Sabtu, 09 Agustus 2014

Jangan Lupakan Masa Lalu

Jangan Lupakan Masa Lalu

M Ridha Saleh  ;  Wakil Ketua Komnas HAM Periode 2007-2012;
Aktivis HAM dan Lingkungan Hidup
KOMPAS, 09 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

MEKANISME keadilan transisi pada periode perubahan setelah rezim Orde Baru tumbang, diawali dengan perubahan drastis yang penuh harapan bagi semua komponen demokrasi—khususnya korban pelanggaran HAM masa lalu—untuk mendapatkan keadilan melalui suatu sistem dan pertanggungjawaban yang efektif. Namun, perubahan ini beralih menjadi periode penuh kompromi sebelum akhirnya mandek sama sekali. Padahal, pada periode awal Reformasi, agenda transisi demokratik telah memunculkan serangkaian rencana kebijakan dan agenda penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu, baik kebijakan strategis jangka panjang maupun rencana teknis jangka pendek.

Harapan ini seakan terulang kembali setelah Joko Widodo-Jusuf Kalla diumumkan sebagai presiden-wakil presiden terpilih untuk memimpin bangsa ini lima tahun ke depan. Walaupun situasinya tidak sedramatis dari Orde Baru ke Reformasi, paling tidak secara substansial harapan masyarakat—khususnya korban pelanggaran HAM masa lalu—terhadap kepemimpinan baru ini tumbuh kembali.

Kebijakan transisi

Kebijakan strategis pada masa transisi reformasi, di antaranya TAP MPR No V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, yang menjadikan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu sebagai salah satu tugas penting bangsa ini, dengan memandatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Pada 2000, terbentuk Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hal ini memungkinkan proses akuntabilitas hukum bagi kasus pelanggaran HAM yang berat, baik yang terjadi setelah lahirnya UU tersebut maupun yang terjadi pada masa lalu (sebelum tahun 2000). Selain itu, UU itu juga memungkinkan penyelesaian melalui mekanisme nonyudisial, yakni melalui KKR.

Pembentukan KKR melalui UU No 27/2004 tentang KKR terhambat dengan dibatalkannya UU tersebut oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. Meski demikian, bukan berarti penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu batal dilakukan.

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi merekomendasikan pembentukan kembali kebijakan hukum (UU) yang selaras dengan UUD 1945 dan hukum HAM internasional, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti. Sayangnya, upaya pembentukan UU baru tentang KKR, yang diinisiasi sejak 2007, hingga kini belum juga hadir.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sering menyatakan pentingnya penghormatan, pemajuan, dan perlindungan HAM dalam penyelenggaraan negara, termasuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Kenyataannya, selama pemerintahan Yudhoyono (sejak 2004), belum tampak komitmen yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan beragam persoalan masa lalu, baik dalam konteks penegakan hukum melalui pengadilan HAM ad hoc maupun membentuk kebijakan yang dapat menjadi instrumen dan mekanisme bagi upaya penyelesaian.

Dalam hal penegakan hukum, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyelesaikan sejumlah penyelidikan pelanggaran HAM yang berat masa lalu. Di antaranya peristiwa Mei 1998, Trisakti-Semanggi 1998-1999, Talang Sari 1989, dan penghilangan paksa 1997-1998. Penyelidikan terhadap peristiwa 1965-1966 dan penembakan misterius 1982-1985 juga sudah kelar dilakukan pada 2012. Namun, hasil-hasil penyelidikan tersebut tidak ditindaklanjuti Jaksa Agung dengan penyidikan dan penuntutan yang kemudian diajukan ke pengadilan. Bahkan, untuk kasus penghilangan paksa 1997-1998 yang sudah direkomendasikan DPR, hingga kini Presiden Yudhoyono belum menerbitkan keputusan untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc.

Hak reparasi

Patut disadari, korban pelanggaran HAM yang berat masa lalu mempunyai hak untuk memperoleh reparasi (right to reparation) sebagai salah satu upaya yang efektif dalam pemulihan hak-hak mereka. Hukum internasional dan hukum nasional Indonesia telah mengenal bentuk-bentuk hak untuk reparasi. Misalnya, di dalam Pasal 9 Ayat (5) Kovenan Hak Sipil dan Politik yang menentukan, ”anyone who has been victim of unlawful arrestor detention shall have an enforceable right to compensation”. Kovenan ini telah diratifikasi dengan UU No 12/2005.

UU No 39/1999 tentang HAM menyatakan perjanjian internasional yang diratifikasi Indonesia menjadi bagian dari hukum domestik yang mengikat. Sekalipun UU tersebut tidak menyebutkan secara khusus tentang reparasi.

Pelaksanaan hak reparasi korban pelanggaran HAM berat masa lalu harus dalam pemahaman bahwa (i) hak reparasi korban adalah enforceable right, dalam hal ini setiap negara yang mengakui hak-hak ini harus menentukan di dalam norma hukum nasionalnya untuk menjamin pelaksanaan hak reparasi ini demi kepentingan korban; dan (ii) hak korban dalam memperoleh reparasi harus dilaksanakan secara full rehabilitation.

Setiap bentuk pemulihan hak korban sebaiknya tak dinilai dengan tawaran nilai material tertentu yang dianggap sebagai suatu tindakan yang wajar dan jadi alasan ”pembenaran” terhadap segala tindakan yang dilakukan para pelanggar HAM tersebut.

Dengan demikian, pemahaman dalam pelaksanaan reparasi bagi korban pelanggaran HAM berat di masa lalu ini bukan merupakan tindakan melupakan dosa masa lalu, tetapi lebih pada tindakan yang mengetengahkan proses healing bagi korban. Tujuan lainnya adalah agar pemerintah melakukan peninjauan kembali terhadap semua praktik dan penyusunan peraturan perundang-undangan untuk mengakomodasi aturan tentang pemulihan hak korban dalam bentuk putusan yang dapat dilaksanakan.

Tim transisi

Dalam situasi impunitas yang melembaga, penting upaya menggagas sebuah program reparasi nasional. Selain kewajiban dalam hukum nasional, hukum internasional jelas-jelas menyatakan: apabila pelanggaran berat telah dilakukan, reparasi jadi hak korban yang harus dipenuhi.

Saat ini, Jokowi-JK telah membentuk tim transisi dan beranggotakan orang-orang yang tidak terkait dengan pelanggaran HAM masa lalu. Tentu kita berharap agar tim transisi tersebut juga memikirkan dan mengagendakan secara serius skema penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Hal itu karena, dalam beberapa kesempatan, kerap kali presiden terpilih menyinggung dengan tegas isu penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

Sebetulnya, sudah banyak kegiatan yang dilakukan organisasi korban dan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang konsisten memperjuangkan hak-hak korban pelanggaran HAM masa lalu. Namun, upaya ini belum mendapatkan respons dari negara. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu ini dibutuhkan kemauan politik dari pemimpin bangsa ini. Tentu dengan satu tekad, yakni untuk membangun masa depan yang lebih demokratis dan berkeadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar