Jumat, 01 Maret 2013

Petisi Akademikus Agraria 2013 untuk SBY


Petisi Akademikus Agraria 2013 untuk SBY
Noer Fauzy R dan S Rakhma MH.Noer Fauzi Rachman, PhD adalah Direktur Sajogyo Institute dan dosen pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor;
S. Rakhma Mary H, SH, MSi adalah Manajer Program Pembaruan Hukum dan Resolusi Konflik pada Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), dan Dosen pada Fakultas Hukum, Universitas Presiden
SINAR HARAPAN, 28 Februari 2013


Konflik-konflik agraria yang meletus di mana-mana telah menggerakkan para dosen dan peneliti agraria untuk tampil ke depan menyuarakan gawatnya konflik-konflik agraria saat ini, dan penanganannya yang tidak memadai.

Lebih dari 150 dosen dan peneliti yang menamakan diri Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria (FIKA) bertemu pada awal Februari 2013 di Jakarta untuk menyampaikan keprihatinan mendalam dan kepedulian.

Konflik agraria di sini adalah konflik-konflik agraria struktural berupa pertentangan klaim yang terbuka dan berkepanjangan mengenai yang berhak atas akses terhadap tanah, sumber daya alam (SDA), dan wilayah antara suatu kelompok rakyat pedesaan dengan badan usaha raksasa yang bergerak dalam bidang produksi, ekstraksi, konservasi, dan lainnya.

Pihak-pihak yang bertentangan tersebut berupaya dan bertindak, langsung maupun tak langsung, menghilangkan klaim pihak lain.

Konflik-konflik agraria itu berawal dari pemberian izin/hak oleh menteri kehutanan, menteri energi dan sumber daya mineral, kepala Badan Pertanahan Nasional, gubernur, dan bupati, kepada perusahaan-perusahaan raksasa yang bergerak dalam bidang ekstraksi, produksi, maupun konservasi berbasiskan sumber daya alam.

Pemberian izin/hak itu dengan memasukkan tanah, SDA, dan wilayah rakyat tertentu ke dalam konsesi. Pemerintah mengeksklusi masyarakat dari tanah, SDA, dan wilayah kelolanya. Akses masyarakat itu dibatasi atau dihilangkan sepenuhnya.

Dalam literatur studi agraria terbaru, konsep akses dan eksklusi adalah dua konsep yang diletakkan sebagai dua sisi dari satu mata uang.

Akses dimaknai sebagai “kemampuan untuk mendapat manfaat dari sesuatu, termasuk objek-objek material, orang-orang, institusi-institusi dan simbol-simbol” (Jesse C Ribot dan Nancy Peluso 2003, Theory of Access, halaman 153), sedangkan eksklusi dimaknai sebagai “cara-cara di mana orang lain dicegah untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu (lebih khususnya, tanah)”, dan proses eksklusi ini menggunakan regulasi, pasar, kekuatan, dan legitimasi (Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li 2011, Power of Exclusion, halaman 7 dst).

Keprihatinan FIKA itu bukan hanya pada konflik-konflik agraria yang kian meledak di mana-mana, melainkan juga pada penanganannya oleh pemerintah yang tidak memadai.
Dalam merespons kasus Mesuji, Presiden SBY telah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta yang beranggotakan elemen pemerintah dan masyarakat sipil. Tim ini telah bekerja dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah.

Sebagian para dosen dan peneliti ini memperhatikan dengan saksama perjalanan kasus Mesuji ini, termasuk langkah-langkah penanganannya. Setelah masing-masing lembaga pemerintah menerima rekomendasi TGPF, sepanjang 2012, kita menyaksikan penanganannya tidak memadai sehingga bentrokan dan aksi protes kembali meletus beberapa kali di lokasi-lokasi kasus maupun di kantor-kantor pemerintah daerah Lampung dan Sumatera Selatan.

Menurut kami, masalahnya terletak bukan karena belum puasnya masyarakat korban terhadap penanganan kasus, melainkan karena akar konflik, yakni penguasaan tanah skala luas di atas lahan-lahan yang sebagian milik masyarakat, belum mendapat respons dengan baik. Pemerintah seharusnya melakukan review atau kaji-ulang perizinan terhadap izin-izin yang sudah mereka keluarkan untuk para perusahaan tersebut.

Kesempatan Terakhir SBY?

Model-model penyelesaian yang bersifat tambal-sulam, apalagi yang merumitkan dan menambah masalah baru, menjadi tak berguna. Pemerintah tak akan berhasil mengatasi konflik-konflik agraria jika yang dilakukan hanya menghilangkan gejalanya.
Misalnya dengan menerapkan pendekatan keamanan untuk membasmi kelompok masyarakat yang dianggap sebagai pengacau keamanan sebagaimana yang diterapkan dalam kasus PTPN VII Cinta Manis, kasus Mesuji, kasus Bima, dan kasus-kasus lain. Akibatnya, muncul ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah yang dianggap lamban dan tidak menyelesaikan konflik dengan tepat.

Kita menyaksikan, di tengah tidak ada jaminan atas kepastian hukum kepemilikan rakyat setempat, termasuk masyarakat hukum adat dan tuna-kisma yang butuh tanah garapan, pemerintah di semua tingkatan dan sektor meneruskan pemberian konsesi-konsesi baru, atau memperpanjang yang lama.

Moratorium diperlakukan secara terbatas hanya pada periode waktu tertentu dan hanya pada kawasan yang ber-rawa gambut karena potensi serapan karbon yang besar. Oleh karena itu, dapat diargumenkan bahwa alih-alih menyelesaikan konflik, pemerintah justru terus memproduksinya.

Konflik agraria struktural, tidak bisa tidak, harus diselesaikan dengan pendekatan struktural juga, yaitu dengan tindakan pemerintah mengoreksi kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkannya. Karena konflik-konflik agraria ini musti dipandang sebagai ketidakadilan yang luar biasa, extra-ordinary injustices, FIKA mengusulkan presiden membentuk satu komisi khusus untuk menanganinya. Hal ini dinilai setingkat dengan korupsi yang telah dianggap extra-ordinary crimes, sehingga penanganannya perlu komisi khusus.

Di dalam petisi agraria tersebut, para dosen dan peneliti merekomendasikan pemerintah untuk kembali pada amanat TAP MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA. Dua belas tahun TAP ini berlaku, namun Presiden SBY dan DPR belum menjalankan, atau malah melupakan mandat TAP IX dan arah pembaruan agraria dan pengelolaan SDA.

Misalnya, bukannya menjalankan kaji-ulang semua kebijakan yang tumpang tindih di bidang SDA, pemerintah justru mengeluarkan peraturan-perundangan baru di bidang SDA, termasuk UU Mineral dan Batu Bara, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Kelautan, UU Pengadaan Tanah, dan sekarang sedang menyusun RUU Pertanahan.
Badan Pertanahan Nasional juga terus-menerus memperpanjang HGU baru untuk perusahaan-perusahaan perkebunan, dan menteri kehutanan terus mengeluarkan izin-izin HTI untuk perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan. Sementara itu, menteri ESDM dan pemerintah daerah tak berhenti mengeluarkan izin untuk perusahaan pertambangan.

Pembaruan agraria dan pengelolaan SDA yang berkelanjutan yang menjadi arah kebijakan TAP IX/2001 ini, menjadi agenda yang terkatung-katung. Dengan tidak dilaksanakannya hal itu, kerusakan lingkungan makin menjadi, ketimpangan penguasaan tanah dan SDA kian tajam, dan konflik agraria banyak merebak di Nusantara.

Saat ini, masih tersisa waktu satu tahun setengah bagi Presiden SBY untuk memenuhi mandat kaji-ulang peraturan-peraturan agraria dan pengelolaan SDA tersebut sebelum masa pemerintahannya berakhir. FIKA merekomendasikan Presiden SBY untuk mengeluarkan moratorium revisi perundang-undangan di bidang agraria dan PSDA sampai seluruh proses kaji-ulang itu selesai dilakukan.

Presiden juga perlu menghidupkan eksistensi UU payung, seperti yang pernah dibuat Presiden Soekarno dengan UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, untuk mengatasi berbagai undang-undang sektoral yang bertentangan dan bertumpang tindih satu sama lain. Menurut penulis, jika hal ini tak dijalankan, kita akan terus menyaksikan masyarakat yang dirugikan memperkarakan berbagai pasal dalam perundang-undangan agraria dan PSDA melalui Mahkamah Konstitusi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar