Selasa, 12 Maret 2013

Penipuan Berkedok Emas


Penipuan Berkedok Emas
Iman Sugema  ;   Ekonom
REPUBLIKA, 11 Maret 2013


Dalam beberapa hari terakhir ini, halaman muka hampir semua media massa memberitakan praktik penipuan yang berbasis investasi emas. Ini bukan modus penipuan yang baru tentunya. Saya sangat berharap pemerintah dapat secara proaktif mencegah praktik serupa ini pada masa yang akan datang.

Ada dua masalah utama yang mengakibatkan praktik penipuan ini bisa berkembang dalam skala triliunan rupiah. Pertama, skema transaksi yang menggiurkan dan yang kedua adalah lemahnya sistem pengaturan oleh pemerintah. Akibatnya, ada kesan pemerintah melakukan pembiaran begitu saja sampai-sampai timbul korban begitu banyak. Dua hal itulah yang hendak kita bahas.

Praktik penipuan seperti ini sebenarnya amatlah mudah untuk diidentifikasi apabila aparat penegak hukum sedikit serius dalam melakukan pencegahan. Biasanya terdapat ciri-ciri Ponzi gamedi dalam skema transaksinya. Ciri utamanya adalah imbalan atas investasi yang diberikan oleh pihak perusahaan tergolong tidak masuk akal.

Kalau tidak masuk akal, pasti imbalan itu bukan berasal dari keuntungan yang diperoleh perusahaan. Imbalan itu berasal dari pertumbuhan jumlah uang `nasabah' yang dibenamkan di perusahaan. Imbalan yang diberikan kepada nasabah lama merupakan uang yang berasal dari nasabah baru. Selama jumlah uang dari nasabah baru mengucur deras, kewajiban terhadap nasabah lama dapat dibayarkan. 
Biasanya, nasabah lama juga akan terpancing untuk membenamkan uang lebih banyak lagi sehingga sebetulnya dia mendapatkan imbalan dari uangnya sendiri.

Permainan Ponzi akan segera kolaps ketika imbalan yang dijanjikan tidak dapat diimbangi dengan pemasukan baru. Ketika itulah nasabah baru sadar bahwa ia sudah tertipu. Kata kuncinya adalah im balan investasi yang sangat menggiurkan sehingga tidak masuk akal. Sebagai contoh, ada sebuah perusahaan yang menjanjikan imbalan investasi emas sebesar 2,5 persen per bulan. Dalam satu tahun, Anda mendapatkan 36 persen secara pasti. Bahkan, ada pula yang berani menawarkan imbalan di atas 50 persen.

Kalau sebuah bank besar hanya mampu memberikan suku bunga sebesar enam persen, apakah Anda bisa percaya pada sebuah perusahaan yang tak jelas asal-usulnya, tak jelas siapa pengelolanya, dan tak jelas rekam jejaknya. Celakanya ternyata banyak sekali orang yang percaya bahwa secara simsalabim perusahaan tersebut bisa mencetak laba lebih spektakuler dibanding sebuah lembaga keuangan yang sangat terkenal sekalipun.

Intinya, kalau pemerintah mau sedikit saja bekerja untuk melindungi kepentingan rakyat, sangatlah mudah untuk mencegah praktik simsalabim seperti ini. Cirinya mudah diidentifikasi. Selain janjinya tergolong gombal, pasti perusahaannya juga baru saja berdiri. Kalau iming-imingnya dua kali atau lebih dari suku bunga deposito bank, pasti pengelola perusahaan tersebut memang sejak awal berniat untuk menipu.

Masalah berikutnya menyangkut perizinan usaha. Biasanya perusahaan itu hanya memiliki izin sebagai perusahaan dagang biasa. Dalam praktiknya, mereka beroperasi sebagai perusahaan investasi dengan melakukan `pengumpulan dana' dari masyarakat.

Izin perusahaan keuangan hanya diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau dahulu oleh Bank Indonesia dan Bapepam-LK. Pengaturan di bidang keuangan biasanya sangat ketat sehingga sulit untuk ditembus oleh perusahaan abal-abal. Persoalannya memang ada dalam aturan perundang-undangan. Tidak ada aturan yang `mengharamkan' perusahaan dagang untuk melakukan kegiatan yang mirip-mirip dengan perusahaan keuangan. Kata mirip-mirip ini harus digarisbawahi karena perusahaan itu biasanya secara sengaja menyamarkan transaksi keuangan dalam kedok transaksi jual beli biasa.

Mungkin akan lebih jelas kalau saya memberikan contoh. Misalkan ada sebuah perusahaan yang menawarkan investasi dalam bentuk jual beli emas. Kalau Anda membeli emas dari perusahaan tersebut dan Anda sepenuhnya `menguasai' emas di tangan Anda, jatuhnya adalah transaksi jual beli biasa. Itu sama saja dengan ketika Anda membeli emas di toko emas di manapun. Ketika harga emas naik, Anda untung dan sebaliknya Anda buntung ketika harga emas turun. Semua risiko ada di tangan Anda.

Ada pula jenis transaksi keuangan yang diberi kedok jual beli emas. Anda diminta untuk berinvestasi dalam bentuk pembelian emas dan sebagian atau seluruh emas itu dikelola oleh perusahaan itu dan kemudian Anda diberi `janji' mendapat imbalan yang sifatnya tetap setiap bulan atau setiap tahun.
Sebetulnya ini merupakan transaksi keuangan dan seharusnya perusahaan tersebut memiliki izin sebagai perusahaan keuangan. Transaksi jual beli hanyalah kedok untuk menyiasati aturan perizinan. Mengapa begitu?

Perusahaan itu telah bertindak sebagai pengelola aset dan dari memutarkan aset tersebut kemudian seolah-olah Anda akan mendapatkan keuntungan yang dijamin pasti diperoleh. Hakikatnya sama dengan bank atau pengelola reksa dana. Uang dikumpulkan dari masyarakat, dikelola, dan kemudian pemilik uang mendapatkan keuntungan hasil usaha. Toh, emas juga harus ditebus dengan uang, bukan. Yang Anda serahkan kepada perusahaan adalah uang bukan?

Jadi, perusahaan itu sebetulnya bertindak sebagai perusahaan keuangan yang tentunya cara beroperasinya berbeda dengan toko emas biasa. Kalau perusahaan tersebut tak memiliki izin dari OJK atau Bapepam-LK, Anda sudah harus curiga bahwa itu adalah perusahaan tipu-tipu.

Terakhir, saya hanya bisa mengimbau kepada pemerintah untuk secara proaktif segera melakukan penyisiran dari satu gedung ke gedung lainnya dan dari satu pusat perbelanjaan ke pusat perbelanjaan lainnya untuk mengidentifikasi perusahaan dagang yang beroperasi sebagai perusahaan keuangan. Ini pekerjaan yang relatif mudah untuk dilakukan. Saya yakin masih banyak perusahaan seperti ini yang bergentayangan menyedot duit rakyat. Syaratnya hanya satu, pemerintah mau nggak bekerja untuk rakyat? ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar