Konflik-konflik
agraria yang meletus di mana-mana telah menggerakkan para dosen dan
peneliti agraria untuk tampil ke depan menyuarakan gawatnya konflik-konflik
agraria saat ini, dan penanganannya yang tidak memadai.
Lebih
dari 150 dosen dan peneliti yang menamakan diri Forum Indonesia untuk
Keadilan Agraria (FIKA) bertemu pada awal Februari 2013 di Jakarta untuk
menyampaikan keprihatinan mendalam dan kepedulian.
Konflik
agraria di sini adalah konflik-konflik agraria struktural berupa
pertentangan klaim yang terbuka dan berkepanjangan mengenai yang berhak
atas akses terhadap tanah, sumber daya alam (SDA), dan wilayah antara suatu
kelompok rakyat pedesaan dengan badan usaha raksasa yang bergerak dalam
bidang produksi, ekstraksi, konservasi, dan lainnya.
Pihak-pihak
yang bertentangan tersebut berupaya dan bertindak, langsung maupun tak
langsung, menghilangkan klaim pihak lain.
Konflik-konflik
agraria itu berawal dari pemberian izin/hak oleh menteri kehutanan, menteri
energi dan sumber daya mineral, kepala Badan Pertanahan Nasional, gubernur,
dan bupati, kepada perusahaan-perusahaan raksasa yang bergerak dalam bidang
ekstraksi, produksi, maupun konservasi berbasiskan sumber daya alam.
Pemberian
izin/hak itu dengan memasukkan tanah, SDA, dan wilayah rakyat tertentu ke
dalam konsesi. Pemerintah mengeksklusi masyarakat dari tanah, SDA, dan
wilayah kelolanya. Akses masyarakat itu dibatasi atau dihilangkan
sepenuhnya.
Dalam
literatur studi agraria terbaru, konsep akses dan eksklusi adalah dua
konsep yang diletakkan sebagai dua sisi dari satu mata uang.
Akses
dimaknai sebagai “kemampuan untuk mendapat manfaat dari sesuatu, termasuk
objek-objek material, orang-orang, institusi-institusi dan simbol-simbol”
(Jesse C Ribot dan Nancy Peluso 2003, Theory of Access, halaman 153),
sedangkan eksklusi dimaknai sebagai “cara-cara di mana orang lain dicegah
untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu (lebih khususnya, tanah)”, dan
proses eksklusi ini menggunakan regulasi, pasar, kekuatan, dan legitimasi
(Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li 2011, Power of Exclusion,
halaman 7 dst).
Keprihatinan
FIKA itu bukan hanya pada konflik-konflik agraria yang kian meledak di
mana-mana, melainkan juga pada penanganannya oleh pemerintah yang tidak
memadai.
Dalam
merespons kasus Mesuji, Presiden SBY telah membentuk Tim Gabungan Pencari
Fakta yang beranggotakan elemen pemerintah dan masyarakat sipil. Tim ini
telah bekerja dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah.
Sebagian
para dosen dan peneliti ini memperhatikan dengan saksama perjalanan kasus
Mesuji ini, termasuk langkah-langkah penanganannya. Setelah masing-masing
lembaga pemerintah menerima rekomendasi TGPF, sepanjang 2012, kita
menyaksikan penanganannya tidak memadai sehingga bentrokan dan aksi protes
kembali meletus beberapa kali di lokasi-lokasi kasus maupun di
kantor-kantor pemerintah daerah Lampung dan Sumatera Selatan.
Menurut
kami, masalahnya terletak bukan karena belum puasnya masyarakat korban
terhadap penanganan kasus, melainkan karena akar konflik, yakni penguasaan
tanah skala luas di atas lahan-lahan yang sebagian milik masyarakat, belum
mendapat respons dengan baik. Pemerintah seharusnya melakukan review
atau kaji-ulang perizinan terhadap izin-izin yang sudah mereka keluarkan
untuk para perusahaan tersebut.
Kesempatan Terakhir SBY?
Model-model
penyelesaian yang bersifat tambal-sulam, apalagi yang merumitkan dan
menambah masalah baru, menjadi tak berguna. Pemerintah tak akan berhasil
mengatasi konflik-konflik agraria jika yang dilakukan hanya menghilangkan
gejalanya.
Misalnya
dengan menerapkan pendekatan keamanan untuk membasmi kelompok masyarakat
yang dianggap sebagai pengacau keamanan sebagaimana yang diterapkan dalam
kasus PTPN VII Cinta Manis, kasus Mesuji, kasus Bima, dan kasus-kasus lain.
Akibatnya, muncul ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah yang dianggap
lamban dan tidak menyelesaikan konflik dengan tepat.
Kita
menyaksikan, di tengah tidak ada jaminan atas kepastian hukum kepemilikan
rakyat setempat, termasuk masyarakat hukum adat dan tuna-kisma yang butuh
tanah garapan, pemerintah di semua tingkatan dan sektor meneruskan
pemberian konsesi-konsesi baru, atau memperpanjang yang lama.
Moratorium
diperlakukan secara terbatas hanya pada periode waktu tertentu dan hanya
pada kawasan yang ber-rawa gambut karena potensi serapan karbon yang besar.
Oleh karena itu, dapat diargumenkan bahwa alih-alih menyelesaikan konflik,
pemerintah justru terus memproduksinya.
Konflik
agraria struktural, tidak bisa tidak, harus diselesaikan dengan pendekatan
struktural juga, yaitu dengan tindakan pemerintah mengoreksi
kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkannya. Karena konflik-konflik
agraria ini musti dipandang sebagai ketidakadilan yang luar biasa, extra-ordinary injustices, FIKA
mengusulkan presiden membentuk satu komisi khusus untuk menanganinya. Hal
ini dinilai setingkat dengan korupsi yang telah dianggap extra-ordinary crimes, sehingga
penanganannya perlu komisi khusus.
Di
dalam petisi agraria tersebut, para dosen dan peneliti merekomendasikan
pemerintah untuk kembali pada amanat TAP MPR No IX/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan SDA. Dua belas tahun TAP ini berlaku, namun
Presiden SBY dan DPR belum menjalankan, atau malah melupakan mandat TAP IX
dan arah pembaruan agraria dan pengelolaan SDA.
Misalnya,
bukannya menjalankan kaji-ulang semua kebijakan yang tumpang tindih di
bidang SDA, pemerintah justru mengeluarkan peraturan-perundangan baru di
bidang SDA, termasuk UU Mineral dan Batu Bara, UU Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Kelautan, UU Pengadaan Tanah, dan sekarang sedang menyusun RUU
Pertanahan.
Badan
Pertanahan Nasional juga terus-menerus memperpanjang HGU baru untuk
perusahaan-perusahaan perkebunan, dan menteri kehutanan terus mengeluarkan
izin-izin HTI untuk perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan. Sementara
itu, menteri ESDM dan pemerintah daerah tak berhenti mengeluarkan izin
untuk perusahaan pertambangan.
Pembaruan
agraria dan pengelolaan SDA yang berkelanjutan yang menjadi arah
kebijakan TAP IX/2001 ini, menjadi agenda yang terkatung-katung. Dengan
tidak dilaksanakannya hal itu, kerusakan lingkungan makin menjadi,
ketimpangan penguasaan tanah dan SDA kian tajam, dan konflik agraria banyak
merebak di Nusantara.
Saat
ini, masih tersisa waktu satu tahun setengah bagi Presiden SBY untuk
memenuhi mandat kaji-ulang peraturan-peraturan agraria dan pengelolaan SDA
tersebut sebelum masa pemerintahannya berakhir. FIKA merekomendasikan
Presiden SBY untuk mengeluarkan moratorium revisi perundang-undangan di
bidang agraria dan PSDA sampai seluruh proses kaji-ulang itu selesai
dilakukan.
Presiden
juga perlu menghidupkan eksistensi UU payung, seperti yang pernah dibuat
Presiden Soekarno dengan UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, untuk mengatasi berbagai undang-undang sektoral yang bertentangan
dan bertumpang tindih satu sama lain. Menurut penulis, jika hal ini tak
dijalankan, kita akan terus menyaksikan masyarakat yang dirugikan
memperkarakan berbagai pasal dalam perundang-undangan agraria dan PSDA
melalui Mahkamah Konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar