Jangan
Lupakan Masa Lalu
M Ridha Saleh ; Wakil Ketua Komnas HAM Periode 2007-2012;
Aktivis HAM dan Lingkungan Hidup
|
KOMPAS,
09 Agustus 2014
MEKANISME keadilan transisi pada periode perubahan setelah rezim
Orde Baru tumbang, diawali dengan perubahan drastis yang penuh harapan bagi
semua komponen demokrasi—khususnya korban pelanggaran HAM masa lalu—untuk
mendapatkan keadilan melalui suatu sistem dan pertanggungjawaban yang efektif.
Namun, perubahan ini beralih menjadi periode penuh kompromi sebelum akhirnya
mandek sama sekali. Padahal, pada periode awal Reformasi, agenda transisi
demokratik telah memunculkan serangkaian rencana kebijakan dan agenda
penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu, baik kebijakan
strategis jangka panjang maupun rencana teknis jangka pendek.
Harapan ini seakan terulang kembali setelah Joko Widodo-Jusuf
Kalla diumumkan sebagai presiden-wakil presiden terpilih untuk memimpin
bangsa ini lima tahun ke depan. Walaupun situasinya tidak sedramatis dari
Orde Baru ke Reformasi, paling tidak secara substansial harapan
masyarakat—khususnya korban pelanggaran HAM masa lalu—terhadap kepemimpinan
baru ini tumbuh kembali.
Kebijakan transisi
Kebijakan strategis pada masa transisi reformasi, di antaranya
TAP MPR No V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional,
yang menjadikan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu sebagai salah satu
tugas penting bangsa ini, dengan memandatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR).
Pada 2000, terbentuk Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM. Hal ini memungkinkan proses akuntabilitas hukum bagi kasus
pelanggaran HAM yang berat, baik yang terjadi setelah lahirnya UU tersebut
maupun yang terjadi pada masa lalu (sebelum tahun 2000). Selain itu, UU itu
juga memungkinkan penyelesaian melalui mekanisme nonyudisial, yakni melalui
KKR.
Pembentukan KKR melalui UU No 27/2004 tentang KKR terhambat
dengan dibatalkannya UU tersebut oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. Meski
demikian, bukan berarti penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu batal
dilakukan.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi merekomendasikan
pembentukan kembali kebijakan hukum (UU) yang selaras dengan UUD 1945 dan
hukum HAM internasional, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan
politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti. Sayangnya, upaya pembentukan
UU baru tentang KKR, yang diinisiasi sejak 2007, hingga kini belum juga
hadir.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sering menyatakan pentingnya
penghormatan, pemajuan, dan perlindungan HAM dalam penyelenggaraan negara,
termasuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Kenyataannya, selama
pemerintahan Yudhoyono (sejak 2004), belum tampak komitmen yang sungguh-sungguh
untuk menyelesaikan beragam persoalan masa lalu, baik dalam konteks penegakan
hukum melalui pengadilan HAM ad hoc
maupun membentuk kebijakan yang dapat menjadi instrumen dan mekanisme bagi
upaya penyelesaian.
Dalam hal penegakan hukum, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) telah menyelesaikan sejumlah penyelidikan pelanggaran HAM yang
berat masa lalu. Di antaranya peristiwa Mei 1998, Trisakti-Semanggi
1998-1999, Talang Sari 1989, dan penghilangan paksa 1997-1998. Penyelidikan
terhadap peristiwa 1965-1966 dan penembakan misterius 1982-1985 juga sudah
kelar dilakukan pada 2012. Namun, hasil-hasil penyelidikan tersebut tidak
ditindaklanjuti Jaksa Agung dengan penyidikan dan penuntutan yang kemudian
diajukan ke pengadilan. Bahkan, untuk kasus penghilangan paksa 1997-1998 yang
sudah direkomendasikan DPR, hingga kini Presiden Yudhoyono belum menerbitkan
keputusan untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc.
Hak reparasi
Patut disadari, korban pelanggaran HAM yang berat masa lalu
mempunyai hak untuk memperoleh reparasi (right
to reparation) sebagai salah satu upaya yang efektif dalam pemulihan
hak-hak mereka. Hukum internasional dan hukum nasional Indonesia telah
mengenal bentuk-bentuk hak untuk reparasi. Misalnya, di dalam Pasal 9 Ayat
(5) Kovenan Hak Sipil dan Politik yang menentukan, ”anyone who has been victim of unlawful arrestor detention shall have
an enforceable right to compensation”. Kovenan ini telah diratifikasi
dengan UU No 12/2005.
UU No 39/1999 tentang HAM menyatakan perjanjian internasional
yang diratifikasi Indonesia menjadi bagian dari hukum domestik yang mengikat.
Sekalipun UU tersebut tidak menyebutkan secara khusus tentang reparasi.
Pelaksanaan hak reparasi korban pelanggaran HAM berat masa lalu
harus dalam pemahaman bahwa (i) hak reparasi korban adalah enforceable right, dalam hal ini
setiap negara yang mengakui hak-hak ini harus menentukan di dalam norma hukum
nasionalnya untuk menjamin pelaksanaan hak reparasi ini demi kepentingan
korban; dan (ii) hak korban dalam memperoleh reparasi harus dilaksanakan
secara full rehabilitation.
Setiap bentuk pemulihan hak korban sebaiknya tak dinilai dengan
tawaran nilai material tertentu yang dianggap sebagai suatu tindakan yang
wajar dan jadi alasan ”pembenaran” terhadap segala tindakan yang dilakukan
para pelanggar HAM tersebut.
Dengan demikian, pemahaman dalam pelaksanaan reparasi bagi
korban pelanggaran HAM berat di masa lalu ini bukan merupakan tindakan
melupakan dosa masa lalu, tetapi lebih pada tindakan yang mengetengahkan proses
healing bagi korban. Tujuan lainnya adalah agar pemerintah melakukan
peninjauan kembali terhadap semua praktik dan penyusunan peraturan
perundang-undangan untuk mengakomodasi aturan tentang pemulihan hak korban
dalam bentuk putusan yang dapat dilaksanakan.
Tim transisi
Dalam situasi impunitas yang melembaga, penting upaya menggagas
sebuah program reparasi nasional. Selain kewajiban dalam hukum nasional,
hukum internasional jelas-jelas menyatakan: apabila pelanggaran berat telah
dilakukan, reparasi jadi hak korban yang harus dipenuhi.
Saat ini, Jokowi-JK telah membentuk tim transisi dan
beranggotakan orang-orang yang tidak terkait dengan pelanggaran HAM masa
lalu. Tentu kita berharap agar tim transisi tersebut juga memikirkan dan
mengagendakan secara serius skema penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Hal
itu karena, dalam beberapa kesempatan, kerap kali presiden terpilih
menyinggung dengan tegas isu penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
Sebetulnya, sudah banyak kegiatan yang dilakukan organisasi korban
dan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang konsisten memperjuangkan
hak-hak korban pelanggaran HAM masa lalu. Namun, upaya ini belum mendapatkan
respons dari negara. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan pelanggaran HAM
masa lalu ini dibutuhkan kemauan politik dari pemimpin bangsa ini. Tentu
dengan satu tekad, yakni untuk membangun masa depan yang lebih demokratis dan
berkeadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar