Bubur
Panas dan Pengendalian BBM
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 07 Agustus 2014
Anda pernah makan bubur di kawasan Cikini, Jakarta? Dulu,
menjelang tengah malam, kala pikiran jenuh dengan pekerjaan yang bertimbun,
sementara perut lapar minta diisi, dari Kampus Salemba saya sering mampir
makan bubur di daerah Cikini atau Hayam Wuruk-Kota.
Panasnya bubur bisa membuat perut kita hangat. Energi kita
serasa pulih dan kita bisa kembali bekerja hingga lewat tengah malam. Padahal,
namanya juga bubur, airnya lebih banyak dari berasnya. Tapi, makan bubur
panas tidak bisa dengan sekali serbu. Lidah bisa terbakar. Itu sebabnya saat
makan bubur, kita memulai dengan pinggirnya terlebih dahulu. Baru setelah
panasnya berkurang, kita mulai bergerak ke tengah. Strategi makan bubur panas
seperti ini menginspirasi banyak kalangan.
Contohnya, produsen sepatu merek lokal yang ingin menggarap
pasar di kota-kota besar. Meski begitu, mereka tidak langsung menyerbu
mal-mal di sejumlah kota. Kalau itu yang dilakukan, mereka akan langsung
berhadapan dengan para kompetitor yang lebih dulu hadir. Kompetitor pasti akan
melawan dan balik menekan mereka. Maka itu, si produsen sepatu lokal mulai
dengan menggarap pasar-pasar di daerah pinggiran terlebih dahulu. Setelah
solid, baru mereka perlahan-lahan bergerak ke tengah kota. Masuk ke mal-mal
dan pusat-pusat perbelanjaan.
Sepanjang musim libur Lebaran kemarin, ketika berjalan ke
beberapa mal yang ada di Jakarta, saya lihat produk sepatu tersebut dijajakan
di mal-mal. Kelihatannya produk sepatu tersebut diterima pasar. Itulah berkah
dari strategi makan bubur panas. Strategi serupa diterapkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Misalnya, sebelum menjerat salah satu tokoh
puncak suatu partai yang terlibat perkara korupsi, KPK mulai dengan menahan
beberapa bawahannya. Akhirnya setelah cukup bukti, KPK pun menahan sang tokoh
tersebut.
Teman-teman di KPK menyebutnya sebagai ”strategi membakar obat
nyamuk.” Agak mirip dengan makan bubur, obat nyamuk selalu terbakar dari
bagian luar, perlahan-lahan (kalau tidak basah) akhirnya sampai pada
kepalanya. Langkah KPK menuai pujian. Semula banyak kalangan menilai KPK
takut dan menerapkan strategi tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Sejak
itu anggapan tersebut langsung gugur.
Pengendalian BBM
Awal Agustus 2014 pemerintah menerapkan kebijakan pengendalian
konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Saya agak ragu dengan efektivitas dari
kebijakan ini. Bangsa kita senang berburu barang murah. Jadi, kalau di
Jakarta Pusat tak ada solar bersubsidi, mereka tak akan segan-segan mencari
ke tempat lain. Meski begitu, bagi saya, pengendalian BBM ini sebuah langkah
yang maju. Setidak-tidaknya kita mau lebih berdisiplin. Dulu kalau kuota
konsumsi BBM terlampaui, kita tenang- tenang saja. Kini tidak. Kita mulai tak
ingin kuota terlampaui. Saya berharap langkah pengendalian konsumsi BBM kali
ini akan menjadi contoh lain dari strategi makan bubur panas.
Pengendalian adalah bagian pinggiran bubur. Jika langkah ini
tidak memicu aksi penolakan yang masif, saya berharap pemerintah berani
bergerak ke tengah yakni berani menaikkan harga BBM. Buat saya, subsidi BBM
jelas subsidi salah sasaran. Mayoritas penikmatnya justru mereka yang tidak
berhak untuk memperoleh subsidi. Menurut survei Bank Dunia pada 2012, para
pemilik mobil mengonsumsi BBM bersubsidi 10 kali lipat lebih banyak dari
pemilik sepeda motor. Satu unit mobil per minggu bisa menghabiskan 50 liter
BBM bersubsidi, sementara sepeda motor hanya lima liter. Apalagi kini ada
banyak LCGC yang harganya hanya Rp90 jutaan.
Penumpang kereta api saja sudah mulai beralih ke mobil pribadi,
membuat lalu lintas mudik memanjang 2,5 kali dari lama perjalanan biasa.
Bagaimana tahun depan? Mungkin yang tahun ini bisa ditempuh 12 jam akan
menjadi 25 jam dan seterusnya. Saat ini selisih harga BBM bersubsidi dengan
nonsubsidi bisa mencapai Rp4.500. Dengan selisih tersebut, para pemilik mobil
menikmati subsidi Rp11,7 juta per tahun, sementara pemilik sepeda motor hanya
Rp1,17 juta. Bagaimana dengan yang tidak memiliki mobil atau sepeda motor?
Mereka sama sekali tidak menikmati subsidi. Padahal, mereka
inilah sebetulnya yang paling berhak menerima subsidi. Adanya BBM bersubsidi
juga membuat kita boros. Di banyak kompleks perumahan tidak sedikit warganya
mengendarai mobil hanya untuk pergi ke minimarket yang jaraknya mungkin tak
sampai 1 kilometer, bukan berjalan kaki yang lebih sehat.
Di jalan raya kita lihat mobil dengan kapasitas delapan kursi
hanya terisi satu-dua orang. Selebihnya kosong. Juga saat parkir, sebagian
kita karena tak tahan panas, memilih menghidupkan mobil dan AC-nya. Lalu,
karena ngantuk , kita tertidur dan baru terbangun satu-dua jam kemudian.
Masih banyak perilaku boros energi lain yang dipicu murahnya harga BBM.
Mungkin kalau harga BBM dua-tiga kali lebih mahal, perilaku semacam itu bisa
kita tekan.
Opportunity Cost
Bagi saya, kenaikan harga BBM bukan hanya soal APBN. Ini soal
keberanian kita untuk berubah. Kondisi sudah berubah, tetapi kita belum mau
berubah. Ini celaka. Pada masa jayanya kita mampu memproduksi minyak mentah
hingga 1,6 juta barel per hari (bph), sementara tingkat konsumsinya baru
berkisar 400.000-500.000 bph. Kini volume produksi kita tinggal separuhnya,
sekitar 800.000-an bph, sementara tingkat konsumsi kita sudah mencapai 1,4
juta bph.
Kondisi sudah berubah, tapi perilaku kita masih belum berubah baik
di tataran individual maupun kolektif. Perilaku masyarakat yang boros BBM itu
seakan mendapat ”dukungan penuh” dari pemerintah dengan menyediakan BBM
bersubsidi. Dalam ilmu ekonomi kita mengenal konsep opportunity cost.
Artinya, ada peluang yang hilang karena kita memilih untuk mengalokasikan
sumber daya ke suatu pilihan tertentu. Dalam konteks ini misalnya selama 2013
kita memilih mengalokasikan Rp193,8 triliun untuk subsidi BBM. Apa peluang
yang hilang akibat keputusan itu?
Dengan biaya sebesar itu, sebetulnya kita bisa membangun ribuan tower rumah susun untuk rakyat,
jalan-jalan, dan pelabuhan di pulau terpencil, sekolah TK untuk rakyat yang
berkualitas, menyelesaikan pembangunan monorel yang kini terbengkalai, dan
seterusnya. Menurut kajian, total panjang monorel dari Bekasi-Jakarta dan
Cibubur-Jakarta mencapai 43,56 kilometer.
Jika biaya pembangunan monorel USD20 juta per kilometer, total
dana untuk membangun monorel sepanjang itu mencapai USD871,2 juta atau setara
Rp8,45 triliun. Ini tak sampai 5% dari total dana untuk subsidi BBM pada
2013. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar