Selasa, 12 Maret 2013

Stigma Negatif Guru


Stigma Negatif Guru
Sukemi  ;   Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media 
REPUBLIKA, 11 Maret 2013



Serangkaian persiapan diberlakukannya Kurikulum 2013 pada awal tahun pelajaran 2013, Juli mendatang, makin mengemuka. Selain buku yang bakal dibagikan secara gratis, kesiapan guru dipertanyakan banyak pihak. Sayangnya, mereka yang mempertanyakan terhadap kesiapan guru adalah dari kalangan guru sendiri, sehingga dapat disimpulkan, jangan-jangan munculnya stigma negatif terhadap guru justru dari kalangan sendiri.

Terhadap implementasi Kurikulum 2013, misalnya--meminjam bahasa Mendikbud Mohammad Nuh tentang stigma negatif guru--diapa-apakno, dilatih, gak iso-iso. Pancet koyo ngene ae (diapa-apakan, dilatih, tidak pernah bisa. Tetap saja seperti ini). Apa yang disampaikan Mendikbud di depan guru-guru PGRI di Semarang itu tentu bukan dalam konteks merendahkan martabat guru.
Mendikbud mengajak kalangan guru untuk tidak mau diremehkan dengan stigma negatif yang menganggap kualitas dan kompetensinya tidak bisa berkembang. Mendikbud juga mengajak seluruh guru untuk membuktikan dirinya bisa mengembangkan kompetensi dan kualitas serta tidak terpengaruh stigma negatif yang meremehkan kemampuan guru.

Saya termasuk orang yang tidak percaya jika guru tidak bisa berubah. Menunjuk pengalaman lapangan yang dilakukan oleh Harian Republika bersama PT Telkom Tbk dalam program "Bagimu Guru Kupersembahkan", misalnya, terlihat sekali betapa guru kita bisa berubah, betapa guru kita bisa diandalkan. 

KBK Disempurnakan

Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi yang pernah digagas dalam Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, tapi belum terselesaikan karena desakan untuk segera mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Karena itu, bisa disebut juga sebagai KBK yang disempurnakan.

Di mana penyempurnaannya? Satu di antaranya, jika pada KBK 2004 standar kompetensi lulusan diturunkan dari standar isi, maka pada Kurikulum 2013 standar kompetensi lulusan diturunkan dari kebutuhan apa yang ingin dicapai oleh peserta didik pada jenjangnya. Penyempurnaan ini sangat fundamental karena KBK 2004 maupun KTSP 2006 menempatkan standar kompetensi lulusan disejajarkan dengan standar proses dan standar penilaian. 

Mohammad Nuh menyebutkan, rumusan Kurikulum 2013 berdasarkan pada sudut pandang yang berbeda dengan kurikulum berbasis materi, sehingga sangat dimungkinkan terjadi perbedaan persepsi tentang bagaimana kurikulum seharusnya dirancang. Perbedaan ini menyebabkan munculnya berbagai kritik dari yang terbiasa menggunakan kurikulum berbasis materi.

Fakta di lapangan menunjukkan, perubahan adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Atas dasar itu pulalah, muncul dinamika kurikulum, yang mau tidak mau harus berubah. Bukan semata untuk menjawab dan memenuhi tuntutan masyarakat, tapi yang lebih esensial adalah karena pengetahuan, keterampilan, dan sikap pada peserta didik yang dihasilkan pun memiliki kompetensi memadai pada zamannya.

Kurikulum disiapkan untuk mencetak generasi yang siap di dalam menghadapi masa depan. Karena itu, kurikulum disusun untuk mengantisipasi perkembangan masa depan. Terhadap berkembangnya stigma negatif di kalangan guru, memang tidak bisa dilepaskan dari hasil uji kompetensi awal (UKA) dan uji kompetensi guru (UKG) yang telah dilaksanakan oleh Kemendikbud. Tengok misalnya hasil UKA, ujian yang diperuntukkan bagi guru yang belum mendapatkan sertifikasi dan akan mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), rerata nilai nasional yang diperoleh hanya 42,25, meski ada juga guru yang memperoleh nilai 97.

Demikian pula dengan hasil UKG, ujian bagi guru yang telah memperoleh sertifikasi, rerata nilainya pun tidak jauh berbeda, hanya di angka 43,66, meski ada guru yang mendapat nilai di atas 90. Bagaimana menyikapi fakta seperti ini, tidakkah kemudian kita miris melihatnya? 

Kemendikbud menanggapi positif hasil UKA dan UKG itu. Hingga kini Kemendikbud memang belum memiliki peta kompetensi guru, meski sudah lebih dari satu juta guru memperoleh tunjangan dari sertifikat pendidik yang mereka miliki. Sehingga, sulit menentukan titik tolak untuk melakukan pelatihan apa yang sesuai dengan kebutuhan guru.

Sejak awal pelaksanaan UKA dan UKG memang bertujuan untuk melakukan pemetaan terhadap potensi dan kemampuan guru, serta pemetaan kompetensi, sebagai dasar kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan. UKG adalah pengujian terhadap penguasaan kompetensi profesional dan pedagogik guru dalam ranah kognitif.

Mendikbud Mohammad Nuh mengibaratkan UKG seperti pemeriksaan kesehatan atau check up untuk mengetahui apakah seseorang jantungnya normal atau tidak, gula darahnya bagus atau jelek. Dengan mengetahui hasil check up, maka upaya untuk melakukan perbaikan bisa dilakukan dengan tepat.

Pelatihan menjadi salah satu kata kunci dalam keberhasilan implementasi Kurikulum 2013. Pola yang disiapkan dalam pelatihan tidak seperti yang dikhawatirkan masyarakat, yaitu hanya berupa ceramah. Ceramah tetap dilakukan untuk menyampaikan hal-hal yang bersifat umum dan memberikan pemahaman. Materi pendalaman dan praktik, diwujudkan dalam bentuk workshop, yang kemudian akan dilakukan pendampingan.

Pola pelatihannya disiapkan berjenjang. Ada instruktur tingkat nasional, guru inti, dan kelas di mana masing-masing membutuhkan persyaratan. Untuk menjadi instruktur nasional, misalnya, selain berlatar belakang pendidikan minimal S1 program studi yang relevan, jika berlatar belakang dosen, maka yang diutamakan telah memiliki nomor induk asesor, sertifikasi guru pada bidang studi yang relevan. Sedang bagi pengawas, kepala sekolah, dan guru harus sudah memiliki sertifikat pendidik pada bidang studi relevan. Demikian juga yang berasal dari widyaiswara, harus memiliki pengalaman pelatihan penyusunan kurikulum.

Inilah yang kini sedang disiapkan dan dimatangkan. Harapannya, melalui pelatihan inilah implementasi Kurikulum 2013 dapat terlaksana dengan baik, sekaligus menghapus stigma negatif yang selama ini melekat pada guru.

Semoga. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar