum
mengeluarkan pernyataan apa pun atau suatu Resolusi Dewan Keamanan (DK) yang
mengutuk ISIS.
Tentu posisi ini dengan berbagai pertimbangan salah satunya
mungkin ISIS belum identik dengan organisasi al-Qaeda, sedangkan organisasi
terakhir ini dan beberapa organisasi Islam di Indonesia, DK PBB telah
memasukkannya sebagai organisasi teroris internasional. Organisasi ISIS dalam
pendapat penulis adalah organisasi makar terhadap pemerintah yang sah, Irak
dan Suriah, karena dengan pernyataan dan bahkan mengangkat senjata telah
memerangi dua pemerintah tersebut. Jika benar demikian, kegiatan ISIS
termasuk kategori perbuatan makar apalagi jika pendiri ISIS di Indonesia
menyatakan di muka umum melalui media elektronik bahwa mereka tidak mengakui
Pemerintah Indonesia.
Perbuatan makar adalah tindak pidana menurut KUHP Indonesia dan
sudah pasti juga berlaku ketentuan yang sama baik di Irak dan Suriah karena
makar merupakan ketentuan yang bersifat universal. Jika KUHP Indonesia, 99%
adalah warisan Pemerintah Kolonial Belanda, ketentuan tersebut juga berlaku
di seluruh negara yang menganut sistem hukum civil law. Makar bahkan diterjemahkan dalam KUHP di negara lain
sebagai crime against the state.
Jika benar demikian adanya, makar di negara mana pun termasuk
makar di wilayah NKRI jika ada warga negara Indonesia yang melakukan makar di
negara lain sehingga yurisdiksi kriminal Indonesia berlaku terhadap mereka
sesuai Pasal 5 ayat (1) sub ke-2 KUHP Indonesia jo Pasal 2 KUHP dan dalam
hukum pidana internasional dikenal sebagai dual criminality principle.
Penegak hukum Indonesia dapat melakukan langkah penyidikan dan penuntutan
terhadap WNI tersebut di Indonesia berdasarkan pasal-pasal yang diatur dalam
Bab III Buku Kedua KUHP Indonesia tentang Kejahatan-Kejahatan terhadap Negara
Sahabat dan terhadap Kepala Negara Sahabat serta Wakilnya.
Pihak berwajib Irak atau Suriah memiliki yurisdiksi kriminal
terhadap 56 warga negara Indonesia dan jika tertangkap sesuai dengan
kewajiban negara dalam hukum internasional, Pemerintah Indonesia dapat
menyampaikan permintaan ekstradisi kepada Pemerintah Irak dan Suriah,
sekalipun tanpa perjanjian ekstradisi antara negara-negara tersebut dan
Indonesia sesuai Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.
Pemerintah Indonesia bisa juga membiarkan 56 warga negara Indonesia
seandainya tertangkap oleh pihak berwajib di dua negara tersebut untuk
diadili pengadilan setempat.
Sikap terakhir ini dapat terjadi jika jauh hari sebelumnya
Pemerintah Indonesia telah mencabut kewarganegaraan 56 WNI dengan dalih
pelanggaran terhadap UU Kewarganegaraan. Jika sikap terakhir yang digunakan
pemerintah Indonesia maka terhadap 56 orang Indonesia yang telah tidak
memiliki kewarganegaraan Indonesia –diperlakukan sama dengan orang asing–
dapat dikenakan tindakan-tindakan penangkalan sesuai ketentuan Pasal 13 UU RI
Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Dilihat dari sisi hukum Indonesia menghadapi ISIS dapat
digunakan cara preventif atau represif atau preemptif. Cara terakhir dengan
mendayagunakan UU RI Nomor 17 Tahun 2012 tentang Intelijen Negara khusus
Pasal 31 hingga Pasal 34 atau melalui media komunikasi baik jalur formal
dengan menggunakan UU Ormas atau UU Menyampaikan Pendapat di Muka Umum maupun
jalur informal.
Terkait tindakan represif, dapat digunakan UU ITE terhadap
orang-orang yang berpidato dan memberikan pernyataan yang merupakan ancaman
terhadap kepentingan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 UU
Intelijen Negara atau jika telah diperoleh bukti permulaan cukup telah
terjadi persiapan-persiapan untuk membantu kejahatan terhadap negara sahabat
dan terhadap kepala negara sahabat atau wakilnya, dapat diancam pidana
menurut Pasal 139 a hingga Pasal 145 KUHP. Selain aspek hukum preemptif,
preventif, dan represif tersebut, tidak kalah pentingnya adalah keputusan
politik Pemerintah Indonesia terhadap kemungkinan perkembangan organisasi
ISIS di wilayah NKRI.
Salah satu sikap
yang sepatutnya diambil adalah pemerintah mengeluarkan produk peraturan di
bawah UU dan menyatakan ISIS adalah organisasi terlarang di wilayah hukum
NKRI sehingga kebijakan politik yang wajib ditindaklanjuti dengan penegakan
hukum di dalam wilayah NKRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar