Sabtu, 09 Agustus 2014

Jurnalis Profesional

Jurnalis Profesional

Rika Prasatya  ;  Peneliti Muda di LSISI Jakarta
HALUAN, 09 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Secara umum da­pat dikatakan bahwa jurnalistik adalah seperangkat atau suatu alat madia massa. Jurnalistik mempunyai fungsi sebagai pengelolaan laporan harian yang menarik minat khalayak, mulai dari peliputan sampai penyebarannya kepada masya­rakat mengenai apa saja yang terjadi.

Apapun yang terjadi baik peristiwa factual (fakta) atau pendapat seseorang (opini), untuk menjadi sebuah berita kepada khalayak. De­ngan demikian berita yang disam­paikan kepada masya­rakat haruslah berdasarkan fakta yang sudah di cross check kebenarannya dan bukan bersifat fitnah.

Paska penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan mengikuti pemilihan umum presiden (Pilpres) 2014, media masa seakan-akan secara otomatis terpolarisasi menjadi dua kubu, yakni kubu pendukung Pra­bowo Subianto/Hatta Rajasa (Prabowo/Hatta) dan kubu Joko Widodo/Jusuf Kalla (Jokowi/JK). Sejumlah media cetak dan terutama media elektronik yang berafiliasi dengan salah satu pasangan calon, cenderung memberitakan hal-hal yang baik dari calon presiden yang menjadi pilihannya, dan pada saat bersamaan memberitakan hal-hal yang jelek dari calon presiden lawannya.

Masing-masing media secara terang-terangan menyerang kandidat lawan dengan mem­beritakan secara terus-menerus segala kejelekan yang bahkan cenderung  menjurus ke arah fitnah  sekalipun, semata-mata untuk menurunkan elektabiltas kubu lawan. Sementara itu disisi lain, media cenderung memberitakan hal-hal positif tentang keberhasilan kandidat yang didukungnya, dengan harapan dapat meningkatkan elektabilitas calon presiden dan wakil presiden yang didukung. Adanya pemberitaan yang memihak dan tidak netral seperti itu, publik akhirnya tidak berhasil memperoleh pemberitaan yang mencerahkan tetapi justru sebaliknya men­dapat pemberitaan yang membingungkan.

Pemberitaan yang tidak netral dan membingungkan masyarakat bisa terjadi karena para jurnalis tidak bisa meme­gang kode etik jurnalisme yang mereka miliki, mengingat sudah cukup banyak para jurnalis/wartawan dari media-media besar yang  sudah mengikuti uji kompetensi wartawan. Para jurnalis pada saat itu sudah kehilangan jati  diri sebagai jurnalis profesional,  harus tunduk pada keinginan pemilik media tempat mereka bekerja mencari uang. Hal itu tentu saja tidak terlepas dari kolaborasi antara pemilik media dengan calon presiden dan wakil presiden yang berkonsen­trasi pada hasil pemberitaan yang tidak objektif.

Pemberitaan seperti itu selalu  berujung pada hilangnya esensi jurnalistik, yakni memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar. Publik kemudian men­jadi korban provokasi media. Karena terpaut dengan kepen­tingan politik maka karakter jurnalistiknya ke­hilangan etika, hal itu juga berpotensi besar membentuk masyarakat yang tidak beretika pula.

Saat ini setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mene­tapkan pasangan calon  pe­menang dalam Pilpres 2014, media-media partisan diha­rapkan kembali ke jati diri sebenarnya menjadi media yang memegang prinsip kebenaran dan kejujuran, dengan menge­depankan jurna­lisme  profe­sional.

Pemberitaan yang tidak netral disebabkan para jurnalis harus mengikuti apapun keinginan pemilik modal dari media tempatnya bekerja. Terkait dengan keberpihakan dalam pelaksanaan Pipres 2014, patut dipertanyakan kenapa para jurnalis harus mengikuti apapun  keinginan pemilik media. Pernyataan yang sering dilontarkan adalah siapa di Metro TV dan Media Indonesia yang berani membantah keingi­nan Surya Paloh yang berpihak kepada pasangan Jokowi/JK, siapa di TVOne dan Koran Sindo yang berani membantah keinginan Aburizal Bakri yang berpihak kepada  pasangan Prabowo/Hatta, atau siapa yang tergabung dalam Jawa Post Net News (JPNN) yang berani menolak keinginan dari Dahlan Iskan yang berpihak kepada pasangan Jokowi/JK.

Alasan ketidaknetralan para jurnalis mungkin turut mendu­kung pasangan calon sesuai pilihannya, atau memang karena terpaksa disebabkan para jurnalis takut kehilangan pekerjaan. Jika faktor takut kehilangan pekerjaan menjadi alasan jurnalis tidak netral dan harus mengikuti apapun ke­inginan pemilik media, maka saatnya kita pikirkan secara bersama jalan keluarnya. Dari sekian banyak wartawan di negeri ini, terkecuali yang bekerja di perusahaan media yang bonafit dan terkenal yang memperoleh gaji tetap dengan berbagai fasilitas dan tunja­ngan, sele­bihnya merupakan wartawan yang tidak digaji. Wartawan yang tidak digaji dan hanya dibekali dengan legalitas berupa surat tugas sebagai wartawan, serta kartu pers, yang bisa digunakan sebagai alat  untuk memperoleh penghasilan sendiri dengan jalan memeras pihak lain yang dianggap memiliki kesalahan untuk kemudian bargaining dengan sejumlah materi sebagai konpensasi berita tak muncul di media.

Sebaliknya  wartawan yang bekerja di perusahaan media yang bonafit dengan gaji dan fasilitas yang memadai, jelas mereka takut kehilangan semuanya hanya karena berbe­da pandangan dengan pemilik media. Karena  itu patut kita sadari apapun keinginan pemilik perusahaan akan dituruti, bahkan bisa dikatakan perusahaan akan memperoleh keuntungan finasial yang besar jika mereka berafiliasi dengan pasangan calon tertentu dan pada akhirnya para karyawan jualah  termasuk jurnalis  juga yang akan menikmati keun­tungan perusahaan tersebut. Urusan gaji dan penghasilan adalah berarti urusan perut wartawan yang bila kosong pasti akan mempengaruhi otaknya untuk bisa bekerja lebih baik sesuai tuntutan profesi.

Siapapun yang akan dilan­tik sebagai presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2014 mendatang patut bersyukur kepada pers, terlepas dari adanya keberpihakan media kedua pasangan calon sangat berhutang budi kepada para jurnalis/wartawan. Menurut penulis, sudah saatnya peme­rintah periode mendatang memikirkan adanya pemberian semacam insentif kepada para jurnalis yang sudah memiliki sertifikasi setelah mengikuti Uji Kompetensi Wartawan. Selama ini pemerintah sudah memberikan insentif bagi tenaga guru dan tenaga medis yang memegang sertivikasi. Diharapkan dengan adanya insentif dari pemerintah, maka para jurnalis terutama mereka yang bekerja pada perusahaan media kecil tidak perlu mela­kukan tindakan kolusi dengan sumber berita yang diketahui bermasalah.

Sementara itu wartawan yang bekerja di perusahaan media besar juga tidak perlu  takut dan tunduk terhadap kemauan si pemilik modal, dan pada akhirnya pemberitaan yang disampaikan betul-betul berdasarkan fakta.

Untuk mewujudkan jurnalis profesional, maka kesejahteraan jurnalis tidak dapat ditawar-tawar lagi, perusahaan media harus segera memenuhi hak jurnalis sebagai pekerja, serta perlu PWI atau AJI serta IJTI melakukan uji kompetensi terhadap perusahaan pers. Selain upah layak, perusahaan media juga harus memenuhi jaminan kesehatan dan pen­didikan terhadap pekerja pers. Saat ini, potret kehidupan jurnalis di Indonesia  cukup mempri­hatinkan, buktinya tak sedikit jurnalis di daerah yang mem­peroleh upah di bawah dua juta rupiah setiap bulan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar