Minggu, 17 Maret 2013

Premanisme dan Dehumanisasi Kota


Premanisme dan Dehumanisasi Kota
Rakhmat Hidayat  ;   Pengajar Sosiologi Perkotaan Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Kandidat PhD Sosiologi di Universite Lumiere Lyon 2 Prancis
REPUBLIKA, 13 Maret 2013
  

Penangkapan Hercules dan anak buahnya oleh Polda Metro Jaya karena diduga melakukan tindakan pemerasan (Republika, 10/03/2013) membuat kita merenung kembali tentang makna keamanan dan kenyamanan sebagai warga kota yang berada di Jakarta. Kasus Hercules dengan motif dugaan pemerasan membuat kita kembali tersentak bahwa aksi premanisme dengan berbagai modus dan jaringannya hidup bersenyawa dalam struktur sosial-ekonomi kota.
Premanisme tidak bisa dipisahkan dalam ruang sosial ekonomi kota ketika isu ekonomi dan ketidakadilan masih merajalela dalam dinamika kota. Premanisme ini membuat kita mempertanyakan bagaimana pemerintah kota memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan bagi warganya. 

Masalah keamanan kota sejatinya menjadi masalah dan tantangan yang dihadapi Jakarta dan juga kota-kota besar lainnya. Kita dihadapkan pada krisis transportasi publik, kemacetan, kemiskinan kota, lingkungan hidup, dan setumpuk persoalan lainnya. Kita sering melihat nyawa seolah tak berharga di tengah kompleksitas Jakarta yang semakin semerawut. Keamanan dan kenyamanan menjadi barang langka bagi masyarakat Jakarta. Humanisme yang sejatinya hadir dalam ruang kota menjadi hilang. Pembangunan kota yang tidak humanis akan mengakibatkan konflik sosial dan krisis lingkungan. 

Bandit Sosial

Isu premanisme kota sejatinya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai kota, khususnya kota-kota di negara dunia ketiga. Penjelasan ini di paparkan secara mendalam oleh sejarawan Eric J Hobsbawm dalam bukunya Primitive Rebels(1959). Hobsbawm memperkenalkan istilah social bandit atau social crime yang merujuk pada bentuk populer perlawanan dan resistensi dari karakteristik perilaku hukum yang ilegal. 

Analisis Hobsbawm ini kemudian sering dirujuk pada berbagai kasus munculnya premanisme sebagai bagian dari perilaku yang melanggar hukum pemerintah. Kredit Hobsbawm memberikan pendekatan pada munculnya banditisme sosial yang merupakan fenomena sosial yang telah terjadi dalam sejarah manusia. Dalam perkembangannya, istilah banditisme sosial ini kemudian melahirkan berbagai reproduksi perilaku seperti jaringan premanisme atau sindikat kejahatan, dan pembajakan terorganisasi. 

Penjelasan Hobsbawm juga kemudian menjadi referensi berbagai ilmuwan sosial seperti sosiologi, kriminologi, antropologi dalam menjelaskan berbagai bentuk kejahatan modern seperti geng jalanan maupun mafia perdagangan obat-obatan terlarang. Dalam konteks Indonesia, kita pernah mendengar kelompok preman yang dianggap sebagai kelompok pertama yang ada di Jakarta.

Kelompok ini oleh berbagai kalangan sering disebut Prems (Preman Sadar)
yang dipimpim Edo Mempor pada 1982. Kelompok ini bermarkas di lantai 2 Pasar Senen. Kelompok Prems kemudian bubar saat digelar Operasi Celurit atau yang dikenal Petrus (penembakan misterius) pada 1983-1985. Dalam sejarah kelompok ini, fenomena yang sering terjadi adalah duel antar-"pentolan" preman mereka dibandingkan dengan bentrokan. Memasuki tahun 1990-an, banyak terjadi perubahan dalam dunia preman. 
Jika dahulu para preman punya peng hasilan dari memalak para pedagang dan toko serta merampok, setelah era Petrus, para preman mengandalkan pencaharian dari jasa penagihan dan menunggui lahan sengketa. Fenomena saat ini adalah tawuran antarkelompok preman jika terjadi silang sengketa.
Kasus penangkapan Hercules hanyalah salah satu fenomena gunung es premanisme kota. Akar sosialnya adalah isu ekonomi yang menyumbang maraknya premanisme tersebut. Jaringan preman memanfaatkan berbagai celah yang mampu mempertahankan kehidupan mereka. 

Aksi premanisme apa pun motif dan siapa pun jaringannya tentu mengancam hak kita sebagai warga kota. Aparat keamanan harus bersikap tegas dalam upaya penegakan hukum bagi pelaku premanisme kota.Tanpa pandang bulu.
Premanisme kota bisa melemahkan kohesi sosial kota karena warganya akan semakin frustrasi dengan hilangnya keamanan dan kenyamanan. Maraknya premanisme juga menyebabkan terjadinya dehumanisasi kota. Kota semakin tidak nyaman dan hilang dalam ketenangan warganya. 

Sebagai bagian dari masyarakat Jakarta, kita berharap bahwa Jakarta menjadi kota yang humanis dan manusiawi bagi seluruh penghuninya. Ancaman keamanan dan kenyamanan yang perlahan-lahan semakin meningkat harus nya juga menjadi perhatian penting pemerintah lokal. Lebih dari itu, jika aksi premanisme tidak bisa dikelola oleh pemerintah kota, ini akan menjadi ancaman serius yang bisa menyebabkan kota menjadi kota mati karena ketidakmampuannya menyelesaikan masalahnya. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar