Di
Ujung Teror dan Harapan
Imam Cahyono ; Aktivis Muda Muhammadiyah;
Peneliti Senior Maarif Institute for Culture and Humanity
|
KOMPAS,
09 Agustus 2014
PADA pengujung abad ke-18, Paris bergolak menjelang Revolusi
Perancis. Kesengsaraan memicu kebangkitan rakyat melawan kekejaman dan
keserakahan kaum aristokrat yang berkuasa. Revolusi tak saja jadi tonggak
perubahan di negeri itu, tetapi juga menjadi harapan baru yang menggentarkan
dunia. Kekacauan ekonomi dan politik diikuti lahirnya era industri. Kala itu,
London dan Paris menghadapi masa kebijaksanaan, sekaligus masa kebodohan.
Zaman iman, juga zaman keraguan. Musim terang, sekaligus musim kegelapan.
Apakah suasana batin masa itu persis dengan masa sekarang?
Perebutan makna
Pemilu 2014 menyisakan kerisauan sekaligus harapan: akankah
tarian demokrasi membawa transformasi Indonesia baru ke depan? Pemilu
menunjukkan kematangan politik atau sebaliknya, (meminjam istilah Buya Syafii
Maarif) makin rendahnya peradaban politik kita?
Sejak 1945, Indonesia bergumul dengan revolusi, demokrasi
parlementer, pemberontakan di daerah, demokrasi terpimpin, pembunuhan massal,
otoritarianisme, hingga reformasi. Pilpres 2014 yang diikuti dua kontestan,
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, berlangsung sangat
antusias, ketat, panas, dan emosional.
Kerasnya persaingan membuat masyarakat terbelah.
Suasana hati publik campur aduk, antara cemas dan geram.
Desas-desus dan provokasi tak kunjung berhenti. Panasnya suhu politik di
tingkat elite membuat akar rumput rentan gesekan yang berpotensi mengundang
konflik horizontal. Padahal, kontras
dengan gegap gempita klaim kemenangan kedua kubu, masyarakat bawah hanya
berharap hidup damai dan lebih sejahtera.
Pemilu pun jadi teror. Penggalangan opini melalui media massa
dan sosial menjadi teror informasi dan ancaman simbolik berlangsung secara
halus. Perang opini dan provokasi tak terelakkan. Intimidasi dan kekerasan
fisik pun tak terbantahkan.
Namun, pemilu juga menyemai harapan. Pilpres mengintimidasi warga bergulat
dengan pilihan-pilihan nyata secara rasional, bukan kesadaran palsu. Secara
positif, teror atas kesadaran mengetuk hati sekaligus menggugah harapan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Isu
nasionalisme, kemandirian, dan kemakmuran mencambuk kesadaran kolektif
keindonesiaan kita.
Perang opini pada akhirnya memperebutkan makna. Politik yang bermakna, menyitir Geertz
(1972), tak lain the struggle for the
real, pergulatan warga mengekspresikan hak politik secara
terlembaga. Politik bukan semata
kudeta atau konstitusi, tetapi salah satu arena utama struktur institusi
publik yang terbuka. Dalam beberapa hal, keputusan kritis tentang arah
kehidupan publik tidak dibuat di parlemen atau pemerintah, tetapi digerakkan
oleh kesadaran kolektif warga.
Politik pembangunan
Demokrasi bukan sekadar ritual mencoblos di bilik suara. Ia mesti berakar pada gagasan dan tujuan
final, yakni kebebasan warga mendapat kehidupan lebih baik. Bagaimana
pemerintah melindungi warga sehingga mereka tidak khawatir dalam memenuhi
kebutuhan menjadi substansinya. Ini
tak lepas dari bagaimana demokrasi dilihat dari prosedur, proses, dan
struktur hingga hasil capaian serta implikasinya.
Kita tahu, ideologi parpol sering kali tidak nyambung dengan
kebijakan partai. Tradisi berpartai lebih didasarkan pada ambisi personal,
bukan sistem. Yang terjadi bukan pertarungan ideologi dan kebijakan, tetapi
ego individu dan kelompok. Budaya politik dalam konteks bernegara harus
dibangun, bukan berpolitik sebagai gaya hidup, bukan pula kultus pemujaan.
Politik pembangunan tak lepas dari strategi bangsa dalam
mewujudkan cita-cita dan program pembangunan yang ditempuh. Sejauh ini,
kesinambungan politik pembangunan belum terlembaga. Parlemen memiliki fungsi
penganggaran, legislasi, dan pengawasan. Namun, parpol yang mengisi parlemen
tak punya platform, kebijakan, dan akuntabilitas yang jelas sekaligus
konsisten. Harus diakui ada sejumlah
wakil rakyat yang kritis dan progresif, tetapi sifatnya individual.
Politik pembangunan bukan hanya milik pemerintah. Parpol dituntut punya kapasitas
merealisasikan platform dalam bentuk kebijakan sebagai akuntabilitas kepada
konstituen. Selain mengapresiasi
partisipasi publik, siapa pun presiden dan parpol yang berkuasa wajib menjaga
visi misi dan realisasinya tanpa harus menumpas capaian periode sebelumnya.
Parpol di luar pemerintahan mesti setia dengan fungsi kontrol dan seimbang,
bukan jadi oposisi semu.
Pemilu menjanjikan perubahan menggiurkan kendati sering kali tak
seindah kenyataan. Semoga wakil rakyat dan presiden terpilih bukan hanya
penanda siklus pergantian rezim, tetapi memegang komitmen mewujudkan damai
dalam kebersamaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Semoga presiden
terpilih membawa Indonesia baru berkemajuan.
Saat ini adalah waktu terbaik, bukan terburuk. Saat ini musim semi
pengharapan, bukan musim dingin keputusasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar