Pertumbuhan
Ekonomi dan Pelayanan Publik
M Rizki Pratama ; Alumnus Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya
|
KOMPAS,
06 Agustus 2014
BANYAK hal berat yang harus
dilakukan pemerintahan baru. Kita berharap ada perubahan kebijakan sesuai
dengan perkembangan masyarakat, terutama kebijakan ekonomi yang kini terlalu
bertumpu pada pertumbuhan.
Masyarakat selama ini disuguhi
pembuktian pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lumayan tinggi dan bertahan
dari resesi global. Menurut BPS (2014), ekonomi Indonesia meningkat dan
tumbuh rata-rata 5,85 persen sepanjang 2008-2013.
Memasuki tahun 2014 hingga
triwulan I, ekonomi Indonesia tumbuh 5,21 persen. Namun, keberhasilan
tersebut tidak diimbangi dengan pemerataan hasil pembangunan. Ketimpangan
antara si kaya dan si miskin justru semakin lebar.
Data Indeks Gini Indonesia
2004-2013 justru meningkat dan tahun 2013 angkanya 0,413, terbesar sepanjang
sejarah.
Perlu dikaji ulang apakah
pertumbuhan ekonomi selama ini hanya dinikmati oleh segelintir pihak karena
akumulasi kapital bertumpuk pada kurang dari 10 persen konglomerat yang
menguasai 90 persen perekonomian nasional.
Thomas Piketty dalam bukunya Capital in 21 Century (2014)
mengatakan, growth can harm some groups
while benefiting others. Pendapat ini menunjukkan bahwa memang
pertumbuhan pada dasarnya tidak dapat diandalkan untuk menciptakan
kesejahteraan bangsa.
Maka, pemerintah sekarang yang
berpegang teguh pada teori trickle down economy justru dikritik oleh ekonom
peraih Nobel Joseph Stiglitz (2011),
the riches accruing to the top have come at the expense of those down below.
Rembesan ekonomi tak pernah
adil untuk turun ke bawah dan justru mencekik masyarakat.
Dalam era ekonomi pasar bebas
tentu kita sulit lepas dari perdagangan bebas dan arus globalisasi. Namun,
negara harus mengambil bagian untuk melindungi segenap bangsa dan negara.
Pada waktu yang sangat tepat
ini, pemerintahan baru harus mempertimbangkan kembali gagasan pertumbuhan
ekonomi yang bertumpu pada mikro-ekonomi dan kualitas pembangunan, bukan
sebaliknya.
Piketty memberikan saran untuk
menurunkan angka akumulasi kapital di golongan yang sudah gemuk daripada
meningkatkan pendapatan di golongan miskin untuk memerangi ketimpangan. Juga
harus ada sistem yang menjamin golongan rentan agar tidak terjerumus semakin
dalam ke jurang kemiskinan.
Pemerintah harus memberikan
kepastian tersedianya barang-barang publik yang non-rival dan non-excudable
untuk mengantisipasi kegagalan pasar dan jangan sampai terjadi double jeopardy (kegagalan pasar plus
kegagalan pemerintah).
Melalui tersedianya public service, terutama dalam
pelayanan kebutuhan dasar, tentu negara bisa melindungi rakyat miskin. Negara
perlu menjadi penyedia dan regulator pelayanan kebutuhan dasar rakyat,
seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan transportasi.
Pentingnya public service dalam era tanpa batas sudah disadari oleh Paul
Krugman (1999), global, regional and
national public goods are becoming more important in determining collective
and individual welfare and reducing inequality. Increasing instability of
market economies, the threat of financial crises, ’the return of depression
economics’.
Pemerataan
Memang pada awal tahun,
pemerintah sudah meluncurkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai salah
satu cara penyediaan pembiayaan layanan kesehatan murah. Namun, sampai saat
ini tidak ada jaminan kualitas layanan yang diberikan oleh pemerintah kepada
masyarakat di seluruh Indonesia.
Masih banyak saudara di luar
Pulau Jawa yang harus berjalan puluhan kilometer untuk mendapatkan air
bersih, untuk sekolah, untuk sekadar mencari bahan pokok, bahkan untuk
berobat.
Persoalan pelayanan publik
memang sangat kompleks apabila pemerintah tak mampu menggeser pembangunan
fisik ke pembangunan yang lebih komprehensif dan integratif.
Artinya, tidak hanya berfokus
pada satu sektor, tetapi kita perlu mendorong peningkatan kualitas sumber
daya manusia melalui pelayanan publik, terutama kebutuhan dasar.
Pendapat Dexter Whitfield dalam
buku Public Service or Corporate
Welfare (2001) kembali mengingatkan kita tentang fungsi negara untuk
melindungi dan meregulasi masyarakat, states
have also acted to regulate monopolies and afford consumer protection in the
provision of goods and services.
Akhir kata, memang tak
serta-merta negara dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar masyarakat. Perlu
kerja sama kita semua untuk ikut belajar memahami hak dan kewajiban kita,
termasuk ikut serta dalam upaya memperbaiki pelayanan publik di sekitar kita.
Menurut H George Frederickson
(2010), we may never live in an
entirely fair and just world, but there is much we can do to make it more
fair and just.
Semoga pesan ini menjadi
pertimbangan pemimpin baru Republik ini karena kita memiliki rakyat yang
keberlanjutan hidupnya harus dilindungi melalui public service. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar