Bahasa
Tuhan tentang Orang-Orang Lapar
Syarif Hidayat Santoso ; Alumnus FISIP Universitas Jember dan Santri Kalong
|
OKEZONENEWS,
03 Agustus 2014
Tahukah kita bahwa segala sifat Tuhan yang superior dalam gejala teologi tiba-tiba
luruh manakala menapaki ruh jagad kebahasaan. Ini lumrah dan jamak dijumpai
dalam ruang dialog kebahasaan manusia mana saja di muka bumi.
Bahkan dalam kitab hadits populer, bahasa memanusiakan Tuhan terlihat
dengan jelas tanpa satu tabir teologi yang menghalangi. Perhatikan misalnya
dalam kitab Riyadhus Salihinnya Imam Nawawi. Ada kalimat menarik yang
menunjukkan gejala kebahasaan yang terasa ganjil manakala berkait dengan
Tuhan.
Hadits tersebut berbunyi seperti ini, “Hai anak Adam, Aku lapar dan engkau tak memberiku makan. Ya Rabb
bagaimana kami akan memberimu makan sedang engkau adalah Tuhan semesta Alam.
Berkata Allah, Tidakkah engkau ketahui bahwa hamba-Ku si fulan lapar, tapi
engkau tidak memberinya makan? Tahukah engkau, bilamana engkau memberinya
makan, niscaya engkau akan menemui Aku disampingnya.”
Totalitas redaksi hadits riwayat Imam Muslim di atas malah lebih
menarik lagi karena menyertakan redaksi Tuhan sakit dan Tuhan haus. Lagi-lagi
arahnya mengarah ke hamba-hamba Allah yang sedang kelaparan, sakit dan
kehausan yang membutuhkan makanan, minuman dan welas asih dari hamba lain.
Gaya bahasa ini secara tasawuf menunjukkan satu kondisi
kedekatan antara Allah dan para hambanya yang sedang sakit, lapar dan haus.
Tak ada sama sekali tendensi bahwa Allah itu bisa sakit, lapar dan haus.
Adapula pendapat Syekh Ali Al Shobuni dalam Rawa’iul Bayan Fi Tafsiri Ayatil Ahkam Minal Quran yang menyebut
adanya mudhaf (gaya bahasa
menghilangkan sebuah kata) dalam redaksi hadits di atas.
Sebenarnya bahasa tentang Tuhan dan hamba bisa saja variatif dan
itu jamak dijumpai dalam tradisi Islam. Gaya bahasa yang menyindir kondisi
seorang hamba dengan bahasa memanusiakan Tuhan biasa terjadi. Contoh Ibnu
Arabi dalam kitab-kitab kontroversialnya seperti Fushus Al Hikam dan Futuhat
Al Makkiyah. Bagaimana Ibnu Arabi bersyair “aku bersujud kepada-Mu dan Engkau (Tuhan) bersujud kepadaku”.
Tradisi tasawuf biasanya menghadirkan gaya bahasa ala
orang-orang muqarrabin (makhluk
yang dekat kepada Allah) dengan menabrak batas-batas logika. Tentu saja ini
wajar karena logika sendiri berada dalam batas-batas rasionalitas manusia
yang terbatas. Artinya sesuatu itu menjadi logis justru karena berada dalam
ruang berpikir makhluk, bukan sesuatu yang terkait dengan dimensi ketuhanan.
Jagad Quran kebahasaan memang menyandarkan pada satu titik teori
permainan untuk memancing rasa dan rasio agar manusia berpikir. Mirip sekali
dengan Ibrahim yang pernah berkata kepada kaumnya “Bal, Fa’alahu Kabiruhum Hadza (sesungguhnya patung yang besar
itulah yang menghancurkannya). Di sini Ibrahim bukan berniat mengelak
tudingan penduduk Ur Kasdim yang melihat berhala-berhala pujaannya hancur.
Bukan pula Ibrahim berniat berbohong karena dalam teologi Sunni tak ada nabi
berbuat dosa.
Logika bahasa Ibrahim adalah logika menyindir (ta’ridh). Dengan ta’ridh Ibrahim mengajak berpikir kaumnya. Dengan ta’ridh pula Ibrahim mengaktifkan
aktifitas otak dan rasio kaum penyembah berhala.
Gaya bahasa seperti inilah yang sebenarnya perlu karena bersifat
multiguna. Satu sisi menghadirkan
ekspresi lain daripada arus bahasa kebanyakan. Sisi lainnya mengajak
orang untuk berpikir keras dan bahasawi. Pada hakikatnya, gaya bahasa Tuhan
yang menyebut dirinya lapar dan haus tak ada yang keliru, hanya gaya bahasa
itu rentan disalahtafsirkan oleh kalangan awam dan tentu saja tugas para
agamawan untuk mendekatkan ruh perasaannya bagi publik.
Itulah gaya bahasa terobosan untuk mendekatkan kita kepada orang
lemah secara kejutan. Beragama memang perlu terobosan besar dan penuh
kejutan. Kalau tidak, Ramadan kita hanya berlalu biasa-biasa saja. Sejatinya,
jika kita ingin terus dekat dengan Tuhan, maka tetap dekatilah orang-orang
miskin dan lapar selamanya. Jangan jadikan Ramadhan sebagai garis batas waktu
untuk berbuat baik. Momentum menyayangi orang lemah ada dalam setiap detik
dalam bulan apa saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar