Senin, 25 Maret 2013

Perguruan Tinggi Otonomi Vs Komersialisasi


Perguruan Tinggi Otonomi Vs Komersialisasi
Amich Alhumami  ;  Antropolog, Penekun Kajian Pendidikan, Bekerja di Bappenas
MEDIA INDONESIA, 25 Maret 2013


BELUM lama diberlakukan, Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi--selanjutnya UU Dikti-sudah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sekelompok akademisi dan mahasiswa Universitas Andalas, Padang, mengajukan uji materi (judicial review) UU Dikti, terutama Pasal 62-65 dan Pasal 83-87. Pasal-pasal tersebut mengatur dua perkara penting, yakni 1) otonomi perguruan tinggi dan 2) pendanaan dan pembiayaan pendidikan tinggi. Kedua pokok gugatan itu sangat fundamental dalam konteks penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia.

University for Sale

Para penggugat membangun argumen bahwa status otonomi akan membuka jalan bagi para pengelola institusi perguruan tinggi untuk menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang dagangan. Mereka khawatir, dengan status otonomi, penyelenggaraan pendidikan tinggi sepenuhnya akan diserahkan kepada pasar bebas dan harga (baca: biaya kuliah) ditentukan melalui mekanisme pasar.

Perguruan tinggi dimanfaatkan untuk berniaga dengan memasarkan produk dagangan yang sebenarnya berlabel public good, yakni pendidikan tinggi. Layaknya sebuah praktik perniagaan di mana pun, motif utama yang mendasarinya ialah pencarian keuntungan (profit seeking) dan penumpukan modal (capital accumulation). Tak pelak, layanan pendidikan tinggi cenderung mahal terutama pada universitas-universitas dan institut-institut ternama dengan reputasi menawan, serta pada program studi-program studi yang laku di pasar kerja. Pendek kata, pemberian otonomi kepada perguruan tinggi disepadankan dengan tendensi komersialisasi pendidikan tinggi. Pandangan dan pendirian para penggugat tersebut tidak sepenuhnya salah karena mereka merujuk pengalaman beberapa tahun terakhir, ketika pemerintah bereksperimen dengan PT Badan Hukum Milik Negara (BHMN)--UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang menjadi dasar hukum telah dibatalkan MK 2010--untuk UI, UGM, ITB, IPB, dan lain-lain, yang berakibat melambungnya biaya kuliah di perguruan tinggiperguruan tinggi tersebut.

Kekhawatiran terhadap kecenderungan komersialisasi di institusi-institusi akademis memang dapat dimaklumi. Komersialisasi pendidikan tinggi bukan gejala khas Indonesia semata, melainkan sudah menjadi fenomena mondial yang telah berlangsung sejak awal 2000-an, seperti diulas dengan sangat baik oleh Derek Bok dalam Universities in the Market Place: The Commercialization of Higher Education (Princeton, 2003). Menurut observasi Bok, komersialisasi terjadi di universitas-universitas terbaik di Amerika Serikat dan Inggris terkait dengan dua hal: layanan pendidikan dan kontrak risetriset terapan untuk kepentingan bisnis/industri.

Kerisauan atas gejala komersialisasi itu sangat terasa seperti terekam dalam pertanyaan, “Is everything in a university for sale if the price is right?“, yang kerap mengemuka dalam perdebatan di kalangan akademisi di kampus-kampus besar dunia. Berdasarkan pengamatan langsung, Bok--mantan Presiden Universitas Harvard-membenarkan tendensi komersialisasi pendidikan tinggi dan menengarai jawaban atas pertanyaan tersebut sering kali `ya'.

Namun, validkah argumen bahwa otonomi perguruan tinggi sama dengan atau selalu mengarah ke komersialisasi? Melalui artikel ini, saya bermaksud membangun argumen bandingan untuk memberi perspektif yang lebih seimbang dan utuh agar pemahaman linier otonomi = komersialisasi tidak mendominasi perdebatan publik berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Otonomi jelas sangat vital bagi setiap perguruan tinggi dalam dua konteks, yakni tata kelola kelembagaan dan kebebasan akademik.

Tata Kelola Kelembagaan

Pertama, tata kelola kelembagaan berkenaan dengan manajemen organisasi sebuah institusi pendidikan tinggi, yang mensyaratkan akuntabilitas dan transparansi. Dengan status otonomi, perguruan tinggi dapat sepenuhnya menunaikan tugas dan tanggung jawab sebagai the institution of scholarship and learning tanpa ada intervensi dari penguasa terkait dengan urusan domestik perguruan tinggi.

Dalam konteks itu, perguru an tinggi harus steril dari aneka macam kepentingan politik yang dapat mengganggu tugas utamanya di bidang pengajaran dan penelitian, yang bertujuan untuk memajukan masyarakat dan bangsa. Meski demikian, pemimpin perguruan tinggi dituntut untuk taat asas dan menjaga tata laksana dalam mengelola organisasi di universitas/institut berdasarkan prinsip-prinsip good governance. Di sini, universitas/institut di jalankan dengan menggunakan pendekatan collegial self-governance, suatu sistem pengendalian dalam pengelolaan organisasi yang diatur melalui konsensus di kalangan para akademisi di perguruan tinggi bersangkutan.
Lebih dari itu, sistem tersebut sangat demokratis dan terbuka dengan pembagian peran dan tanggung jawab yang berbasis pada expertise in scholarship.

Penting dicatat pula, otonomi perguruan tinggi diberikan atau diperoleh melalui mandat yang merujuk ketentuan hukum yang berlaku (UU Dikti), dan karena itu pertanggungjawaban publik bersifat mutlak. Pertanggungjawaban publik merupakan bagian dari mekanisme kontrol yang dilakukan para pemangku kepentingan, berkenaan dengan bagaimana sebuah perguruan tinggi seha rusnya beroperasi yang sesuai dengan aspirasi publik.

Prinsip transparansi dan akuntabilitas dimaksudkan untuk menutup peluang penyimpangan dalam tata kelola perguruan tinggi dan menjamin hak-hak publik terkait de ngan layanan pendidikan tinggi dapat terpenuhi. Dengan status otonomi, pengelola perguruan t tinggi diharapkan lebih kreatif dalam mengembangkan aneka program pengajaran, pendidikan, dan penelitian yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, mengingat perguruan tinggi lebih memiliki keleluasaan dalam manajemen organisasi, para manajer harus dapat membangun dan mengembangkan kemitraan dengan pihak lain (misal universitas-industri) yang dapat mendatangkan manfaat bagi peningkatan kinerja dan mutu layanan pendidikan.

Kebebasan Akademik

Kedua, kebebasan akademik terkait dengan nilai-nilai esensial dalam aktivitas keilmuan bagi segenap sivitas akademika di universitas/institut. Untuk itu, otonomi selalu dipahami sebagai the essence of academic sovereignty yang menjadi persyaratan dasar bagi kerja-kerja kesarjanaan yang berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Kebebasan akademik sangat sentral karena memberi proteksi bagi ilmuwan dan akademisi untuk melakukan riset riset ilmiah, mengemukakan pendapat pendapat ilmiah, dan melibatkan diri dalam perdebatan-perdebatan intelektual tanpa dibayangi rasa takut pada institutional censorship and political retaliation. Riset-riset ilmiah dilakukan semata-mata untuk pencarian dan pengembangan ilmu pengetahuan, yang didasarkan pada kaidah-kaidah keilmuan yang objektif dan universal. Karena itu, aktivitas riset ilmiah dan diseminasi hasil-hasil riset dalam pengembangan ilmu pengetahuan tidak boleh tunduk pada sensor politik. Sensor politik jelas merupakan bentuk pelanggaran kedaulatan akademik.

Dengan merujuk pengalaman sejarah universitas-universitas di negara-negara Barat, bila kedaulatan akademik--yang bertumpu pada otonomi--dibelenggu atau dikerdilkan, kerja-kerja kesarjanaan menjadi mandul. Selain itu, aktivitas intelektual tumpul dan penemuan ilmiah terhenti, yang berujung pada stagnasi pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam situasi demikian, tidak mungkin berharap ada scientific invention and academic breakthrough yang muncul dari para ilmuwan di lembaga ilmiah.
Padahal, semua itu merupakan tugas utama dan pekerjaan esensial para akademisi di perguruan tinggi. Tanpa otonomi, perguruan tinggi tidak akan mampu meraih pencapaian cemerlang dalam scientific development. Semua universitas terbaik dunia di Amerika dan Eropa berstatus otonom, bersandar pada charta yang merupakan wujud pengakuan sebagai lembaga ilmiah. Dalam charta setiap universitas disebutkan, pengelolaan universitas didasarkan pada prinsip yang menegaskan autonomy is a necessary--although not sufficient-condition for excellence.

Dalam konteks demikian, perguruan tinggi di Indonesia ditantang untuk dapat membuktikan otonomi dapat menggerakkan aktivitas keilmuan di kalangan sivitas akademika universitas/institut, yang bermuara pada pencapaian tinggi di berbagai cabang ilmu pengetahuan. Jadi, sifat dasar yang melekat pada otonomi sejatinya berkenaan dengan upaya membangun tradisi akademik unggul di lingkungan perguruan tinggi, yang dalam tradisi Eropa (baca: Prancis) disebut sebagai maison des sciences de l'homme. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar