Sabtu, 09 Agustus 2014

Bila Golkar di Bawah Kalla

Bila Golkar di Bawah Kalla

Ardi Winangun  ;  Pengamat Politik
OKEZONENEWS, 08 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Kemenangan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla atas Prabowo-Hatta Rajasa dalam Pemilu Presiden 2014 (versi KPU) akan mengubah tataran politik di Indonesia 10 tahun terakhir. Di mana selama 10 tahun terakhir PDIP berada di luar kekuasaan, mulai tahun ini, 2014 hingga mungkin tahun 2019 akan berkuasa, mengendalikan pemerintahan. Namun, tentu saja, hasil ini masih harus menunggu keputusan akhir di Mahkamah Konstitusi (MK).

Jika diputuskan menang oleh MK, pastinya Mega, Jokowi, beserta elit politik PDIP lainnya, akan berpesta pora dengan kemenangan ini dan akan menikmati kekuasaan yang ada. Bagi-bagi kekuasaan dan kursi menteri akan ditebar kepada internal partai berlambang banteng moncong putih itu.

Perubahan tataran politik tidak hanya di PDIP, juga terjadi pada Partai Golkar. Ini yang menarik untuk dicermati. Sebagaimana diketahui, Jusuf Kalla adalah politisi dari partai yang berlambang pohon beringin itu namun ia berpasangan dengan Joko Widodo bukan karena rekomendasi dari Partai Golkar. Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla terbentuk karena berdasarkan survei yang menggunggulkan mereka bila Joko Widodo di pasangan dengan calon Wakil Presiden lainnya.

Partai Golkar dalam Pemilu Presiden ini mengusung Ketua Umum Aburizal Bakrie sebagai calon Presiden, sayangnya ia sulit mencari pasangan sehingga akhirnya gagal maju dan akhirnya memilih berlabuh kepada Prabowo.

Tidak mengusung calon sendiri dan pilihan Aburizal Bakrie melabuh ke Prabowo membuat terjadi perpecahan di tubuh partai. Beberapa elit dan kader muda partai itu memilih mendukung Joko Widodo. Alasannya selain Joko Widodo dirasa sebagai figur yang mampu bekerja nyata, juga di sini ada Jusuf Kalla yang masih tercatat sebagai kader Golkar.

Dengan kemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, secara institusi Golkar kalah namun secara politis Golkar masih eksis. Sebab Jusuf Kalla menang. Dengan kemenangan itu, pastinya Jusuf Kalla akan menarik gerbong kader Partai Golkar untuk masuk kekuasaan. Provokasi atas kegagalan Aburizal Bakrie dalam memimpin Golkar dan kemenangan Jusuf Kalla membuat hembusan Munaslub semakin kencang, bila Munaslub terlaksana, Jusuf Kalla mempunyai peluang besar untuk memimpin Golkar kembali. Seperti dalam Munas Golkar di Bali di mana saat itu ia menjadi Wakil Presiden.

Ketika Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum Golkar, hal ini sangat menarik untuk dikupas. Bila Jusuf Kalla menjadi orang nomor satu di Golkar, di satu sisi akan menguntungkan pemerintahan Joko Widodo namun di sisi lain akan juga bisa mengancam kekuasaannya. Menggunakan istilah yang seram adalah seperti pisau bermata dua.

Menguntungkan bagi Presiden Joko Widodo, Golkar yang berada di bawah kendali Jusuf Kalla membuat fraksi partai itu di DPR juga akan menurut apa titahnya. Hal demikian membuat Fraksi Partai Golkar akan melekat dengan Fraksi PDIP, PKB, Hanura, dan Nasdem. Jumlah kumpulan kursi fraksi-fraksi itu mencapai 298. Bandingkan dengan jumlah kursi Fraksi Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, PKS yang hanya 262.

Dengan selisih kursi 36 buah, kalau pengambilan keputusan melalui mekanisme yang saat ini ngetrend, yakni voting, fraksi pendukung pemerintahan Joko Widodo akan menang. Dengan demikian membuat DPR tidak mudah untuk menggoyang-goyang kekuasaan Joko Widodo.
Bila DPR kuat karena ulah koalisi permanen maka pemerintahan Joko Widodo akan tidak efektif, kalau berjalan pun akan lamban bila setiap saat para wakil rakyat dari kubu oposisi menghambat kinerjanya. Dengan demikian sangat menguntungkan bila fraksi Golkar di bawah kendali Jusuf Kalla yang mendukung pemerintahan.

Namun yang perlu diingatkan juga ketika Golkar di bawah Jusuf Kalla, ini juga bisa berbahaya bagi pemerintahan. Jusuf Kalla sebagai orang yang idealis dan pernah bercita-cita menjadi Presiden tentu segala kebijakannya ingin direalisasikan. Bila berbekal pengalamannya yang sudah pernah menjadi Wakil Presiden tentu itu tidak cukup, sebab Joko Widodo dan Jusuf Kalla sama-sama sebagai orang lapangan sehingga pastinya kedua orang itu akan saling berdebat mempertahankan argumentasi masing-masing.

Ini pernah terjadi saat Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden dan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden. Entah karena Jusuf Kalla lebih cerdik dan lebih cepat bertindak dibanding Susilo Bambang Yudhoyono, membuat kebijakan Jusuf Kalla menjadi lebih popular. Dari hal yang demikian membuat ada ungkapan matahari kembar bahkan ada yang menyebut Jusuf Kalla The Real President. Hal demikian bisa terjadi pada pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam pemerintahan yang akan berjalan.

Kenapa Jusuf Kalla berani head to head dengan Presiden? Sebab ia memiliki kekuatan fraksi yang cukup besar di DPR. Dengan menggunakan Fraksi Partai Golkar maka ia akan menggunakan kekuatan itu untuk menekan pemerintah bila dirinya tidak mendapat dukungan dari Presiden. Dengan demikian, bila ada perdebatan Joko Widodo dengan Jusuf Kalla kelak, pastinya Jusuf Kalla akan menggunakan kekuatan yang ada di DPR, dibantu dengan fraksi oposisi lainnya, untuk menggertak atau menekan Joko Widodo. Di sinilah sisi tidak menguntungkannya bagi Joko Widodo ketika Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum Partai Golkar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar