Kebijakan
Gubernur DKI mengeluarkan Kartu Jakarta Sehat (KJS) menuai pro dan kontra.
Wagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pun beberapa kali mengeluarkan
pernyataan yang mencederai perasaan dokter. Kalimat, "Saya sikat
Bapak-Bapak" di depan para dokter mengisyaratkan ketidakpahamannya
mengenai sistem layanan kesehatan yang tengah dibangunnya di Jakarta.
Alih-alih menganalisis lebih dalam mengenai kurangnya fasilitas kesehatan,
masyarakat justru digiring ke dalam opini bahwa dokter yang paling
bertanggung jawab atas banyaknya kasus kematian dan penelantaran pasien
belakangan ini. Munculnya pernyataan tersebut tidak lepas dari
psikologi politik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terpilih.
KJS sebagai
produk utama gubernur baru semula tidak diniatkan sebagai pilot project pelaksanaan
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dimulai tahun 2014. Pelaksanaan
KJS lebih sebagai pemenuhan janji politik yang terkesan terburu-buru tanpa
pendalaman sistem yang memadai. Hasilnya jelas, Pemprov DKI menjadi pahlawan
baru bagi masyarakat Jakarta dan menghadap-hadapkan kepentingan masyarakat
dengan kepentingan petugas kesehatan.
Gunung Es
Kasus-kasus
kematian yang disuarakan media hanya puncak gunung es dari sistem layanan
kesehatan yang buruk. Kematian bukan sekadar perkara buruknya kompetensi
dokter dalam merawat pasien, tapi dipengaruhi oleh sistem yang `memaksa'
dokter atau rumah sakit (RS) bekerja di bawah kualitas yang
seharusnya.
Ada
beberapa hal yang patut dicermati dalam keriuhan ini. Pertama, kapasitas
dokter dan RS yang harus menampung peningkatan jumlah peserta Jamkesmas
dari 1,2 juta menjadi 4,7 juta jiwa. Dengan asumsi kebutuhan rasio tempat
tidur per jumlah penduduk 1:1.000, jumlah 6.818 tempat tidur yang tersedia
di RS mitra KJS secara kasat mata telah lebih dari cukup.
Anehnya,
Gubernur dan Dinkes mengeluarkan pernyataan yang lagi-lagi menyudutkan
pelayan kesehatan. RS harus menyediakan minimal 70 persen tempat tidur di
kelas III, padahal jumlah tempat tidur yang ada telah melebihi batas
kebutuhan normal (6.818 vs 4.203 tempat tidur). Permasalahan justru
ada di demand, bukan supply.
Pengalihan
fasilitas ruang rawat kelas II yang diinstruksikan Gubernur pun tidak akan
menyelesaikan persoalan karena perubahan sistem pembiayaan yang mendadak
ini tidak disertai dengan peningkatan kapasitas layanan kesehatan primer
dan sistem rujukan yang seharusnya diharapkan dapat mengelola demand dengan
baik.
Kedua,
euforia KJS di tengah masyarakat yang membutuhkan sistem gate keeper yang baik di layanan
kesehatan primer--yang dipegang penuh oleh puskesmas. Faktanya, kualitas layanan
kesehatan primer di puskesmas patut dipertanyakan dengan jumlah pasien
mencapai 75-100 per hari dan jam layanan 5 jam per hari. Hitungan
sederhana dapat menggambarkan kualitas layanan puskesmas. Dokter harus melayani
15-20 pasien per jam atau satu pasien mendapatkan jatah rata-rata waktu
konsultasi dan pemeriksaan selama 3-4 menit. Apa yang dapat diharapkan dari
layanan kesehatan seperti ini?
Bagaimana fungsi gate keeper dan
rujukan dapat berjalan dengan baik?
Padahal,
dengan konsep layanan dokter keluarga yang direncanakan, dokter harus mampu
mengeksplorasi kondisi pasien dalam rentang waktu konsultasi yang memadai.
Wajar bila terjadi lonjakan pasien ke RS dengan kondisi ini.
Ketiga, KJS tidak menumbuhkan insentif bagi upaya kesehatan preventif.
Beban puskesmas yang sedemikian besar di layanan kuratif dan rujukan
mengakibatkan berkurangnya atensi terhadap upaya pencegahan penyakit di
masyarakat. Hal ini harus dicermati demi pengembangan sistem kesehatan
jangka panjang.
Upaya
preventif memang tidak memunculkan efek dalam waktu singkat dan tidak
sepopuler kebijakan kuratif dengan menyediakan ruang rawat.
Tapi, upaya preventif jauh lebih efektif dalam menekan biaya dan mencapai
keluaran status kesehatan masyakarat yang lebih baik secara kontinu.
Euforia masyarakat terhadap KJS yang tidak diimbangi upaya edukasi ke
sehatan yang adekuat juga berpo tensi memunculkan efek buruk. Bagaimanapun,
asuransi kesehatan berisiko menimbulkan moral hazard.
Di sisi lain, risiko pembuatan rujukan kelayanan kesehatan sekunder
meningkat meskipun tidak benar-benar diperlukan karena lonjakan beban puskesmas.
Apalagi, karakteristik peserta KJS adalah golongan ekonomi lemah dengan
tingkat pendidikan rendah. Perbaikan kualitas dokter puskesmas oleh
dokter-dokter ahli dari RSCM juga tidak akan memperbaiki kondisi jika tidak
ada keseimbangan antara beban dan kapasitas.
Keempat,
proses ini harus dijalankan secara sinambung dengan kebijakan berbasis
bukti (evidence based policy).
Pemprov harus mampu menganalisis kebutuhan layanan kesehatan dengan cermat
sebelum mengeluarkan kebijakan.
Pesan Penting
Bagaimanapun,
KJS merupakan langkah maju untuk memperluas akses masyarakat ke layanan
kesehatan. Tapi, proses yang riuh ini pun memberikan pesan penting bahwa
status ke sehatan masyarakat dan layanan kesehatan tidak serta-merta
ditumpukan kepada petugas kesehatan dan institusi layanan kesehatan.
Dokter
dan RS bukan musuh bagi Jakarta Sehat. Kasus kematian tidak lantas
dihadap-hadapkan pada buruknya layanan dokter atau RS, tapi juga dipandang
sebagai keharusan memperbaiki sistem kesehatan.
Sebagai
produk politik, KJS juga menjadi pelajaran berharga bagi (calon) kepala
daerah lain yang ingin membangun sistem kesehatan di daerah masing-masing.
Pada hakikatnya, masyarakat tidak membutuhkan kebijakan populis sesaat,
tapi pembangunan sistem dan masyarakat yang ajeg (sustainable). ●
|
Apapunh namanya, yang penting program kesehatan untuk rakyat miskin harus diprioritaskan.
BalasHapus