Jumat, 22 Maret 2013

Jakarta Sehat Vs Dokter


Jakarta Sehat Vs Dokter
Ahmad Fuady ;  Dokter, Pengajar di Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
REPUBLIKA, 21 Maret 2013


Kebijakan Gubernur DKI mengeluarkan Kartu Jakarta Sehat (KJS) menuai pro dan kontra. Wagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pun beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang mencederai perasaan dokter.  Kalimat, "Saya sikat Bapak-Bapak" di depan para dokter mengisyaratkan ketidakpahamannya mengenai sistem layanan kesehatan yang tengah dibangunnya di Jakarta. Alih-alih menganalisis lebih dalam mengenai kurangnya fasilitas kesehatan, masyarakat justru digiring ke dalam opini bahwa dokter yang paling bertanggung jawab atas banyaknya kasus kematian dan penelantaran pasien belakangan ini. Munculnya pernyataan tersebut tidak lepas dari psikologi politik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terpilih.

KJS sebagai produk utama gubernur baru semula tidak diniatkan sebagai pilot project pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dimulai tahun 2014. Pelaksanaan KJS lebih sebagai pemenuhan janji politik yang terkesan terburu-buru tanpa pendalaman sistem yang memadai. Hasilnya jelas, Pemprov DKI menjadi pahlawan baru bagi masyarakat Jakarta dan menghadap-hadapkan kepentingan masyarakat dengan kepentingan petugas kesehatan.

Gunung Es

Kasus-kasus kematian yang disuarakan media hanya puncak gunung es dari sistem layanan kesehatan yang buruk. Kematian bukan sekadar perkara buruknya kompetensi dokter dalam merawat pasien, tapi dipengaruhi oleh sistem yang `memaksa' dokter atau rumah sakit (RS) bekerja di bawah kualitas yang seharusnya. 

Ada beberapa hal yang patut dicermati dalam keriuhan ini. Pertama, kapasitas dokter dan RS yang harus menampung peningkatan jumlah peserta Jamkesmas dari 1,2 juta menjadi 4,7 juta jiwa. Dengan asumsi kebutuhan rasio tempat tidur per jumlah penduduk 1:1.000, jumlah 6.818 tempat tidur yang tersedia di RS mitra KJS secara kasat mata telah lebih dari cukup.

Anehnya, Gubernur dan Dinkes mengeluarkan pernyataan yang lagi-lagi menyudutkan pelayan kesehatan. RS harus menyediakan minimal 70 persen tempat tidur di kelas III, padahal jumlah tempat tidur yang ada telah melebihi batas kebutuhan normal (6.818 vs 4.203 tempat tidur). Permasalahan justru ada di demand, bukan supply

Pengalihan fasilitas ruang rawat kelas II yang diinstruksikan Gubernur pun tidak akan menyelesaikan persoalan karena perubahan sistem pembiayaan yang mendadak ini tidak disertai dengan peningkatan kapasitas layanan kesehatan primer dan sistem rujukan yang seharusnya diharapkan dapat mengelola demand dengan baik. 

Kedua, euforia KJS di tengah masyarakat yang membutuhkan sistem gate keeper yang baik di layanan kesehatan primer--yang dipegang penuh oleh puskesmas. Faktanya, kualitas layanan kesehatan primer di puskesmas patut dipertanyakan dengan jumlah pasien mencapai 75-100 per hari dan jam layanan 5 jam per hari. Hitungan sederhana dapat menggambarkan kualitas layanan puskesmas. Dokter harus melayani 15-20 pasien per jam atau satu pasien mendapatkan jatah rata-rata waktu konsultasi dan pemeriksaan selama 3-4 menit. Apa yang dapat diharapkan dari layanan kesehatan seperti ini?
Bagaimana fungsi gate keeper dan rujukan dapat berjalan dengan baik?
Padahal, dengan konsep layanan dokter keluarga yang direncanakan, dokter harus mampu mengeksplorasi kondisi pasien dalam rentang waktu konsultasi yang memadai. Wajar bila terjadi lonjakan pasien ke RS dengan kondisi ini.
Ketiga, KJS tidak menumbuhkan insentif bagi upaya kesehatan preventif. Beban puskesmas yang sedemikian besar di layanan kuratif dan rujukan mengakibatkan berkurangnya atensi terhadap upaya pencegahan penyakit di masyarakat. Hal ini harus dicermati demi pengembangan sistem kesehatan jangka panjang. 

Upaya preventif memang tidak memunculkan efek dalam waktu singkat dan tidak sepopuler kebijakan kuratif dengan menyediakan ruang rawat.
Tapi, upaya preventif jauh lebih efektif dalam menekan biaya dan mencapai keluaran status kesehatan masyakarat yang lebih baik secara kontinu.
Euforia masyarakat terhadap KJS yang tidak diimbangi upaya edukasi ke sehatan yang adekuat juga berpo tensi memunculkan efek buruk. Bagaimanapun, asuransi kesehatan berisiko menimbulkan moral hazard. 

Di sisi lain, risiko pembuatan rujukan kelayanan kesehatan sekunder meningkat meskipun tidak benar-benar diperlukan karena lonjakan beban puskesmas. Apalagi, karakteristik peserta KJS adalah golongan ekonomi lemah dengan tingkat pendidikan rendah. Perbaikan kualitas dokter puskesmas oleh dokter-dokter ahli dari RSCM juga tidak akan memperbaiki kondisi jika tidak ada keseimbangan antara beban dan kapasitas.

Keempat, proses ini harus dijalankan secara sinambung dengan kebijakan berbasis bukti (evidence based policy). Pemprov harus mampu menganalisis kebutuhan layanan kesehatan dengan cermat sebelum mengeluarkan kebijakan. 

Pesan Penting

Bagaimanapun, KJS merupakan langkah maju untuk memperluas akses masyarakat ke layanan kesehatan. Tapi, proses yang riuh ini pun memberikan pesan penting bahwa status ke sehatan masyarakat dan layanan kesehatan tidak serta-merta ditumpukan kepada petugas kesehatan dan institusi layanan kesehatan. 

Dokter dan RS bukan musuh bagi Jakarta Sehat. Kasus kematian tidak lantas dihadap-hadapkan pada buruknya layanan dokter atau RS, tapi juga dipandang sebagai keharusan memperbaiki sistem kesehatan. 

Sebagai produk politik, KJS juga menjadi pelajaran berharga bagi (calon) kepala daerah lain yang ingin membangun sistem kesehatan di daerah masing-masing. Pada hakikatnya, masyarakat tidak membutuhkan kebijakan populis sesaat, tapi pembangunan sistem dan masyarakat yang ajeg (sustainable). ● 

1 komentar:

  1. Apapunh namanya, yang penting program kesehatan untuk rakyat miskin harus diprioritaskan.

    BalasHapus