Bila
Golkar di Bawah Kalla
Ardi Winangun ; Pengamat Politik
|
OKEZONENEWS,
08 Agustus 2014
Kemenangan
pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla atas Prabowo-Hatta Rajasa dalam Pemilu Presiden
2014 (versi KPU) akan mengubah tataran politik di Indonesia 10 tahun
terakhir. Di mana selama 10 tahun terakhir PDIP berada di luar kekuasaan,
mulai tahun ini, 2014 hingga mungkin tahun 2019 akan berkuasa, mengendalikan
pemerintahan. Namun, tentu saja, hasil ini masih harus menunggu keputusan
akhir di Mahkamah Konstitusi (MK).
Jika
diputuskan menang oleh MK, pastinya Mega, Jokowi, beserta elit politik PDIP
lainnya, akan berpesta pora dengan kemenangan ini dan akan menikmati
kekuasaan yang ada. Bagi-bagi kekuasaan dan kursi menteri akan ditebar kepada
internal partai berlambang banteng moncong putih itu.
Perubahan
tataran politik tidak hanya di PDIP, juga terjadi pada Partai Golkar. Ini
yang menarik untuk dicermati. Sebagaimana diketahui, Jusuf Kalla adalah
politisi dari partai yang berlambang pohon beringin itu namun ia berpasangan
dengan Joko Widodo bukan karena rekomendasi dari Partai Golkar. Pasangan Joko
Widodo-Jusuf Kalla terbentuk karena berdasarkan survei yang menggunggulkan
mereka bila Joko Widodo di pasangan dengan calon Wakil Presiden lainnya.
Partai
Golkar dalam Pemilu Presiden ini mengusung Ketua Umum Aburizal Bakrie sebagai
calon Presiden, sayangnya ia sulit mencari pasangan sehingga akhirnya gagal
maju dan akhirnya memilih berlabuh kepada Prabowo.
Tidak
mengusung calon sendiri dan pilihan Aburizal Bakrie melabuh ke Prabowo
membuat terjadi perpecahan di tubuh partai. Beberapa elit dan kader muda
partai itu memilih mendukung Joko Widodo. Alasannya selain Joko Widodo dirasa
sebagai figur yang mampu bekerja nyata, juga di sini ada Jusuf Kalla yang
masih tercatat sebagai kader Golkar.
Dengan
kemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, secara institusi Golkar kalah namun
secara politis Golkar masih eksis. Sebab Jusuf Kalla menang. Dengan kemenangan
itu, pastinya Jusuf Kalla akan menarik gerbong kader Partai Golkar untuk
masuk kekuasaan. Provokasi atas kegagalan Aburizal Bakrie dalam memimpin
Golkar dan kemenangan Jusuf Kalla membuat hembusan Munaslub semakin kencang,
bila Munaslub terlaksana, Jusuf Kalla mempunyai peluang besar untuk memimpin
Golkar kembali. Seperti dalam Munas Golkar di Bali di mana saat itu ia
menjadi Wakil Presiden.
Ketika
Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum Golkar, hal ini sangat menarik untuk dikupas.
Bila Jusuf Kalla menjadi orang nomor satu di Golkar, di satu sisi akan
menguntungkan pemerintahan Joko Widodo namun di sisi lain akan juga bisa
mengancam kekuasaannya. Menggunakan istilah yang seram adalah seperti pisau
bermata dua.
Menguntungkan
bagi Presiden Joko Widodo, Golkar yang berada di bawah kendali Jusuf Kalla
membuat fraksi partai itu di DPR juga akan menurut apa titahnya. Hal demikian
membuat Fraksi Partai Golkar akan melekat dengan Fraksi PDIP, PKB, Hanura,
dan Nasdem. Jumlah kumpulan kursi fraksi-fraksi itu mencapai 298. Bandingkan
dengan jumlah kursi Fraksi Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, PKS yang hanya 262.
Dengan
selisih kursi 36 buah, kalau pengambilan keputusan melalui mekanisme yang
saat ini ngetrend, yakni voting, fraksi pendukung pemerintahan Joko Widodo
akan menang. Dengan demikian membuat DPR tidak mudah untuk menggoyang-goyang
kekuasaan Joko Widodo.
Bila
DPR kuat karena ulah koalisi permanen maka pemerintahan Joko Widodo akan
tidak efektif, kalau berjalan pun akan lamban bila setiap saat para wakil
rakyat dari kubu oposisi menghambat kinerjanya. Dengan demikian sangat
menguntungkan bila fraksi Golkar di bawah kendali Jusuf Kalla yang mendukung
pemerintahan.
Namun
yang perlu diingatkan juga ketika Golkar di bawah Jusuf Kalla, ini juga bisa
berbahaya bagi pemerintahan. Jusuf Kalla sebagai orang yang idealis dan
pernah bercita-cita menjadi Presiden tentu segala kebijakannya ingin
direalisasikan. Bila berbekal pengalamannya yang sudah pernah menjadi Wakil
Presiden tentu itu tidak cukup, sebab Joko Widodo dan Jusuf Kalla sama-sama
sebagai orang lapangan sehingga pastinya kedua orang itu akan saling berdebat
mempertahankan argumentasi masing-masing.
Ini
pernah terjadi saat Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden dan Jusuf Kalla
sebagai Wakil Presiden. Entah karena Jusuf Kalla lebih cerdik dan lebih cepat
bertindak dibanding Susilo Bambang Yudhoyono, membuat kebijakan Jusuf Kalla
menjadi lebih popular. Dari hal yang demikian membuat ada ungkapan matahari
kembar bahkan ada yang menyebut Jusuf Kalla The Real President. Hal demikian
bisa terjadi pada pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam pemerintahan
yang akan berjalan.
Kenapa
Jusuf Kalla berani head to head dengan Presiden? Sebab ia memiliki kekuatan
fraksi yang cukup besar di DPR. Dengan menggunakan Fraksi Partai Golkar maka
ia akan menggunakan kekuatan itu untuk menekan pemerintah bila dirinya tidak
mendapat dukungan dari Presiden. Dengan demikian, bila ada perdebatan Joko
Widodo dengan Jusuf Kalla kelak, pastinya Jusuf Kalla akan menggunakan
kekuatan yang ada di DPR, dibantu dengan fraksi oposisi lainnya, untuk
menggertak atau menekan Joko Widodo. Di sinilah sisi tidak menguntungkannya
bagi Joko Widodo ketika Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum Partai Golkar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar