Minggu, 17 Agustus 2014

Digul

                                                                       Digul

Goenawan Mohamad  ;  Esais, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
KORAN TEMPO, 18 Agustus 2014
                                                


“Tanah Merah, sebuah desa cantik di atas Sungai Digul”.
Surat Van der Plas kepada Van Mook, 18 April 1943

Di bekas wilayah hukuman itu saya melangkah masuk ke halaman penjara tua yang didirikan pemerintah kolonial untuk para tahanan politik pada tahun 1920-an: ruang sempit, kawat berduri di atas tembok, sel di bawah tanah tempat orang hukuman yang bandel dikurung. Di bawah matahari yang terik dan udara yang gerah di Boven Digul, yang sama sekali tak mirip "desa cantik", sejauh mana yang terhukum bisa bertahan?

Saya tergetar, sebentar. Pernahkah ayah saya disekap di bui itu? Saya tak bisa membayangkannya. Saya tak pernah dengar ceritanya. Ia dibuang ke tempat yang terpencil itu, bersama ibu saya, setelah dipenjara dan ditahan di rumah sejak pemberontakan tahun 1927. Saya baru dilahirkan sekitar sembilan tahun semenjak mereka dipulangkan ke Jawa. Bapak tak sempat bercerita banyak tentang masa lalunya kepada saya: ia ditembak mati tentara Belanda ketika saya berumur lima tahun. Ibu terlalu sibuk membesarkan kami. Yang membekas dari Digul pada keluarga kami sesuatu yang tanpa kata-kata: salah satu kakak lahir di pembuangan itu.

Mungkin itu sebabnya di keluarga kami, masa lalu itu jarang jadi percakapan.
Jangan-jangan Digul sebenarnya bukanlah sebuah drama yang menarik untuk dikisahkan berulang kali?

Ibu cuma kadang-kadang bercerita tentang penduduk Papua setempat yang disebut "orang Kaya-Kaya" yang datang dari hutan, "para hantu rimba" yang ikut membantu kerja, dan memanggil Ibu "mama kuminis" dan Bapak "papa kuminis"; tentang para tahanan politik yang dengan sengaja membuang obat yang didapat dari Rumah Sakit Wilhelmina (dengan harapan pemerintah kolonial akan bangkrut membiayai kamp tahanannya); tentang orang buangan yang berani, terutama seorang pemuda bernama Salim.

Kakak saya pernah menyebutkan, dalam album keluarga ada potret Ayah di antara teman-temannya dalam kamp, tapi potret itu lenyap ketika pasukan Belanda menggeledah rumah kami dan Ayah ditangkap, kemudian dieksekusi.

Kenangan mirip potret yang kabur, bahkan lenyap. Ia masa lalu yang berubah bersama yang terjadi di hari ini. Dalam A Certain Age, sebuah buku "sejarah" yang memukau sebab tak lazim, Rudolf Mrazek mengeluarkan catatan wawancaranya dengan bekas-bekas buangan Digul. Kita ketemu dengan Sukarsih Moerwoto, misalnya. Aktivis pergerakan nasional ini yang selama tujuh tahun dibuang merasa bahwa di Digul "tak cukup ada makanan. Tak cukup ada kebahagiaan". Tapi ia juga mengatakan tak ada rasa tertekan. Tak ada kawat berduri di sekitar kamp mereka. "Kami sering berpiknik, dan kadang-kadang naik kanu di sungai. Kami mendayung dan kemudian makan siang."

Ada surat kabar yang datang tiap enam pekan, dan ketika Bung Hatta diinternir di sana, ia tidak hanya membawa enam peti buku, tapi juga sebuah gramofon. Hatta mengajar ekonomi, Sjahrir, kadang-kadang, mengajar bahasa Inggris dan menyanyi.

Seperti diuraikan Mrazek dalam tulisan yang lain, "Sjahrir in Boven Digoel", dalam buku Making Indonesia (editor Daniel S. Lev dkk.), di kamp itu ada klub debat; para tahanan mendiskusikan buku Ramsay MacDonald, Socialism: Critical and Constructive, dan karya Firmin Riz, L'energie americaine. Mereka membentuk grup gamelan dan musik Sumatera, bahkan ada kelompok jazz yang disebut "Digoel Buseneert". Pelajaran bahasa Inggris maju; di sana-sini ada penawaran jasa laundry dan barbershop.

Ada sekolah buat anak-anak: sekolah Katolik dan Protestan, dan sebuah sekolah yang diajar seorang bekas tokoh komunis, Soetan Said Ali, yang dalam sebuah laporan resmi disebut "sebuah sekolah kecil komunis di Tanah Tinggi".

Tapi tentu tak semua diperkenankan berkembang. Para tahanan yang keras kepala dipisahkan di tempat yang jauh. Tokoh PKI Aliarcham, salah satu pelopor pemberontakan tahun 1926, adalah salah satunya. Ia meninggal di tempat sunyi itu.

Pada akhirnya, Digul adalah proyek penjinakan. Gubernur Jenderal De Graeff mengemukakan tujuan itu ketika kamp itu dibuka: "Ambisi politik yang ada harus diatasi dengan ketertarikan akan hal-hal yang lebih bersifat rumah tangga dan sosial."

Tapi bagaimana mungkin penjinakan ala borjuis itu terjadi ketika Digul “betapapun jauh bedanya dengan kamp konsentrasi Hitler” tetap menunjukkan sifat dasar kekuasaan. Apalagi kekuasaan kolonial: sebuah kekuatan yang mengecualikan diri dari tuntutan kesetaraan. Ia membangun kamp, ia memisah-misahkan sesama manusia. Tapi tiap kali tuntutan melawan itu tak bisa diredam, dan politik bangkit.
Maka apa pun desain pemerintah Hindia Belanda, sebuah kamp selalu menyiapkan hari akhirnya sendiri. Dalam sejarah kolonialisme di Indonesia, hari akhir itu 17 Agustus 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar