Rabu, 13 Agustus 2014

Israel Gali Liang Kubur

                                           Israel Gali Liang Kubur

Chusnan Maghribi  ;   Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
SUARA MERDEKA, 12 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

AKHIRNYA gencatan senjata 72 jam atas prakarsa Mesir antara kelompokkelompok perlawanan di Jalur Gaza (Hamas dan Jihad Islami) dan militer Israel, berakhir (8/8/14). Namun berakhirnya gencatan senjata sementara itu langsung dimanfaatkan oleh Israel untuk kembali menggempur Gaza. Hal itu akibat tiadanya langkah maju dalam perundingan tak langsung (diperantarai Mesir) antara delegasi Hamas dan Jihad Islami di satu pihak dan Israel di Kairo di pihak lain, guna mencapai persetujuan gencatan senjata secara permanen. Perunding Hamas dan Jihad Islami terdiri atas Emad Al-Alami, Khalil Al-Hayya, dan Khaled Al-Batsh.

Adapun negosiator Israel terdiri atas Kepala Keamanan Dalam Negeri (Shin Bet) Yora Cohen, Perwira Tinggi Kemenhan Amos Gilad, dan Yitzhak Molco (utusan khusus PM Benjamin Netanyahu). Mereka terlibat tarik-menarik alot mengenai isu-isu kunci, di antaranya tiga tuntutan penting Hamas dan Jihad Islami (pembukaan permanen beberapa pintu gerbang Gaza-Israel, peringanan blokade finansial Israel atas Gaza, dan perluasan areal penangkapan ikan bagi nelayan Palestina), dan satu tuntutan Israel, yaitu perlucutan seluruh senjata Hamas dan Jihad Islami. Israel mau memenuhi tiga tuntutan Hamas dan Jihad Islami asalkan mereka itu bersedia dilucuti seluruh persenjataannya, termasuk berbagai jenis roket. Lantas, apakah gempuran baru Israel akan berhasil melumpuhkan Hamas dan Jihad Islami di Gaza? Tak ada jaminan militer Negeri Zionis itu sanggup melumpuhkan Hamas dan Jihad Islami, betapa pun militer Israel menggunakan peranti perang super canggih.

Pengalaman masa lalu memperlihatkan, perlawanan intifada yang melibatkan kalangan pria remaja dan dewasa Palestina di Gaza ataupun Tepi Barat yang hanya bersenjatakan ketapel dan batu-batu kecil tak mampu dilumpuhkan militer Israel. Padahal pasukan Israel dipersenjatai senapan dan tank tempur modern. Perlawanan intifada yang pecah pada Desember 1987 jadi embrio kelahiran sejumlah kelompok perlawanan bersenjata, termasuk Hamas dan Jihad Islami yang kini menjadi kelompok inti perlawanan bersenjata Palestina di Gaza khususnya. Bahkan seiring perjalanan waktu, Hamas dan Jihad Islami terus berkembang, baik dari segi keangggotaan maupun daya juang dan kekuatan tempurnya. Terlebih Hamas, kelompok perlawanan itu bukan saja mampu berkembang melainkan juga populer. Kita bisa melihat, dalam pemilu pertama pada Januari 2006 mereka mampu mengalahkan Fatah yang jauh lebih senior.

Tampilnya Hamas sebagai pemenang dan berhak membentuk pemerintahan, tidak dikehendaki Israel dan Amerika Serikat (AS). Dua negara ini menerapkan politik adu domba hingga pecah perang saudara antara Hamas dan Fatah pada pertengahan 2007. Kedua kekuatan ini terpecah secara fisik dan administratif. Hamas mengontrol sepenuhnya Gaza, sedangkan Fatah menguasai Tepi Barat. Keduanya baru berhasil berekonsiliasi pada April 2014 dan membentuk Pemerintahan Palestina Bersatu sampai penyelenggaraan pemilu baru 6 bulan ke depan. Kuat dan Taktis Dalam waktu enam tahun terakhir Israel tiga kali mengagresi Gaza dengan tujuan melumpuhkan kelompok-kelompok perlawanan bersenjata, terutama Hamas. Agresi Desember 2008-Januari 2009 dengan sandi Cast Lead menewaskan tak kurang dari 1.500 warga Gaza, berakhir dengan gencatan senjata; agresi 8 hari pada November 2012 dengan sandi Pillar of Defence menewaskan sedikitnya 130 orang, juga berakhir dengan gencatan senjata; agresi yang dimulai 8 Juli 2014 sampai sekarang masih berlangsung. Dari dua agresi terdahulu militer Israel gagal melumpuhkan kekuatan Hamas dan Jihad Islam. Alih-alih lumpuh, keduanya malah makin kuat dan taktis dalam menghadapi agresi militer Negeri Yahudi.

Buktinya, walaupun Israel menerapkan sistem pertahanan Iron Dome, ternyata tidak sedikit rudal Al-Qossam yang ditembakkan ke Israel gagal dihancurkan di udara dan kemudian bisa mencapai sasaran. Bahkan salah satu rudal Al-Qossam berdaya jangkau jauh mampu menembus wilayah ujung utara Israel: tercatat 177 km dari basis luncur di Gaza. Di luar itu, kerugian Israel cukup signifikaan. Selain belasan tank tempur yang digunakan menyerbu daratan Gaza hancur dan sedikitnya 67 tentara tewas, juga beberapa tempat yang terkena hantaman Al-Qossam di Israel rusak. Kerugian tersebut lebih besar dibanding kerugian pada agresi 2008-2009 dan 2012. Andai pemerintah Israel ngotot tidak mau memberi konsesi dengan memenuhi tiga tuntutan Hamas dan Jihad Islami tadi, dan di sisi lain terus melancarkan gempuran terhadap Gaza, niscaya keputusan tersebut sama saja Israel menggali liang kubur. Makin nekat militer Israel mengagresi Gaza akan makin banyak kerugian material dan nonmaterial bagi Negeri Yahudi itu. Pasalnya, agresi tersebut pasti mendapat perlawanan sengit dan habis-habisan dari Hamas dan Jihad Islami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar