Penangkapan Hercules dan anak buahnya oleh Polda Metro
Jaya karena diduga melakukan tindakan pemerasan (Republika, 10/03/2013)
membuat kita merenung kembali tentang makna keamanan dan kenyamanan sebagai
warga kota yang berada di Jakarta. Kasus Hercules dengan motif dugaan
pemerasan membuat kita kembali tersentak bahwa aksi premanisme dengan berbagai
modus dan jaringannya hidup bersenyawa dalam struktur sosial-ekonomi kota.
Premanisme tidak bisa dipisahkan dalam ruang sosial ekonomi kota ketika isu
ekonomi dan ketidakadilan masih merajalela dalam dinamika kota. Premanisme
ini membuat kita mempertanyakan bagaimana pemerintah kota memberikan
jaminan keamanan dan kenyamanan bagi warganya.
Masalah keamanan kota sejatinya menjadi masalah dan
tantangan yang dihadapi Jakarta dan juga kota-kota besar lainnya. Kita
dihadapkan pada krisis transportasi publik, kemacetan, kemiskinan kota,
lingkungan hidup, dan setumpuk persoalan lainnya. Kita sering melihat
nyawa seolah tak berharga di tengah kompleksitas Jakarta yang semakin
semerawut. Keamanan dan kenyamanan menjadi barang langka bagi masyarakat
Jakarta. Humanisme yang sejatinya hadir dalam ruang kota menjadi hilang.
Pembangunan kota yang tidak humanis akan mengakibatkan konflik sosial dan
krisis lingkungan.
Bandit Sosial
Isu premanisme kota sejatinya tidak hanya terjadi di
Indonesia, tetapi juga di berbagai kota, khususnya kota-kota di negara
dunia ketiga. Penjelasan ini di paparkan secara mendalam oleh sejarawan
Eric J Hobsbawm dalam bukunya Primitive Rebels(1959). Hobsbawm memperkenalkan
istilah social bandit atau social crime yang merujuk pada bentuk
populer perlawanan dan resistensi dari karakteristik perilaku hukum yang
ilegal.
Analisis Hobsbawm ini kemudian sering dirujuk pada
berbagai kasus munculnya premanisme sebagai bagian dari perilaku yang
melanggar hukum pemerintah. Kredit Hobsbawm memberikan pendekatan pada
munculnya banditisme sosial yang merupakan fenomena sosial yang telah
terjadi dalam sejarah manusia. Dalam perkembangannya, istilah banditisme
sosial ini kemudian melahirkan berbagai reproduksi perilaku seperti
jaringan premanisme atau sindikat kejahatan, dan pembajakan terorganisasi.
Penjelasan Hobsbawm juga kemudian menjadi referensi berbagai ilmuwan sosial
seperti sosiologi, kriminologi, antropologi dalam menjelaskan berbagai
bentuk kejahatan modern seperti geng jalanan maupun mafia perdagangan
obat-obatan terlarang. Dalam konteks Indonesia, kita pernah mendengar kelompok
preman yang dianggap sebagai kelompok pertama yang ada di Jakarta.
Kelompok ini oleh berbagai kalangan sering disebut Prems (Preman Sadar)
yang dipimpim Edo Mempor pada 1982. Kelompok ini bermarkas di lantai 2
Pasar Senen. Kelompok Prems kemudian bubar saat digelar Operasi Celurit
atau yang dikenal Petrus (penembakan misterius) pada 1983-1985. Dalam sejarah
kelompok ini, fenomena yang sering terjadi adalah duel antar-"pentolan"
preman mereka dibandingkan dengan bentrokan. Memasuki tahun 1990-an, banyak
terjadi perubahan dalam dunia preman.
Jika dahulu para preman punya peng hasilan dari memalak
para pedagang dan toko serta merampok, setelah era Petrus, para preman
mengandalkan pencaharian dari jasa penagihan dan menunggui lahan sengketa.
Fenomena saat ini adalah tawuran antarkelompok preman jika terjadi silang
sengketa.
Kasus penangkapan Hercules hanyalah salah satu fenomena gunung es premanisme
kota. Akar sosialnya adalah isu ekonomi yang menyumbang maraknya premanisme
tersebut. Jaringan preman memanfaatkan berbagai celah yang mampu
mempertahankan kehidupan mereka.
Aksi premanisme apa pun motif dan siapa pun jaringannya
tentu mengancam hak kita sebagai warga kota. Aparat keamanan harus bersikap
tegas dalam upaya penegakan hukum bagi pelaku premanisme kota.Tanpa pandang
bulu.
Premanisme kota bisa melemahkan kohesi sosial kota karena warganya akan
semakin frustrasi dengan hilangnya keamanan dan kenyamanan. Maraknya premanisme
juga menyebabkan terjadinya dehumanisasi kota. Kota semakin tidak nyaman
dan hilang dalam ketenangan warganya.
Sebagai bagian dari masyarakat Jakarta, kita berharap
bahwa Jakarta menjadi kota yang humanis dan manusiawi bagi seluruh
penghuninya. Ancaman keamanan dan kenyamanan yang perlahan-lahan semakin
meningkat harus nya juga menjadi perhatian penting pemerintah lokal. Lebih
dari itu, jika aksi premanisme tidak bisa dikelola oleh pemerintah kota,
ini akan menjadi ancaman serius yang bisa menyebabkan kota menjadi kota
mati karena ketidakmampuannya menyelesaikan masalahnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar