Kabinet
dan Koalisi yang Efektif
Djayadi Hanan ; Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina; Direktur Riset SMRC
|
KOMPAS,
09 Agustus 2014
SETELAH hasil pemilu
presiden diumumkan KPU, tantangan pertama yang segera dihadapi presiden dan
wakil presiden terpilih adalah menyeimbangkan profesionalisme kabinet dengan
akomodasi politik untuk memperkuat koalisi.
Di satu sisi, Jokowi-JK sebagai presiden-wakil presiden terpilih
berjanji membangun pemerintahan efektif berbasis profesional. Di sisi lain,
keduanya perlu dukungan politik yang memadai di DPR agar agenda pemerintahan
mendapat dukungan cukup di lembaga legislatif. Koalisi tidak dapat dihindari
karena sistem kepartaian di DPR yang terbangun dari hasil pemilu legislatif
April lalu adalah sistem multipartai yang terfragmentasi.
Langkah-langkah awal dari keduanya sangat penting secara
simbolik ataupun substantif. Apabila langkah keduanya terkesan lebih
mendahulukan akomodasi kepentingan politik partai, rakyat akan menganggap
keduanya sama saja dengan pemimpin pemerintahan sebelumnya: business as
usual. Secara substantif, langkah-langkah keduanya akan sangat menentukan
apakah pemerintahan lima tahun mendatang akan ditandai pemerintahan yang
efektif dan hubungan legislatif-eksekutif yang produktif atau tidak.
Kabinet dan koalisi
Sejumlah langkah awal yang dapat segera dilakukan keduanya
haruslah berbasis strategi memadukan kewenangan konstitusional yang tersedia
dengan keterampilan politik dalam membangun dukungan DPR. Ada tujuh langkah
atau strategi yang dapat direkomendasikan.
Pertama, presiden menambah kekuatan koalisinya dengan menarik
Partai Demokrat atau PAN, dan PPP. Golkar dapat diajak bergabung belakangan
karena kalau diajak sekarang akan sulit berhadapan dengan permintaan konsesi
politik yang besar mengingat partai ini adalah partai kedua terbesar di DPR.
Koalisi Jokowi-JK harus mencapai 50 persen lebih sebelum Golkar bergabung.
Jadi sejak awal sudah terbangun minimum
winning coalition yang oleh kita di Indonesia lebih dikenal sebagai
koalisi ramping.
Kedua, presiden harus menetapkan prioritas utama agenda
pemerintahannya terlebih dahulu. Misalnya, prioritas pada pembangunan
infrastruktur, reformasi sistem pendidikan, dan penyediaan layanan kesehatan
untuk semua. Prioritas tersebut lalu diterjemahkan jadi pos-pos kementerian.
Pos-pos kementerian yang terkait langsung dengan agenda utama pemerintahan
harus ”langsung” di bawah kendali presiden/wapres, jangan diserahkan kepada
menteri dari partai politik.
Ketiga, menteri-menteri tertentu, terutama perekonomian, jangan
diserahkan kepada menteri dari partai politik. Kementerian Keuangan, BUMN,
dan Bappenas harus dipegang oleh menteri dari kalangan non-partai politik.
Keempat, presiden menetapkan proporsi menteri non-partai politik
lebih banyak dibandingkan dengan proporsi menteri yang berasal dari partai
politik. Proporsi yang bisa ditetapkan misalnya 60 persen untuk non-partai
politik dan 40 persen untuk partai politik. Proporsi 40 persen inilah yang
dibicarakan dengan partai-partai politik pendukung koalisi, berapa pun
banyaknya partai tersebut.
Kelima, presiden dan wakil presiden harus menetapkan kriteria
untuk menjadi menteri. Semua menteri, baik dari kalangan non-partai politik maupun
dari kalangan partai politik, harus diseleksi menggunakan kriteria yang sama.
Kriteria menteri yang dapat dipakai misalnya mau bekerja, berani dan terbukti
hidup sederhana, serta memiliki kompetensi dan pengalaman profesional di
bidang yang akan dia tempati.
Presiden terpilih dapat membentuk tim khusus untuk menetapkan
kriteria ini selama masa transisi, mulai sekarang hingga Oktober mendatang
menjelang pelantikan. Presiden terpilih dapat juga menggunakan model evaluasi
yang telah dibuat oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian
Pembangunan (UKP4) yang sudah ada pada era SBY sebagai basis awal, lalu
dipadukan dengan kebutuhan pemerintahan ke depan.
Keenam, presiden dan wakil presiden terpilih sejak awal
menyiapkan strategi agar distribusi pimpinan DPR dan alat kelengkapannya
(komisi-komisi dan alat kelengkapan lainnya) lebih banyak berasal dari
koalisi. Keterampilan politik dari tim presiden/koalisi sangat menentukan
apakah langkah ini dapat tercapai atau tidak.
Ketujuh, presiden menyiapkan tim negosiasi politik untuk
memastikan tersedianya dukungan terus-menerus dari DPR dan partai-partai
politik, terutama anggota koalisi. Tim ini juga selalu mendekati
anggota-anggota DPR lainnya (non-koalisi) berdasarkan isu-isu kebijakan yang berkembang.
Wakil presiden dapat difungsikan untuk memimpin tim ini dan berperan sebagai chief negotiator/political dealer
untuk berhadapan dengan DPR dan partai-partai politik.
Strategi ”going public”
Tidak ada jaminan bahwa agenda-agenda pemerintahan lima tahun
mendatang akan berjalan mulus walaupun ketujuh langkah di atas sudah
dilaksanakan semua. Karena itu, presiden harus menggunakan kekuatan utama
yang menopang dan memilihnya sebagai presiden. Kekuatan tersebut adalah
kekuatan rakyat atau publik. Presiden harus menggunakan kekuatan publik ini
sebagai senjata ampuh, kadang pamungkas, kalau menghadapi jalan buntu ketika
berhadapan dengan DPR dan atau partai-partai politik.
Presiden harus menyiapkan model untuk memastikan dukungan rakyat
secara terus-menerus untuk mengimbangi tekanan politik dari DPR dan menambah
daya dorong agenda-agenda pemerintahan. Strategi ini dalam kepustakaan
tentang lembaga kepresidenan dalam sistem presidensial dikenal sebagai
strategi ”going public”, mengadu
kepada dan meminta dukungan publik.
Perlu disiapkan model ”blusukan nasional”. Jokowi memiliki
keahlian di bidang ini. SBY, selama masa pemerintahannya, sebenarnya juga
mencoba menggunakan strategi ini, tetapi kurang berhasil. Mungkin karena
dianggap pencitraan semata. Mengingat rekam jejaknya selama ini, apabila
Jokowi yang melakukan, seharusnya akan lebih diterima positif oleh rakyat
karena lebih otentik. Kebijakan-kebijakan presiden, baik yang diajukan ke DPR
maupun yang sedang dilaksanakan, harus terus-menerus didukung (back up) dengan dukungan pendapat
publik. Lembaga-lembaga survei dan media dapat diajak untuk membantu presiden
mewujudkan hal ini.
Ketujuh langkah tersebut, ditambah dengan strategi ”going public”, mensyaratkan satu hal:
presiden harus benar-benar leading the
way, mengambil posisi memimpin, baik dari depan maupun dari belakang.
Dengan demikian, akan tercipta pemerintahan yang efektif, sekaligus koalisi
yang berdaya guna. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar