Jumat, 01 Maret 2013

Pemolitikan Teori Kambing Hitam


Pemolitikan Teori Kambing Hitam
Toto Suparto Pengkaji Masalah Etika, Tinggal di Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 28 Februari 2013


MEMBACA berita pada harian ini tentang penetapan ketua umum partai berkuasa sebagai tersangka korupsi (SM, 23/02/13), saya bertambah yakin atas pemikiran para etikus bahwa dalam ranah politik pun berlaku teori kambing hitam. Menurut mereka, kambing hitam punya posisi unik dalam politik; ia tampak sebagai terkutuk sekaligus pembawa keselamatan. Syahdan para pendiri partai punya adagium biarlah ada orang jadi si terkutuk, yang terpenting partai bisa diselamatkan.

Semua tahu, siapa kini yang kini menjadi si terkutuk kendati perlu menyertakan sejumlah catatan kaki. Apa iya mantan ketua umum organisasi mahasiswa terkemuka menjadi koruptor? Apa iya, dia korupsi seorang diri tanpa sepengetahuan atau ’’persetujuan’’ kolega, bahkan senior di partai? Apa iya, seluruh uang korupsi dikantongi sendiri tanpa sedikit pun masuk ke kas partai?

Pengibaratan kambing hitam merupakan metafor yang bisa ditafsirkan kurang lebih "orang atau pihak yang dalam suatu peristiwa sebenarnya tidak (belum tentu) bersalah tetapi perlu dipersalahkan atau dijadikan tumpuan kesalahan". Tatkala memilih kambing hitam, hakikatnya kita sedang menunjuk seseorang atau satu pihak sebagai biang kesalahan.
Supaya tidak mencolok maka pengalihan kesalahan kepada orang itu, perlu memakai merangkaikan dengan beragam dalih guna menegaskan bahwa si kambing hitam itu benar-benar sudah melakukan kesalahan. Tanpa menyertakan aneka dalih itu, arah sangkaan kita lebih pada penyebaran fitnah. 

Tokoh yang dikutuk itu menjadi tumpuan kesalahan atas keanjlokan elektabilitas partai, dan  kemenurunan angka tersebut menjadi dalih untuk menegaskan kesalahan dia. Pada Desember 2012 elektabilitas partai itu menunjukkan angka 8,3% (versi survei Saiful Mujani Research and Consulting/ SMRC) atau 11,1% (versi Litbang Kompas). Padahal pada Mei 2011 masih 18,9% (versi LSI) dan 19,0% (versi SMRC).

Sebagian besar responden menyebut kasus korupsi yang membelit partai menyebabkan kemenurunan tingkat kepercayaan mereka terhadap partai tersebut. Minimal, sebelumnya ada 3 kader yang ditahan lantaran terbukti korupsi, dan satu lagi masih menjadi tersangka. Mereka itu mantan bendahara umum, sang putri yang mantan wasekjen, dan mantan anggota dewan pembina. Satu lagi, mantan sekretaris dewan pembina, dan pernah menjabat menteri.

Sekali lagi, kali ini mengacu pada alasan para responden dalam survei tersebut, semestinya kader lain yang juga korupsi layak menjadi tumpuan kesalahan. Kenapa penajaman predikat terkutuk itu terfokus kepada hanya seorang? Di sinilah kemenarikannya dan dalam konteks itu pula teori kambing hitam menemukan bukti. 

Cuci Tangan

Sebenarnya, mekanisme kambing hitam tidak sekadar mencari tumpuan kesalahan. Kambing hitam pun sejatinya mengincar  musuh bersama dari sebuah rivalitas. Dalam tubuh parpol, apalagi menjelang Pileg dan Pilpres 2014, rivalitas itu menguat, dan orang di dalamnya menggunakan teori kambing hitam untuk bisa keluar dari rivalitas. 

Mungkin menjadi pertanyaan, bukankah mencari kambing hitam tak sesuai etika? Soal etika politik, urusan belakangan. Sebagian besar politikus adalah machiavellian. Filsuf politik Machiavelli menyatakan tak ada kejahatan dalam politik, yang ada hanya kesalahan kecil. Bahkan ia menyarankan menetapkan tujuan dengan segala cara karena semua halal. 
Saya meminjam kerangka pemikiran Raymund Schwager, saat meringkas teori kambing hitam filsuf Rene Girard, "...karena kambing hitam, rivalitas diredakan, konflik dan kekerasan dihilangkan, dan masyarakat kembali dalam ketenangan". Elektabilitas parpol yang terus menurun, mengusik ketenangan partai. 

Tatkala kedamaian hilang dari tubuh parpol karena guncangan rivalitas tadi, yang memungkinkan dilakukan adalah berupaya memulihkan diri. Cara yang lazim adalah mengalihkan agresi rivalitas kepada "musuh bersama". Kemudian kekuatan agresi tadi dipakai  menyerang "musuh bersama". Maka, kata Girard, semua orang mengerahkan permusuhannya kepada kambing hitam yang mereka pilih secara semena-mena. 

Politik kambing hitam merepresentasikan sikap tak mau bertanggung jawab, lari dari kesalahan, dan lebih memilih posisi aman. Kemerosotan kpercayaan publik terhadap sebuah parpol seyogianya tanggung jawab kader. Bagaimana kembali membangun kepercayaan publik, serta bagaimana menunjukkan kerja dan karya kepada publik guna mendongkrak elektabilitas. 

Itulah cara cerdas, bukan mencari kambing hitam, atau saling lempar tudingan semisal, "Gara-gara dia disebut-sebut terlibat korupsi, elektabilitas partai kita turun." Kini, bergantung pada si kambing hitam itu, apakah sekadar pasang badan atau malah berniat "membuka lembaran berikutnya’’, bahkan menyangkut kasus besar lain. 
Khalayak tentu tak ingin dia sekadar pasang badan. Publik ingin tahu, apa sebenarnya yang ia maksud akan membuka ’’halaman berikutnya’’ di balik kasus yang ditimpakan kepadanya. Sekaligus membuktikan bahwa ia bukan kambing hitam sendirian karena ada nama lain yang juga layak menemani. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar