Kamis, 07 Agustus 2014

Bahasa Tuhan tentang Orang-Orang Lapar

Bahasa Tuhan tentang Orang-Orang Lapar

Syarif Hidayat Santoso ;   Alumnus FISIP Universitas Jember dan Santri Kalong
OKEZONENEWS, 03 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Tahukah kita bahwa segala sifat Tuhan yang  superior dalam gejala teologi tiba-tiba luruh manakala menapaki ruh jagad kebahasaan. Ini lumrah dan jamak dijumpai dalam ruang dialog kebahasaan manusia mana saja di muka bumi.

Bahkan dalam kitab hadits populer, bahasa memanusiakan Tuhan terlihat dengan jelas tanpa satu tabir teologi yang menghalangi. Perhatikan misalnya dalam kitab Riyadhus Salihinnya Imam Nawawi. Ada kalimat menarik yang menunjukkan gejala kebahasaan yang terasa ganjil manakala berkait dengan Tuhan.

Hadits tersebut berbunyi seperti ini, “Hai anak Adam, Aku lapar dan engkau tak memberiku makan. Ya Rabb bagaimana kami akan memberimu makan sedang engkau adalah Tuhan semesta Alam. Berkata Allah, Tidakkah engkau ketahui bahwa hamba-Ku si fulan lapar, tapi engkau tidak memberinya makan? Tahukah engkau, bilamana engkau memberinya makan, niscaya engkau akan menemui Aku disampingnya.”


Totalitas redaksi hadits riwayat Imam Muslim di atas malah lebih menarik lagi karena menyertakan redaksi Tuhan sakit dan Tuhan haus. Lagi-lagi arahnya mengarah ke hamba-hamba Allah yang sedang kelaparan, sakit dan kehausan yang membutuhkan makanan, minuman dan welas asih dari hamba lain.

Gaya bahasa ini secara tasawuf menunjukkan satu kondisi kedekatan antara Allah dan para hambanya yang sedang sakit, lapar dan haus. Tak ada sama sekali tendensi bahwa Allah itu bisa sakit, lapar dan haus. Adapula pendapat Syekh Ali Al Shobuni dalam Rawa’iul Bayan Fi Tafsiri Ayatil Ahkam Minal Quran yang menyebut adanya mudhaf (gaya bahasa menghilangkan sebuah kata) dalam redaksi hadits di atas.

Sebenarnya bahasa tentang Tuhan dan hamba bisa saja variatif dan itu jamak dijumpai dalam tradisi Islam. Gaya bahasa yang menyindir kondisi seorang hamba dengan bahasa memanusiakan Tuhan biasa terjadi. Contoh Ibnu Arabi dalam kitab-kitab kontroversialnya seperti Fushus Al Hikam dan Futuhat Al Makkiyah. Bagaimana Ibnu Arabi bersyair “aku bersujud kepada-Mu dan Engkau (Tuhan) bersujud kepadaku”.

Tradisi tasawuf biasanya menghadirkan gaya bahasa ala orang-orang muqarrabin (makhluk yang dekat kepada Allah) dengan menabrak batas-batas logika. Tentu saja ini wajar karena logika sendiri berada dalam batas-batas rasionalitas manusia yang terbatas. Artinya sesuatu itu menjadi logis justru karena berada dalam ruang berpikir makhluk, bukan sesuatu yang terkait dengan dimensi ketuhanan.

Jagad Quran kebahasaan memang menyandarkan pada satu titik teori permainan untuk memancing rasa dan rasio agar manusia berpikir. Mirip sekali dengan Ibrahim yang pernah berkata kepada kaumnya “Bal, Fa’alahu Kabiruhum Hadza (sesungguhnya patung yang besar itulah yang menghancurkannya). Di sini Ibrahim bukan berniat mengelak tudingan penduduk Ur Kasdim yang melihat berhala-berhala pujaannya hancur. Bukan pula Ibrahim berniat berbohong karena dalam teologi Sunni tak ada nabi berbuat dosa.

Logika bahasa Ibrahim adalah logika menyindir (ta’ridh). Dengan ta’ridh Ibrahim mengajak berpikir kaumnya. Dengan ta’ridh pula Ibrahim mengaktifkan aktifitas otak dan rasio kaum penyembah berhala.

Gaya bahasa seperti inilah yang sebenarnya perlu karena bersifat multiguna. Satu sisi menghadirkan  ekspresi lain daripada arus bahasa kebanyakan. Sisi lainnya mengajak orang untuk berpikir keras dan bahasawi. Pada hakikatnya, gaya bahasa Tuhan yang menyebut dirinya lapar dan haus tak ada yang keliru, hanya gaya bahasa itu rentan disalahtafsirkan oleh kalangan awam dan tentu saja tugas para agamawan untuk mendekatkan ruh perasaannya bagi publik.

Itulah gaya bahasa terobosan untuk mendekatkan kita kepada orang lemah secara kejutan. Beragama memang perlu terobosan besar dan penuh kejutan. Kalau tidak, Ramadan kita hanya berlalu biasa-biasa saja. Sejatinya, jika kita ingin terus dekat dengan Tuhan, maka tetap dekatilah orang-orang miskin dan lapar selamanya. Jangan jadikan Ramadhan sebagai garis batas waktu untuk berbuat baik. Momentum menyayangi orang lemah ada dalam setiap detik dalam bulan apa saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar