Senin, 25 Maret 2013

Pajak dan Pendidikan


Pajak dan Pendidikan
Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 25 Maret 2013


ADA yang menarik dari workshop bertajuk Tax Dissemination through Formal Education: Understanding Opportunities and Challenges yang diselenggarakan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, pada 20-22 Maret 2013. Muncul sebuah kesadaran dan asumsi, jangan-jangan rendahnya minat masyarakat untuk membayar pajak disebabkan dunia pendidikan selama ini tak pernah diajak bekerja sama secara terpadu untuk mengampanyekan manfaat pajak bagi pembangunan bangsa. Karena itu, ada keinginan dari Dirjen Pajak Fuad Rahmany untuk memasukkan isu dan wacana tentang perpajakan ke skema pembelajaran di ruang-ruang kelas.

Prof Arif Rahman, salah seorang narasumber yang berbicara dalam workshop tersebut, sepakat dengan Dirjen Pajak, bahkan secara provokatif menilai materi tentang pajak wajib hukumnya untuk diketahui setiap siswa. Sebagai bagian dari tanggung jawab warga negara, pajak harus dilihat sebagai sebuah attitude, yakni sikap bertanggung jawab warga kepada negara. Karena itu Prof Arif menyarankan kata pajak diubah menjadi `kontribusi' sehingga anak-anak akan lebih mudah menyerap maksud yang terkandung di dalamnya.

Cukupkah Sampai di Sini?

Saya kira masalahnya tak sesederhana itu. Masalah pajak, terutama dalam situasi Indonesia saat ini, masih dipandang secara negatif oleh sebagian masyarakat. Belum lagi masalah teknis yang mengajarkan substansi perpajakan secara menyenangkan di ruang kelas, pastilah tak mudah di tengah rigid-nya birokrasi pendidikan kita dalam memandang fleksibilitas kurikulum. Guru, karena miskin kreativitas, selalu menunggu petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) tentang kurikulum sehingga semua materi seolah tergantung dengan juklak dan juknis. Pada sisi ini, substansi pajak pun dikhawatirkan akan sulit dipahami siswa, kecuali dilakukan dulu semacam uji materi dalam rentang waktu tertentu.

Saya sepenuhnya sepakat dengan hasil temuan riset Pusat Kajian Ilmu Administrasi FISIP UI, yakni masih terdapat kesulitan dari siswa dalam memahami materi perpajakan. Padahal yang diriset adalah anak-anak sekolah menengah atas, yang asumsinya seharusnya mereka bisa lebih mudah memahami substansi perpajakan. Dalam penelitian tersebut, baik siswa IPS dan IPA maupun kejuruan ditemukan bahwa “...sebagian besar siswa belum memahami urgensi pemungutan pajak. Siswa juga belum memahami bahwa penerimaan yang berasal dari pajak dialokasikan untuk kepentingan masyarakat termasuk manfaat tidak langsung yang dirasakan oleh siswa.“ (Titi Muswati Putrani dan Maria Tambunan: 2013).

Jika fakta ini benar adanya, assessment yang lebih komprehensif tentang substansi perpajakan di dalam materi mata ajar tertentu harus dianalisis secara benar dengan menggunakan, misalnya, deep curriculum alignment process. Prinsip keterkaitan antarmata ajar dengan substansi harus mendapat perhatian secara saksama dalam mendesain sebuah kurikulum. Hal itu diperlukan ketika kita akan memasukkan sebuah isu atau substansi semisal perpajakan, baik sekolah maupun guru tidak lagi ragu dan mengambang dalam memahami struktur dasar keterkaitan antarmata ajar. Caranya? Tentu saja dengan skema pelatihan yang cermat dan berkesinambungan.

Penting untuk disadari bahwa sejarah pendidikan di Indonesia amat lemah dalam meyakini dan mendistribusi gagasan baru hingga ke tingkat akhir (selesai). Jangan sampai ketika kita akan memasukkan gagasan soal perpajakan ke struktur kurikulum baru, malah akan menambah beban derita guru dan anak didik. Sebab, sudah menjadi rahasia umum bahwa sering kali gagasan kurikulum yang telah disosialisasi dan ditatarkan kepada para guru malah tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Miskinnya kreativitas guru serta mentalitas `jawatan' yang selalu memosisikan guru sebagai abdi negara malah sering menyesatkan anak didik. Guru seolah terbelenggu di `zona aman' sebagai pegawai ketimbang sebagai pendidik.

Hormati Kebebasan

Sepanjang sejarah kurikulum di negeri ini, perubahan kurikulum tidak serta-merta menjadikan proses belajar mengajar menjadi lebih menyenangkan untuk siswa dan guru. Proses belajar mengajar tetap statis, stagnan, dan miskin inovasi, sehingga hasilnya hampir dapat dipastikan tak ada keterkaitan (alignment) antara kurikulum yang tertulis dan sistem evaluasi (test) yang dilakukan. Apalagi dengan sistem evaluasi semacam ujian nasional yang jelas-jelas tak menghormati kebebasan guru dalam melaksanakan desain kurikulum yang mereka kehendaki. Jangan-jangan materi perpajakan juga hanya menjadi seperangkat ilmu yang harus diujikan secara formal dan tak menumbuhkan kesadaran siswa di kemudian hari agar menjadi warga negara yang sadar untuk membayar pajak.

Mari kita terus mengkaji ulang sekaligus mengkritik kebijakan perubahan desain kurikulum yang akan berganti lagi. Sebab konsistensi dalam kebijakan soal kurikulum seharusnya akan membuat guru dan siswa memiliki waktu yang cukup dalam menyelesaikan proses belajar mengajar yang berorientasi pada kualitas. Dengan begitu, keterkaitan antara kurikulum tertulis dan hasil yang baik (alignment of curriculum) menjadi lebih sepadan.

Pemerintah harus terus memacu manajemen sekolah untuk mengembangkan prinsip dasar keterkaitan antarsubstansi di dalam kurikulum baru melalui serangkaian kegiatan yang memungkinkan sekolah merumuskan sendiri kelemahan dan kelebihannya (school mapping), menentukan tujuan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan guru dan siswa (objectives and lesson design), memperbaiki sistem pengelolaan pembelajaran yang berkelanjutan dan efisien (scope and sequence), dan membuat rangkaian sistem monitor serta evaluasi pembelajaran dan manajemen sekolah secara efektif-komprehensif (Jackson: 1992).

Penting untuk diajarkan ke setiap sekolah mengenai konsep dasar deep curriculum alignment. Di situ para guru dalam melakukan proses belajar mengajar tidak hanya mengejar target untuk ujian semata, tetapi mempersiapkan kemampuan siswa yang jauh lebih dari itu. Salah satu keunggulan dari prinsip dasar deep curriculum alignment adalah ketika dilakukan evaluasi, guru dapat memberikan gambaran secara utuh tentang jarak (gap) antara siswa yang satu dan siswa lainnya. Semoga saja materi pajak bisa didesiminasi secara berkesinambungan melalui proses pembelajaran yang baik dan menyenangkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar