Digul
Goenawan Mohamad ; Esais, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
KORAN
TEMPO, 18 Agustus 2014
“Tanah
Merah, sebuah desa cantik di atas Sungai Digul”.
Surat
Van der Plas kepada Van Mook, 18 April 1943
Di bekas
wilayah hukuman itu saya melangkah masuk ke halaman penjara tua yang
didirikan pemerintah kolonial untuk para tahanan politik pada tahun 1920-an:
ruang sempit, kawat berduri di atas tembok, sel di bawah tanah tempat orang
hukuman yang bandel dikurung. Di bawah matahari yang terik dan udara yang
gerah di Boven Digul, yang sama sekali tak mirip "desa cantik",
sejauh mana yang terhukum bisa bertahan?
Saya
tergetar, sebentar. Pernahkah ayah saya disekap di bui itu? Saya tak bisa
membayangkannya. Saya tak pernah dengar ceritanya. Ia dibuang ke tempat yang
terpencil itu, bersama ibu saya, setelah dipenjara dan ditahan di rumah sejak
pemberontakan tahun 1927. Saya baru dilahirkan sekitar sembilan tahun
semenjak mereka dipulangkan ke Jawa. Bapak tak sempat bercerita banyak
tentang masa lalunya kepada saya: ia ditembak mati tentara Belanda ketika
saya berumur lima tahun. Ibu terlalu sibuk membesarkan kami. Yang membekas
dari Digul pada keluarga kami sesuatu yang tanpa kata-kata: salah satu kakak
lahir di pembuangan itu.
Mungkin itu
sebabnya di keluarga kami, masa lalu itu jarang jadi percakapan.
Jangan-jangan
Digul sebenarnya bukanlah sebuah drama yang menarik untuk dikisahkan berulang
kali?
Ibu cuma
kadang-kadang bercerita tentang penduduk Papua setempat yang disebut
"orang Kaya-Kaya" yang datang dari hutan, "para hantu
rimba" yang ikut membantu kerja, dan memanggil Ibu "mama
kuminis" dan Bapak "papa kuminis"; tentang para tahanan politik
yang dengan sengaja membuang obat yang didapat dari Rumah Sakit Wilhelmina
(dengan harapan pemerintah kolonial akan bangkrut membiayai kamp tahanannya);
tentang orang buangan yang berani, terutama seorang pemuda bernama Salim.
Kakak saya
pernah menyebutkan, dalam album keluarga ada potret Ayah di antara
teman-temannya dalam kamp, tapi potret itu lenyap ketika pasukan Belanda
menggeledah rumah kami dan Ayah ditangkap, kemudian dieksekusi.
Kenangan
mirip potret yang kabur, bahkan lenyap. Ia masa lalu yang berubah bersama
yang terjadi di hari ini. Dalam A Certain Age, sebuah buku
"sejarah" yang memukau sebab tak lazim, Rudolf Mrazek mengeluarkan
catatan wawancaranya dengan bekas-bekas buangan Digul. Kita ketemu dengan
Sukarsih Moerwoto, misalnya. Aktivis pergerakan nasional ini yang selama
tujuh tahun dibuang merasa bahwa di Digul "tak cukup ada makanan. Tak
cukup ada kebahagiaan". Tapi ia juga mengatakan tak ada rasa tertekan.
Tak ada kawat berduri di sekitar kamp mereka. "Kami sering berpiknik,
dan kadang-kadang naik kanu di sungai. Kami mendayung dan kemudian makan
siang."
Ada surat
kabar yang datang tiap enam pekan, dan ketika Bung Hatta diinternir di sana,
ia tidak hanya membawa enam peti buku, tapi juga sebuah gramofon. Hatta
mengajar ekonomi, Sjahrir, kadang-kadang, mengajar bahasa Inggris dan
menyanyi.
Seperti
diuraikan Mrazek dalam tulisan yang lain, "Sjahrir
in Boven Digoel", dalam buku Making
Indonesia (editor Daniel S. Lev dkk.),
di kamp itu ada klub debat; para tahanan mendiskusikan buku Ramsay MacDonald,
Socialism: Critical and Constructive,
dan karya Firmin Riz, L'energie
americaine. Mereka membentuk grup gamelan dan musik Sumatera, bahkan ada
kelompok jazz yang disebut "Digoel
Buseneert". Pelajaran bahasa Inggris maju; di sana-sini ada
penawaran jasa laundry dan barbershop.
Ada sekolah
buat anak-anak: sekolah Katolik dan Protestan, dan sebuah sekolah yang diajar
seorang bekas tokoh komunis, Soetan Said Ali, yang dalam sebuah laporan resmi
disebut "sebuah sekolah kecil komunis di Tanah Tinggi".
Tapi tentu
tak semua diperkenankan berkembang. Para tahanan yang keras kepala dipisahkan
di tempat yang jauh. Tokoh PKI Aliarcham, salah satu pelopor pemberontakan
tahun 1926, adalah salah satunya. Ia meninggal di tempat sunyi itu.
Pada
akhirnya, Digul adalah proyek penjinakan. Gubernur Jenderal De Graeff
mengemukakan tujuan itu ketika kamp itu dibuka: "Ambisi politik yang ada harus diatasi dengan ketertarikan akan
hal-hal yang lebih bersifat rumah tangga dan sosial."
Tapi
bagaimana mungkin penjinakan ala borjuis itu terjadi ketika Digul “betapapun
jauh bedanya dengan kamp konsentrasi Hitler” tetap menunjukkan sifat dasar
kekuasaan. Apalagi kekuasaan kolonial: sebuah kekuatan yang mengecualikan
diri dari tuntutan kesetaraan. Ia membangun kamp, ia memisah-misahkan sesama
manusia. Tapi tiap kali tuntutan melawan itu tak bisa diredam, dan politik
bangkit.
Maka apa pun
desain pemerintah Hindia Belanda, sebuah kamp selalu menyiapkan hari akhirnya
sendiri. Dalam sejarah kolonialisme di Indonesia, hari akhir itu 17 Agustus
1945. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar