Minggu, 17 Agustus 2014

Bendera

                                                                   Bendera

Dianing Widya  ;  Novelis dan Pegiat Sosial, @dianingwy
KORAN TEMPO, 16 Agustus 2014
                                                


Memasuki Agustus, aroma perayaan Hari Kemerdekaan kian mengental di setiap lingkungan dan kampung. Sayangnya, ada hal yang luput dari perhatian. Kita sering kali abai dalam memperlakukan bendera. Misalnya, soal waktu pengibaran. Menjelang 17 Agustus, misalnya, orang-orang memasang bendera seminggu sebelumnya dan tidak pernah diturunkan. Padahal, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1958, lamanya waktu pengibaran hanya 12 jam, pukul 06.00-18.00.

Hal itu dipertegas lagi dalam Pasal 7 UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, bahwa (1) pengibaran bendera dilakukan pada waktu matahari terbit hingga matahari terbenam.

Selain itu, di masyarakat kita, penghormatan terhadap Sang Saka Merah Putih sangat kurang. Contoh kecil, orang tua yang mengantar anak ke sekolah pada Senin pagi tetap asyik bercengkerama meskipun lagu Indonesia Raya tengah dikumandangkan, seiring dengan pengibaran bendera Merah Putih. Kita sering menganggap "biasa saja" bendera itu. Padahal, benda itu dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata.

Karena bendera itu begitu istimewa, seharusnya perlakuannya pun juga sangat istimewa. Ia tidak sekadar simbol negara, tapi juga merupakan simbol perjuangan, cita-cita, heroisme, hingga harkat dan martabat bangsa. Ia adalah wujud dari keseluruhan kehidupan kita. Ia identitas bangsa dan alat komunikasi di kancah internasional.

Untuk itu, di Jawa, berkembang persepsi yang begitu mendalam tentang arti bendera itu. Misalnya, ada yang mempersepsikan bahwa bendera diambil dari warna gula kelapa. Ini bisa merujuk pada Keraton Susuhunan Paku Buwono yang menggunakan simbol timur-selatan yang dilambangkan dengan gula kelapa.

Ada juga cerita, yang mengatakan saat Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan terhadap Belanda, rakyat mengibarkan umbul-umbul merah putih sebagai wujud dukungan. Selain itu, masyarakat Jawa pada bulan tertentu membuat selamatan dengan mengirim bubur abang-putih (berwarna merah-putih) ke para tetangga.

Namun, sayangnya, belakangan pelan-pelan bendera menjadi sekadar aksesori belaka pada Hari Kemerdekaan. Perayaan Agustusan di banyak tempat dan kampung-kampung lebih menonjolkan "hura-hura" di luar makna kemerdekaan yang lebih substansial: lomba-lomba, panjat pinang, balap karung, makan-makan, dan seterusnya. Arti kemerdekaan menjadi bergeser menjadi semata pesta.

Kita jarang melihat ada perayaan yang lebih khidmat di kampung-kampung kita: misalnya upacara bendera, mengheningkan cipta, hingga kunjungan ke makam pahlawan (tidak hanya pahlawan nasional, tapi juga pahlawan lokal yang begitu banyak jumlahnya). Lomba-lomba juga tak salah, karena itu bagian dari kegembiraan.

Tapi alangkah makin khidmatnya Hari Kemerdekaan jika ditambahkan dengan lomba baca atau cipta puisi tentang pahlawan, lomba menulis tentang Agustusan, lomba cerdas-cermat tentang perjuangan, dan sejenisnya-yang lebih bermakna.

Bahkan, kita bisa mengisi pesta kemerdekaan itu dengan menyantuni orang miskin dan papa, atau memberi beasiswa kepada anak-anak mereka. Itulah sesungguhnya makna substansial dari sebuah bendera-sebagai simbol kita telah (benar-benar) merdeka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar