MEMBACA berita pada harian ini
tentang penetapan ketua umum partai berkuasa sebagai tersangka korupsi (SM,
23/02/13), saya bertambah yakin atas pemikiran para etikus bahwa dalam
ranah politik pun berlaku teori kambing hitam. Menurut mereka, kambing
hitam punya posisi unik dalam politik; ia tampak sebagai terkutuk sekaligus
pembawa keselamatan. Syahdan para pendiri partai punya adagium biarlah ada
orang jadi si terkutuk, yang terpenting partai bisa diselamatkan.
Semua tahu,
siapa kini yang kini menjadi si terkutuk kendati perlu menyertakan sejumlah
catatan kaki. Apa iya mantan ketua umum organisasi mahasiswa terkemuka
menjadi koruptor? Apa iya, dia korupsi seorang diri tanpa sepengetahuan
atau ’’persetujuan’’ kolega, bahkan senior di partai? Apa iya, seluruh uang
korupsi dikantongi sendiri tanpa sedikit pun masuk ke kas partai?
Pengibaratan
kambing hitam merupakan metafor yang bisa ditafsirkan kurang lebih
"orang atau pihak yang dalam suatu peristiwa sebenarnya tidak (belum
tentu) bersalah tetapi perlu dipersalahkan atau dijadikan tumpuan
kesalahan". Tatkala memilih kambing hitam, hakikatnya kita sedang
menunjuk seseorang atau satu pihak sebagai biang kesalahan.
Supaya tidak mencolok maka
pengalihan kesalahan kepada orang itu, perlu memakai merangkaikan dengan
beragam dalih guna menegaskan bahwa si kambing hitam itu benar-benar sudah
melakukan kesalahan. Tanpa menyertakan aneka dalih itu, arah sangkaan kita
lebih pada penyebaran fitnah.
Tokoh yang
dikutuk itu menjadi tumpuan kesalahan atas keanjlokan elektabilitas partai,
dan kemenurunan angka tersebut menjadi dalih untuk menegaskan
kesalahan dia. Pada Desember 2012 elektabilitas partai itu menunjukkan
angka 8,3% (versi survei Saiful
Mujani Research and Consulting/ SMRC) atau 11,1% (versi Litbang
Kompas). Padahal pada Mei 2011 masih 18,9% (versi LSI) dan 19,0% (versi
SMRC).
Sebagian besar
responden menyebut kasus korupsi yang membelit partai menyebabkan
kemenurunan tingkat kepercayaan mereka terhadap partai tersebut. Minimal,
sebelumnya ada 3 kader yang ditahan lantaran terbukti korupsi, dan satu
lagi masih menjadi tersangka. Mereka itu mantan bendahara umum, sang putri
yang mantan wasekjen, dan mantan anggota dewan pembina. Satu lagi, mantan
sekretaris dewan pembina, dan pernah menjabat menteri.
Sekali lagi,
kali ini mengacu pada alasan para responden dalam survei tersebut,
semestinya kader lain yang juga korupsi layak menjadi tumpuan kesalahan.
Kenapa penajaman predikat terkutuk itu terfokus kepada hanya seorang? Di
sinilah kemenarikannya dan dalam konteks itu pula teori kambing hitam
menemukan bukti.
Cuci Tangan
Sebenarnya,
mekanisme kambing hitam tidak sekadar mencari tumpuan kesalahan. Kambing
hitam pun sejatinya mengincar musuh bersama dari sebuah rivalitas.
Dalam tubuh parpol, apalagi menjelang Pileg dan Pilpres 2014, rivalitas itu
menguat, dan orang di dalamnya menggunakan teori kambing hitam untuk bisa
keluar dari rivalitas.
Mungkin menjadi
pertanyaan, bukankah mencari kambing hitam tak sesuai etika? Soal etika
politik, urusan belakangan. Sebagian besar politikus adalah machiavellian.
Filsuf politik Machiavelli menyatakan tak ada kejahatan dalam politik, yang
ada hanya kesalahan kecil. Bahkan ia menyarankan menetapkan tujuan dengan
segala cara karena semua halal.
Saya meminjam kerangka
pemikiran Raymund Schwager, saat meringkas teori kambing hitam filsuf Rene
Girard, "...karena kambing
hitam, rivalitas diredakan, konflik dan kekerasan dihilangkan, dan
masyarakat kembali dalam ketenangan". Elektabilitas parpol yang
terus menurun, mengusik ketenangan partai.
Tatkala
kedamaian hilang dari tubuh parpol karena guncangan rivalitas tadi, yang
memungkinkan dilakukan adalah berupaya memulihkan diri. Cara yang lazim
adalah mengalihkan agresi rivalitas kepada "musuh bersama".
Kemudian kekuatan agresi tadi dipakai menyerang "musuh
bersama". Maka, kata Girard, semua orang mengerahkan permusuhannya
kepada kambing hitam yang mereka pilih secara semena-mena.
Politik kambing
hitam merepresentasikan sikap tak mau bertanggung jawab, lari dari
kesalahan, dan lebih memilih posisi aman. Kemerosotan kpercayaan publik
terhadap sebuah parpol seyogianya tanggung jawab kader. Bagaimana kembali
membangun kepercayaan publik, serta bagaimana menunjukkan kerja dan karya
kepada publik guna mendongkrak elektabilitas.
Itulah cara
cerdas, bukan mencari kambing hitam, atau saling lempar tudingan semisal, "Gara-gara dia disebut-sebut
terlibat korupsi, elektabilitas partai kita turun." Kini,
bergantung pada si kambing hitam itu, apakah sekadar pasang badan atau
malah berniat "membuka lembaran berikutnya’’, bahkan menyangkut kasus
besar lain.
Khalayak tentu tak ingin dia
sekadar pasang badan. Publik ingin tahu, apa sebenarnya yang ia maksud akan
membuka ’’halaman berikutnya’’ di balik kasus yang ditimpakan kepadanya.
Sekaligus membuktikan bahwa ia bukan kambing hitam sendirian karena ada
nama lain yang juga layak menemani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar