Israel
Gali Liang Kubur
Chusnan Maghribi ;
Alumnus Hubungan
Internasional FISIP
Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
|
SUARA
MERDEKA, 12 Agustus 2014
AKHIRNYA gencatan senjata 72 jam atas prakarsa Mesir antara
kelompokkelompok perlawanan di Jalur Gaza (Hamas dan Jihad Islami) dan
militer Israel, berakhir (8/8/14). Namun berakhirnya gencatan senjata
sementara itu langsung dimanfaatkan oleh Israel untuk kembali menggempur Gaza.
Hal itu akibat tiadanya langkah maju dalam perundingan tak langsung
(diperantarai Mesir) antara delegasi Hamas dan Jihad Islami di satu pihak dan
Israel di Kairo di pihak lain, guna mencapai persetujuan gencatan senjata
secara permanen. Perunding Hamas dan Jihad Islami terdiri atas Emad Al-Alami,
Khalil Al-Hayya, dan Khaled Al-Batsh.
Adapun negosiator Israel terdiri atas Kepala Keamanan Dalam
Negeri (Shin Bet) Yora Cohen, Perwira Tinggi Kemenhan Amos Gilad, dan Yitzhak
Molco (utusan khusus PM Benjamin Netanyahu). Mereka terlibat tarik-menarik
alot mengenai isu-isu kunci, di antaranya tiga tuntutan penting Hamas dan
Jihad Islami (pembukaan permanen beberapa pintu gerbang Gaza-Israel,
peringanan blokade finansial Israel atas Gaza, dan perluasan areal penangkapan
ikan bagi nelayan Palestina), dan satu tuntutan Israel, yaitu perlucutan
seluruh senjata Hamas dan Jihad Islami. Israel mau memenuhi tiga tuntutan
Hamas dan Jihad Islami asalkan mereka itu bersedia dilucuti seluruh
persenjataannya, termasuk berbagai jenis roket. Lantas, apakah gempuran baru
Israel akan berhasil melumpuhkan Hamas dan Jihad Islami di Gaza? Tak ada
jaminan militer Negeri Zionis itu sanggup melumpuhkan Hamas dan Jihad Islami,
betapa pun militer Israel menggunakan peranti perang super canggih.
Pengalaman masa lalu memperlihatkan, perlawanan intifada yang
melibatkan kalangan pria remaja dan dewasa Palestina di Gaza ataupun Tepi
Barat yang hanya bersenjatakan ketapel dan batu-batu kecil tak mampu
dilumpuhkan militer Israel. Padahal pasukan Israel dipersenjatai senapan dan
tank tempur modern. Perlawanan intifada yang pecah pada Desember 1987 jadi
embrio kelahiran sejumlah kelompok perlawanan bersenjata, termasuk Hamas dan
Jihad Islami yang kini menjadi kelompok inti perlawanan bersenjata Palestina
di Gaza khususnya. Bahkan seiring perjalanan waktu, Hamas dan Jihad Islami
terus berkembang, baik dari segi keangggotaan maupun daya juang dan kekuatan
tempurnya. Terlebih Hamas, kelompok perlawanan itu bukan saja mampu
berkembang melainkan juga populer. Kita bisa melihat, dalam pemilu pertama
pada Januari 2006 mereka mampu mengalahkan Fatah yang jauh lebih senior.
Tampilnya Hamas sebagai pemenang dan berhak membentuk
pemerintahan, tidak dikehendaki Israel dan Amerika Serikat (AS). Dua negara
ini menerapkan politik adu domba hingga pecah perang saudara antara Hamas dan
Fatah pada pertengahan 2007. Kedua kekuatan ini terpecah secara fisik dan
administratif. Hamas mengontrol sepenuhnya Gaza, sedangkan Fatah menguasai
Tepi Barat. Keduanya baru berhasil berekonsiliasi pada April 2014 dan
membentuk Pemerintahan Palestina Bersatu sampai penyelenggaraan pemilu baru 6
bulan ke depan. Kuat dan Taktis Dalam waktu enam tahun terakhir Israel tiga
kali mengagresi Gaza dengan tujuan melumpuhkan kelompok-kelompok perlawanan
bersenjata, terutama Hamas. Agresi Desember 2008-Januari 2009 dengan sandi
Cast Lead menewaskan tak kurang dari 1.500 warga Gaza, berakhir dengan
gencatan senjata; agresi 8 hari pada November 2012 dengan sandi Pillar of Defence menewaskan sedikitnya
130 orang, juga berakhir dengan gencatan senjata; agresi yang dimulai 8 Juli
2014 sampai sekarang masih berlangsung. Dari dua agresi terdahulu militer
Israel gagal melumpuhkan kekuatan Hamas dan Jihad Islam. Alih-alih lumpuh,
keduanya malah makin kuat dan taktis dalam menghadapi agresi militer Negeri
Yahudi.
Buktinya, walaupun Israel menerapkan sistem pertahanan Iron
Dome, ternyata tidak sedikit rudal Al-Qossam yang ditembakkan ke Israel gagal
dihancurkan di udara dan kemudian bisa mencapai sasaran. Bahkan salah satu
rudal Al-Qossam berdaya jangkau jauh mampu menembus wilayah ujung utara
Israel: tercatat 177 km dari basis luncur di Gaza. Di luar itu, kerugian
Israel cukup signifikaan. Selain belasan tank tempur yang digunakan menyerbu
daratan Gaza hancur dan sedikitnya 67 tentara tewas, juga beberapa tempat
yang terkena hantaman Al-Qossam di Israel rusak. Kerugian tersebut lebih
besar dibanding kerugian pada agresi 2008-2009 dan 2012. Andai pemerintah
Israel ngotot tidak mau memberi konsesi dengan memenuhi tiga tuntutan Hamas
dan Jihad Islami tadi, dan di sisi lain terus melancarkan gempuran terhadap
Gaza, niscaya keputusan tersebut sama saja Israel menggali liang kubur. Makin
nekat militer Israel mengagresi Gaza akan makin banyak kerugian material dan
nonmaterial bagi Negeri Yahudi itu. Pasalnya, agresi tersebut pasti mendapat
perlawanan sengit dan habis-habisan dari Hamas dan Jihad Islami. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar