Bendera
Dianing Widya ; Novelis dan Pegiat Sosial, @dianingwy
|
KORAN
TEMPO, 16 Agustus 2014
Memasuki Agustus, aroma perayaan Hari Kemerdekaan kian
mengental di setiap lingkungan dan kampung. Sayangnya, ada hal yang luput
dari perhatian. Kita sering kali abai dalam memperlakukan bendera. Misalnya,
soal waktu pengibaran. Menjelang 17 Agustus, misalnya, orang-orang memasang
bendera seminggu sebelumnya dan tidak pernah diturunkan. Padahal, menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1958, lamanya waktu pengibaran hanya 12
jam, pukul 06.00-18.00.
Hal itu dipertegas lagi dalam Pasal 7 UU Nomor 24 Tahun 2009
tentang Bendera, bahwa (1) pengibaran bendera dilakukan pada waktu matahari
terbit hingga matahari terbenam.
Selain itu, di masyarakat kita, penghormatan terhadap Sang
Saka Merah Putih sangat kurang. Contoh kecil, orang tua yang mengantar anak
ke sekolah pada Senin pagi tetap asyik bercengkerama meskipun lagu Indonesia
Raya tengah dikumandangkan, seiring dengan pengibaran bendera Merah Putih.
Kita sering menganggap "biasa saja" bendera itu. Padahal, benda itu
dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Karena bendera itu begitu istimewa, seharusnya perlakuannya
pun juga sangat istimewa. Ia tidak sekadar simbol negara, tapi juga merupakan
simbol perjuangan, cita-cita, heroisme, hingga harkat dan martabat bangsa. Ia
adalah wujud dari keseluruhan kehidupan kita. Ia identitas bangsa dan alat
komunikasi di kancah internasional.
Untuk itu, di Jawa, berkembang persepsi yang begitu mendalam
tentang arti bendera itu. Misalnya, ada yang mempersepsikan bahwa bendera
diambil dari warna gula kelapa. Ini bisa merujuk pada Keraton Susuhunan Paku
Buwono yang menggunakan simbol timur-selatan yang dilambangkan dengan gula
kelapa.
Ada juga cerita, yang mengatakan saat Pangeran Diponegoro
melakukan perlawanan terhadap Belanda, rakyat mengibarkan umbul-umbul merah
putih sebagai wujud dukungan. Selain itu, masyarakat Jawa pada bulan tertentu
membuat selamatan dengan mengirim bubur abang-putih (berwarna merah-putih) ke
para tetangga.
Namun, sayangnya, belakangan pelan-pelan bendera menjadi
sekadar aksesori belaka pada Hari Kemerdekaan. Perayaan Agustusan di banyak
tempat dan kampung-kampung lebih menonjolkan "hura-hura" di luar
makna kemerdekaan yang lebih substansial: lomba-lomba, panjat pinang, balap
karung, makan-makan, dan seterusnya. Arti kemerdekaan menjadi bergeser
menjadi semata pesta.
Kita jarang melihat ada perayaan yang lebih khidmat di kampung-kampung
kita: misalnya upacara bendera, mengheningkan cipta, hingga kunjungan ke
makam pahlawan (tidak hanya pahlawan nasional, tapi juga pahlawan lokal yang
begitu banyak jumlahnya). Lomba-lomba juga tak salah, karena itu bagian dari
kegembiraan.
Tapi alangkah makin khidmatnya Hari Kemerdekaan jika
ditambahkan dengan lomba baca atau cipta puisi tentang pahlawan, lomba
menulis tentang Agustusan, lomba cerdas-cermat tentang perjuangan, dan
sejenisnya-yang lebih bermakna.
Bahkan, kita bisa mengisi pesta kemerdekaan itu dengan
menyantuni orang miskin dan papa, atau memberi beasiswa kepada anak-anak
mereka. Itulah sesungguhnya makna substansial dari sebuah bendera-sebagai
simbol kita telah (benar-benar) merdeka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar